Senin, 16 November 2009

Spartan Terkait Aksi Anarkis Aparat Kepolisian Pada Aktivis Spartan Waktu Melakukan Kampanye Damai pada 1 Mei 2009 Memperingati May Day (1 Mei) Dan H

james faot
SUKARELAWAN PEJUANG RAKYAT UNTUK PEMBEBASAN TANAH AIR
LMND, GERSAK, SRMI, GEMA- KUPANG , SENAT UKAW, SENAT FKIP UNWIRA, PERMASNA, FOSMAB, PERMATA, IPELMEN, K.P. GARDA, PERMATA ALOR, IKATAN RAG, SENAT FKIP UKAW, KMK UKAW, HIMARASI, HIMAR, ITAKANRAI, KEMA & IKMABAN
Sec. Jl. Flamboyan, Nomor 12, Kel. Naikolan
Kamis, 07 Mei 2009

Pernyataan Sikap
Spartan Terkait Aksi Anarkis Aparat Kepolisian Pada Aktivis Spartan Waktu Melakukan Kampanye Damai pada 1 Mei 2009 Memperingati May Day (1 Mei) Dan Hardiknas (2 Mei)
Pengantar
Fenomena perilaku aparatur negara yang koersif merupakan aib sekaligus ancaman bagi pertumbuhan dan perkembagan nilai demokrasi dan Hak Asasi manusia (HAM) dalam kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Perilaku aparatus negara yang koersif merupakan aib dan ancaman bagi dalam masyarakat yang demokratis dan mengakui HAM lebih dikarenakan oleh sikap koersif merupakan pengejewantahan perilaku kontradiktif atau bertentangan dengan nilai demokrasi (substansial)--kebenaran, keadilan, kedamaian, kebebasan, kesetaraan, keberagaman--serta Hak Asasi Manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan (kodrati) manusia--yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Nilai-nilai ini pada prinsipnya menjadi tatanan sekaligus sistem yang mengatur kehidupan sosial masyarakat. Jadi, perilaku koersif hanya mencerminkan hakekat kontradiktif yang bersifat alamiah atau given dan eksis pada si pelaku koersif dengan tatanan dan sistem nilai seperti demokrasi dan HAM. Oleh karena itu, kekoersifan perilaku itu, tidak lain merupakan perwujudan identitas diri yang hakiki yakni Identitas predatoris yang tidak melihat nilai-nilai tadi sebagai hal yang perlu dihargai, ditolerir dan dilindungi. Implikasi dari pengejewantahan identitas predatoris yang koersif dalam masyarakat yang menjunjung nilai-nilai ideal tadi, ialah proses absurditas nilai serta penstrukturan perilaku koersif .
Secara historis, kehidupan bangsa Indonesia juga melalui suatu proses panjang pengabsuditas nilai-nilai demokrasi dan HAM. Era Orde Baru merupakan tapal sejarah yang mengangakan predatoris rezim Seoharto terhadap nilai demokrasi dan HAM. Apalagi perilaku predatoris rezim ini, diperparah dengan cara menyembunyikan tindakan pemanggsaannya dengan politik simbolisasi nilai demokrasi dan HAM. Wajah demokrasi dan HAM yang ditampakkan rezim Seorharto semasa pemerintahannya adalah wajah demokrasi dan HAM yang kuasi atau palsu sifatnya (pseudo of democration). Politik simbolik nilai demokrasi dan HAM yang dijalankan Seoharto telah memberikannya kekuatan dan keleluasaan dalam menjalankan roda pemerintahan berwatak militerisme, yang kemudian menjadikannya serta pemerintahannya sebagai penguasa yang otoriter.
Otoritarianisme Seoharto seringkali mengatasnamakan pancasila, pembangunan, kesatuan nasional, stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dll. sebagai alasan pembenaran untuk melanggar atau menghianati nilai-nilai demokrasi dan HAM. Dengan memanfaatkan kekuatan militer (ABRI) dan Polri bahkan parlemen sebagai aparatus (baca: alat pemangsa) yang memiliki efektifitas dan efisiensi tinggi untuk memangsa sekaligus melindungi dirinya dari kritik dan perlawanan yang dilakukan rakyat, terutama pemuda dan mahasiswa serta institusi Pers, oleh karena Soehato melakukan penjarahan konstitusi negara, bahkan dengan cara menjarah konstitusi negara pula. Suatu tindak kejahatan yang sifatnya puncak dan berlipat (double) terhadap nilai-nilai konstitusional. Kita hampir tidak dapat menghitung secara detail dan komprehensif berapa banyak rakyat yang menjadi korban pemangsaan rezim Seoharto, seperti tindakan politik kambing hitam, reprersi, teror, intimidasi, penculikan atau penghilangan paksa, pembunuhan pemuda, mahasiswa dan jurnalis, dll. Padahal kritikan dan perlawanan yang dilakukan pemuda, mahasiswa dan jurnalis terhadap Soeharto dan antek-anteknya merupakan bagian dari hak rakyat yang dilindungi oleh konstitusi negara serta merupakan ekspresi dari hak-hak tersebut. Masa dimana hegemon Seoharto dan kekuatan aparatusnya lebih tepat dikatakan sebagai “masa kelam alis gelap gulita bagi demokrasi dan HAM di Indonesia”.
Pasca tumbangnya Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto pada 1998 lalu, membawa tidak hanya kebebasan melainkan juga kemerdekaan bagi rakyat, terutama berkaitan dengan kebebasan/kemerdekaan berkelompok atau berserikat dan menyuarakan pendapat serta dilindungi dan dijamin keselamatannya. rerofmasi 98 telah membuka kanal-kanal demokrasi dan penegakan HAM yang semasa Orde Baru disumbat atau ditutup rapat krannya. Keterbukaan ruang demokrasi dan tegaknya HAM di Indonesia ditandai dengan dilahirkannya kebijakan negara dalam bentuk perangkat perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM); Undang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Rativikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Walaupun, kebijakan negara dapat dikatakan sebagai cerminan dari mulai hudupnya demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia, tetapi tidak serta merta praktik negara cecara konsisten merealisasikan nilai-nilai demokratis dan penghargaannya atas HAM. Beberapa kasus yang pada prinsipnya merupakan pelanggaran HAM berat tidak juga dituntaskan sampai dengan saat ini. Kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis mahasiswa pada era reformasi, kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, kasus penangkapan, penganiayaan dan pemenjaraan aktivis dan jurnalis masih merupakan catatan penting yang menunjukan bahwa perskrisi otoritarianisme Seoharto di era kekuasaanya telah terinternalisasi pada watak aparatus negara, termasuk dalam hal ini ABRI dan Polri.
Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa sekalipun reformasi kita anggap sebagai sebuah etape historis Indonesia yang kemudian membawa perubahan yang sifat mendasar pada sistem pemerintahan kita, akan tetapi internalisasi internalisasi secara fundamental, signifikan dan komprehensif belum terjadi pada watak pemerintahan aparatus negara. Perilaku negara masih mencerminkan pertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Tentu saja, wajah paradoks antara nilai baru (demokrasi dan HAM) yang didambakan rakyat dan praksis negara menjadi ambiguitas tersendiri di kepala rakyat tentang demokrasi yang seperti “apa” dan HAM yang seperti “apa” yang sedang diterapkan di negara ini oleh pemerintah. Tentu saja ini ambiguitas tentang demokrasi dan HAM di bumi Indonesi menjadi problem baru bagi rakyat yang selalu saja trac rekordnya dalam hal realisasi nilai-nilai ideal yang sudah “tidak sakral” lagi dimulut pemerintah.
Kronologis Singkat Aksi Represif Pihak Kepolisian Kota Kupang Terhadap Aksi May Day dan Hardiknas Spartan Kota Kupang

Catatan awal:
Aliansi atau front ini dibangun oleh beberapa organ dan individu yang peduli tehadap kondisi buruh dan pendidikan di Indonesia. Aliansi atau front ini diberi nama Sukarelawan Pejuang Rakyat Untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN). Jumlah masa yang mengikuti aksi masa sebanyak 30-an orang. Beberapa organ yang tergabung antara lain:
1. Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) Eskot Kota Kupang
2. Serikat rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Wilayah Nusa Tenggara Timur
3. Generasi Seni Dan Budaya Kerakyatan (GERSAK) Kota Kupang
4. Senat Perguruan Tinggi Universitas Kristen Artha wacana Kupang
5. Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FKIP Universitas Widya Mandira Kupang
6. Gerakan Mahasiswa Atadei (GEMA) sebuah organisasi mahasiswa tingkatan local
Aliansi atau front ini bersepakat untuk menjalankan aksi kampanye dan pendidikan politik di titik-titik konsentrasi yang ramai dimana buruh-buruh banyak terdapat disitu. Buruh-buruh yang menjadi sasaran adalah buruh-buruh pertokoan-pertokoan. Rute perjalanan yang rencananya akan ditempuh adalah berawal dari depan kampus Widya Mandira, selanjutnya melewati kawasan pertokoan di Kelurahan Kuanino, kemudian menuju ke gedung DPR Propinsi untuk membacakan pernyataan sikap, dan selanjutnya berakhir di Flobamora mall yang banyak jumlah karyawannya.
Peralatan/bahan yang dipakai selama aksi kampanye dan pendidikan politik adalah:
1. Sebuah mobil Pick Up sebagai mobil komando
2. Dua buah spanduk yang cukup besar
3. Peralatan pengeras suara

Kronologis Peristiwa:

08.00 Wita : Mobil komando tiba di titik star (depan unwira), disitu sudah berkumpul beberapa kawan
08.10 Wita : Orasi politik secara bergantin oleh perwakilan organisasi
08.20 Wita : Dua orang berpakaian preman satu laki-laki dan satunya perempuan, mengaku dari polresta kupang, datang mengajak korlap (John Mota) berdiskusi. Isi dari diskusi itu memintah korlap untuk mendatangi kapolresta jika tidak maka aksi akan dibubarkan secara paksa. Permintaan tidak kami respon. Orasi terus dilakukan dengan menyerang SBY-JK yang telah terbukti gagal mensejahterakan rakyat/buruh dan juga mengkritisi dunia pendidikan yang di jadikan warung dagangan.
10:00 Wita : Massa dengan jumlah 30-an orang bergerak menuju rute aksi sambil berorasi, yel- yel dan menyayikan lagu perjuangan
11.30 Wita : Jenset/generator rusak. Mobil komando di parkir tepi jalan untuk memperbaiki jenset. Massa aksi duduk di emperan toko sambil menunggu kerja perbaikan jenset
11. 35 Wita : seorang polisi (tidak sempat mencatat namanya) datang memintah kami untuk melanjurkan aksi sambil memperbaiki jenset dengan alasan pukul 12.00 DPRD sudah pada pulang, maka harus dipercepat biar bisa bertemu dengan dewan untuk berdialog, namun korlap menolak dengan jawaban, aksi kami hari ini adalah aksi kampanye. Sasaran utama kami adalah buruh yang tujuannya untuk mengkampanyekan nasib buruh yang kian terpuruk di bawah pemerintahan SBY- JK dan diperparah dengan krisis financial serta menuntut pemerintah untuk lebih mengutamakan kaum buruh dengan menaikan upah, stop PHK, hapuskan sistem kerja kontrak dan out sourching dngan tri panji sebagai solusi
11.40 Wita : datang satu dalmas dengan kekuatan personil sekitar 20 orang. Seseorang yang dikenal bernama Iwan Iswahyudi menawarkan untuk mengantar kami dengan dalmas ke DPRP Propinsi dengan alasan sebentar lagi anggota DPRD sudah tidak ada. Permintaan kami tolak dengan alasan sama seperti di atas. Saat berdiskusi dengan kami, mobil dalmas sengaja diparkir di badan jalan yang membuat lalu lintas macet (kemungkinan ini adalah setingan agar isu yang dipakai ke rakyat adalah kami yang melakukan kemacetan)
11.45 Wita : si polisi tadi mengeluarkan ancaman. Jika tepat pukul 12.00 kalian belum juga jalan maka kami angkut kalian secara paksa karena aksi ini tidak ada izin. Perdebatan pun mulai memanas karena kami telah memberikan surat pemberitahuan sehari sebelum aksi
11.57 Wita : aksi dilanjutkan. Jenset tetap tidak jadi. Kami menyambung langsung ke aki mobil. Dengan cara ini aksi kami lanjutkan
12.00 Wita : sekitar 100 meter setelah lokasi di mana jenset rusak, terlihat ada sebuah mobil dalmas dengan jumlah polisi di dalamnya kira-kira 20 orang. Aparat polisi langsung turun dari dalmas dan langsung memblokade jalan. Di belakang mobil dalmas tampak sepeda motor miliknya intel-intel, sebuah mobil patroli dan sebuah mobil PATWAL. Polisi memaksa supir untuk membelokkan mobil ke sebuah gang yang menuju ke asrama tentara Kuanino. Tidak terlalu jauh dengan tempat dimana rombongan aksi masa terdapat sebuah masjid dimana kaum muslim lagi malaksanakan sholat Jum’ad. Akibat blockade Massa mulai marah dan bertanya tetapi jawaban yang diterima adalah tindakan represif aparat. Polisi kemudian menarik krak baju kawan Jhon (korlap) dan membawanya ke mobil patroli. Massa terus berusaha meloloskan kawan Jhon namun upaya penyelamatan gagal bahkan 2 orang kawan, Yosi Asafa (Ketua LMND Eks Kota Kupang) serta kawan Paul (anggota LMND) diseret kedalam mobil. Saat di atas mobil patroli polisi terus melayangkan tendangan dan pukulan ke wajah mereka. Walau mendapat pukul dan tendangan secara bertubi-tubi namun mereka terus berteriak HIDUP RAKYAT!!! HIDUP BURUH!!! Selanjutnya mereka dibawa ke Polresta. Pada waktu yang bersamaan seorang wartawan dari Koran local Pos Kupang mendapatkan tindakan yang cukup kasar dari aparat polisi. Peserta aksi kembali ke titik star (depan Unwira). Informasi yang kami dapat dari seorang wartawan pos kupang, yang juga salah satu korban represif (dia dimaki-maki dan polisi memaksanya untuk menghilangkan gambar yang di ambil mengunakan kamera digital) bahwa ketiga kawan kita terus mendapat pukulan saat tiba di polresta karena laporan yang polisi masukkan ke sana bahwa kami yang duluan melakukan pemukulan terhadap Kasad samapta a/n Iwan Iswahyudi.


Aksi Represif Pihak Kepolisian Kota Kupang Terhadap Aksi Aktivis Spartan Pada Kampanye Damai May Day dan Hardiknas Spartan Kota Kupang

Dari deskripsi singkat kronologi di atas, maka dapat dilihat secara cukup jelas bahwa
tindakan represif dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Polresta Kupang kepada para aktivis Spartan merupakan bentuk pelanggaran HAM dan nilai-nilai demokrasi.

Pertama, dengan melihat latar belakang kampanye damai sebagai bentuk pendidikan politik rakyat pada umumnya dan kaum buruh pada khususnya, yang dilakukan aktivis Spartan pada momentum May Day (1 Mei) dan Hardiknas (2 Mei) maka, upaya penghentian paksa pihak Kepolisian Polresta terhadap kegiatan tersebut dengan melakukan kekerasan baik secara fisik dan psikologis telah melanggar Undang-Undang RI Nomor 9 TAHUN 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Pawai dan aksi kampanye damai yang dilakukan aktivis Spartan dengan tujuan memberikan pendidikan politik harus dipandang sebagai suatu bentuk konkrit kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang diakui oleh negara dan hukum. Demikian pula, secara substansial pawai atau aksi damai juga hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Uandang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Selanjutnya, pawai atau kampanye damai kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan aksi kampanye damai yang dilakukan oleh aktivis Spartan memiliki tujuan substansial dan jelas yakni untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia, terutama hal tersebut berkaitan dengan uuapaya Spartan selaku kelompok pemuda dan mahasiswa yang mendesak pemerintah SBY-JK untuk segera merealisasikan atau menyelenggarakan pelayanan negara atau pemerintah terhadap demi memenuhi kesejahteraan hidup kaum buruh yang sangat memprihatikan karena selalu menjadi korban eksploitasi kekuatan modal kapital, baik asing dan lokal serta pemerintah. Oleh karena itu, pengejewantahan kemerdekaan menyampaikan pendapat dari aktivis Spartan sebagai bagian langsung dari rakyat bangsa memerlukan adanya atau terciptanya suasana yang aman, tertib, dan damai, yang dalam hal ini dapat diperolehnya dari pihak Kepolisian (Polresta Kupang).

Dengan demikian maka, tindakan kekrasan, imtimaidasi dan pembubaran paksa pihak Kepolisian Polresta Kupang terhadap kampanye damai sebagai subuah moment pendidikan politik rakyat dan bagi rakyat merupakan tindakan penjajahan terhadap kemerdekaan berpendapat rakyat, pembatasan dan penghilangan ruang demokratis bagi rakyat dan pelanggaran HAM, khususnya hak berpendapat rakyat serta penciptaan kondisi yang mengancam atau membahayakan keselamatan rakyat.
Kedua, Perilaku anarkis dan intimidasi pihak Kepolisian Polresta Kupang kepada aktivis Spartan dalam melaksanakan pawai atau kampanye damai demi sebuah tujuan pendidikan politik bagi rakyat, merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Rativikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Sebagaimana diatur dalam perangkat Perundang-undangan ini bahwa merupakan hak asasi rakyat untuk berkelompok, berorganiasi dan berpolitik. Aksi kampanye damai aktivis Spartan harus dipandang sebagai bagian hakiki dari hak asasi rakyat untuk berorganiasi dan berpolitik serta menjalankan tugas dan fungsi politisnya melalui media politik yakni kampanye damai yang bertujuan untuk memberikan muatan dan penguatan kapasitas politik rakyat.

Dengan demikian maka, tindakan anarkis dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Polresta Kupang merupakan pembatasan pembatasan kemerdekaan masyarakat sipil untuk memenuhi dan mengekspresikan hak-hak politiknya. .
Ketiga, perilaku represif dan intimidasi aparat Kepolisian Polresta Kupang kepada aktivis Spartan merupakan bentuk pelanggaran HAM kepada rakyat dan oraganisasi pemuda serta organiasi mahasiswa. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan dengan jelas bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan. Oleh sebab itu, negara wajib mengutamakan perlakuan yang memberikan perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya.
Wajib bagi setiap orang, kelompok dan termasuk negara, hukum dan pemerintah untuk menghormati, menjunjung tinggi dan dan melindunginya demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam konteks kekerasan yang dilakukan aparat Kepolisian Polresta Kupang, tindakan mereka sudah merupakan wujud pendiskriminasian HAM Aktivis Spartan sebagai manusia yakni tindakan Kepolisian tersebut telah membatasi, melecehkan, juga merupakan bentuk pengecualian yang langsung didasarkan pada pembedaan kelompok dan golongan, serta keyakinan politik, yang mengakibatkan, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, hukum dan sosial. Demikian pula bahwa pihak Kepolisian Polresta Kupang telah melakukan penyiksaan kepada aktivis Spartan oleh karena perbuatan yang mereka dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada aktivis Spartan.
Sebagaima telah terjadi bahwa bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Polrestas Kupang secara terang-terangan melakukan tindakan kekerasan baik secara fisik dengan cara melakukan penamparan, pemukulan, penendangan, mencaci maki serta melecehkan nama baik organisasi. Selain itu, pihak kepolisian juga melakukan pemfitnahan yang keji untuk mendiskreditkan aktivis Spartan dengan menjalankan politik kambing hitam yakni mengklaim bahwa aktivis Spartan telah melakukan pemukulan terlebih dahulu kepada Kasat Samapta atas nama Iwan Iswahyudi. Dengan alasan tersebut pihak kepolisian Polresta Kupang membenarkan tindakan kekerasannya baik secara fisik dan psikologis dan pelecehan harkat dan martabat aktivis Spartan sebagai manusia dengan mengeluarkan caci maki.
Dengan demikian maka, pelanggaran Hak Asasi Manusia telah dilakukan oleh aparat negara dalam hal ini dilakukan oleh pihak Kepolisian Polresta Kupang baik sengaja dan telah mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia aktivis Spartan sebagaimana HAMnya dijamin oleh Undang-Undang ini.
Keempat, tindakan pelanggaran HAM dan pelecehan nilai demokrasi tidak saja dilakukan pihak Kepolisian Polresta Kupang terhadap aktivis Sparatan, tetapi juga dilakukan kepada salah satu wartawan Pos Kupang. Hal ini tidak saja melanggar Undang-Undang HAM, melainkan juga melanggar Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pihak kepolisian Polresta Kupang secara sadar melakukan intimidasi dengan melontarkan caci maki kepada wartawan Pos Kupang tersebut.

Pada sisi yang lain, pihak kepolisian Polresta Kupang juga memaksa dengan kasar kepada wartawan Pos Kupang untuk menghapus file foto yang yang telah diliputnya dari TKP. Tindakan pemaksaan secara kasar ini telah menggar Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bentuk kejahatan ini yang melanggar perundang-undangan ini, menampakkan bahwa pihak Kepolisian Polresta Kupang bermaksud menyembunyikan, menghilangkan bukti pelanggaran HAM dan pencorengan nilai-nilai demokratis sebagaimana tertuang dalan Perundang-undagan RI.

Tuntutan Spartan
1. Mendesak Kapolda NTT untuk segera melakukan pemecatan kepada Kasat Samapta atas nama Iwan Iswahyudi selaku penanggung jawab utama pengawalan kampanye damai aktivis Spartan pada momentum Hari Pekerja atau May Day (1 Mei) dan Hardiknas (2 Mei) yang dilakukan pada hari Jumat, 01 mei 2009.
2. Mendesak Kapolda NTT untuk memberikan sanksi Kepolisian kepada seluruh anggota kepolisian lainnya yang terlibat dalam tindakan pelanggaran HAM dan nilai-nilai demokrasi.
3. Mendesak Kapolda NTT untuk memerintahkan Kapolresta Kupang dan unsur Kepolisian Polresta Kupang yang terlibat dalam pengawalan kampanye damai May Day dan Hardiknas pada 01 Mei 2009 lalu untuk menyampaikan permohonan maaf secara resmi dan tertulis kepada seluruh organ pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam front Spartan melalui Jumpa pers dan hasilnya dipublikasi di media cetak nasional dan lokal.
Apabila tuntutan-tuntutan kami tidak dipenuhi, maka kami akan kembali memobilisasi massa aksi yang lebih besar lagi sebagai bentuk tekanan politik dan mengupayakan langkah-langkah hukum dengan meminta institusi negara yang lebih tinggi tingkatannya sampai terwujudnya kebenaran dan keadilan bagi rakyat sebagai upaya penegakan nilai HAM dan demokrasi di Indonesia pada umumnya dan khususnya di NTT.



Koordinator Aksi




Joao Mota


Tembusan Pernytaan sikap ini, dengan hormat kami sampaikan kepada:

1. KOMNASHAM.

2. OMBUSDMAN NTT.

3. KAPOLDA NTT

4. KAPOLRI.

5. MENKOPOLKAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar