Sabtu, 14 November 2009

REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA SEBAGAI UPAYA MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA ( Menggugat Hegemoni Politik Pendidikan Nasional )

REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA SEBAGAI UPAYA MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA
( Menggugat Hegemoni Politik Pendidikan Nasional )
Oleh: James Faot

“Pendidikan adalah ajang pertarungan ideologis”
_Nurani Suyomukti_

Pendahuluan
Pendidikan Rusak-rusakan. Demikianlah tema provokatif namun jujur yang yang diangkat Darmaningtiyas berkaitan dengan realitas objektif pendidikan dan dunia pendidikan nasional. Pandangan kritisnya terhadap realitas pendidikan dan dunia pendidikan nasional yang rusak-rusakan itu, disimpulkannya dalam satu kalimat tegas “Pendidikan telah kehilangan ruhnya sebagai jembatan transformasi sosial, akibat carut-marutnya malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan praktisi pendidikan di lapangan” . Euvoria pemerintah dan praktisi pendidikan memang memberikan kegembiraan bagi rakyat, karena harapan mereka untuk meningkmati pendidikan yang berkualitas dan lebih mudah (baca: lebih murah atau gratis), seakan terkandas ketika kita memelototi fakta-fakta penyelenggaraan pendidikan nasional yang sudah 10 (sepuluh) tahun reformasi hanya sekadar wacana dari mulut pemerintah yang suka membual-bual tentang reformasi sistem pendidikan nasional.
Seminar kali ini yang mengangkat tema “Reformasi Sistem Pendidikan Indonesia Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, pertama-tama, dalam pandangan pemateri merupakan sebuah isu pendidikan yang strategis untuk menelisik secara kritis konstelasi politik pendidikan nasional, yang berdasarkan perspektif beberapa rezim pasca reformasi 1998 mewacanakan reformasi pendidikan nasional sebagai oreintasi prioritas dalam membangun dan memajukan bangsa ini yang terpuruk. Semisal, pasca runtuhnya rezim Orde Lama (ORLA) di bawah Soekarno-Hatta, rezim Orde Baru (ORBA) di bawah kepemimpinan Soeharto memproiritaskan peningkatan kesejahteraan ekonomi, yang kemudian menjadikan pendidikan hanya sekadar alat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi . Padahal, implementasi konsep pendidikan sebagai alat peningkatan ekonomi, menurut penelitian Makmuri Soekarno peneliti LIPI bahwa model kebijakan pembangunan pendidikan sebagaian besar gagal karena terjebak menuju rezim “developmentalisme” dan masyarakat kehilangan kontrol dan aksesnya terhadap negara dan hasil-hasil pembagunananya. Pada sisi yang lain, rezim Soeharto juga menjadikan pendidikan hanya sekadar alat indoktrinasi ideologi militer. Sebagaimana dikatakan Moh. Yamin:
“...selama masa Orde Baru selama 32 tahun. Pendidikan sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah indoktrinasi, santiaji, penataran dan tutorial yang mengajari orang agar agar patuh dan menjadi penurut...akhirnya, pendidikan digenggaman Orde Baru tidak mampu memberikan ruang yang sebesar-besarnya bagi pencerdasan kehidupan bangsa. Lebih mengenaskan lagi, pendidikan Orde Baru juga telah melakukan kesalahan yang teramat besar, yakni dengan menggelar ideologi penyeragaman sehingga kemajuan pendidikan menjadi mampet” .
Kedua, tema seminar ini harus dipandang sebagai wujud kesadaran kritis masyarakat pada umumnya dan kaum intelektual muda khususnya bahwa pendidikan dan dunia pendidikan tidak lepas dari pertarungan ideologi dan politik para penguasa. Sebagaimana disampaikan Mansur Fakih pengantar buku Ideologi-Ideologi Pendidikan:
“Para praktisi pendidikan seperti para guru ataupun dosen di lembaga pendidikan ataupun sekolah formal; pelatihan (trainer) pada tempat kursus maupun lokakarya atau bahkan para pemandu pelatihan (fasilitator) di berbagai arena pendidikan non formal ataupun pendidikan rakyat (popular education) di kalangan buruh, petani maupun rakyat miskin, banyak yang itdak sadar bahwa ia tengah terlibat dalam suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Umumnya, orang memahami pendidikan sebagai suatu kegiatan mulia yang selalu mengandung kebijakan dan senantiasa berwatak netral. Dunia pendidikan terkejut, ketika asumsi bahwa setiap usaha pendidikan yang selalu dimuliakan dan diasumsikan mengandung kebijakan, mendapat kritik mendasar oleh almarhum Paulo Freire awal tahun 70an, serta Ivan Illich pada dekade yang sama. Kritik? Freire dan Illich menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini hampir dianggap sakral, penuh dengan kebijakan tersebut ternyata mengandung juga penindasan” .
Ketiga, sebagaimana dikatakan oleh William f. Bucklen, jr yang mengatakan bahwa “dan terbitlah apa yang kurang lebih merupakan nisan resmi; kita adalah generasi bisu; generasi konformis, generasi yang telalu sadar akan keamanan, memboyakan, hampa, tanpa greget” . Atau tegasnya, Nurani Suyomukti yang memberikan pandangan kritis bahwa postsmodernisme sebagai paham yang menekankan ultrapluralime telah memundurkan pendidikan. Kemunduran tersebut ialah bahwa postmodenisme melahirkan generasi individualistik dan narsis dan materiialistik. Reorentasi semangat pendidikan genarasi baru karena sifatnya yang individualistik, narsis dan apatis terhadap realitas objektif, termasuk kondisi objektif dunia pendidikan, membawa kesempatan yang luas bagi kapitalisme di bidang pendidikan untuk mengeksploitasi masyarakat. Dengan demikian, konsekwensi dari liberalisasi dinia pendidikan, sebagaimana dikatakan Nurani Soyomukti ialah:
“pertama-tama pendidikan menjadi ekslusif, jauh dari masyarakat umum, dan hanya dinikmati oleh kalangan tertentu (elit penguasa). Lalu, pendidikan mulai bergeser perannya bukan untuk bukan untuk memperoleh pengetahuan dan penyadaran, tetapi justru menjadi sarana untuk menyebarkan hegemoni kekuasaan agar penindasan yang dilakukan menjadi langgeng dan tanpa perlawanan” .
Didasarkan atas ketiga pertimbagan di atas, maka kajian ini berasumsi bahwa substansi tema yang diusung dalam seminar kali ini yakni “Reformasi Sistem Pendidikan Indonesia Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” menyembunyikan sebuah realitas politik pendidikan nasional. Oleh karena itu, sub tema yang sekaligus merupakan fokus dari kajian materi ini bertujuan untuk memberikan sikap gugatan terhadap penindasan politik pendidikan nasional yang didalangi oleh elit-elit kekuasaan baik itu pemerintah, para intelektual dan praktisi pendidikan dan kapitalisme global yang telah mereduksi hakekat pendidikan sebagai suatu proses memanusiakan manusia (humanisasi) menjadi suatu proses mendehumanisasi manusia melalui kebijakan-kebijakan pendidikan yang memiliki ruh sekuleristik, materialistik dan pragmatis. Singkatnya, realitas reformasi sistem pendidikan nasional dalam konteks politik kebijakan pendidikan memiliki matra paradoks dengan cita-cita pendidikan nasional yang berakar pada konstitusi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, sub tema yang coba di angkat dalam makalah ini adalah “Menggugat Hegemoni Politiik Pendidikan Nasional”.

I. Reformasi Sistem Pendidikan Nasional

a. Latar Belakang Reformasi Sistem Pendidikan Nasional.
Reformasi sistem pendidikan nasional diwacanakan dan diimplentasikan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional memiliki latar belakang historis. Mungkin, terdapat banyak latar belakang, akan tetapi dalam kajian ini, memitikberatkan beberapa latar belakng yang dipandang cukup stategis dan memiliki tendensi kuat dalam asumsi pemerintah untuk mereformasi sistem pendidikan nasional. Pertama, krisis multidimensi yang menghantam Indonesia pada mengandaikan merosotnya kepercayaan terhadap sistem budaya, sosial, politik serta sistem pendidikan yang lama. Karena sistem-sistem itu dianggap tidak mampu lagi mencerna masalah-masalah dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan kontekstual yang baru . Bagi Indonesia, keruntuhan sistem ekonominya menyibakan realitas hutang dan kemiskinan, sisitem-sistem (termasuk sistem pendidikan) yang ketinggalan dan kegagapan pengetahuan dan perilaku demokrasi. Disamping itu, politik kependudukan yang anti-natalis (mengurangi angka kelahiran) selama dua dekade sebelumnya, mewariskan struktur penduduk yang tidak berimbang .
Kedua, wacana reformasi sistem pendidikan nasional dilatarbelangi pula oleh peristiwa historis bangsa yakni reformasi politik tahun 1998, ketika rezim Orde Baru yang bawah pimpinan Soeharto ditumbangkan. Hal ini, dipertegas dalam oleh Anwar Arivin (2003) dalam makalahnya tentang Paradigma Baru Pendidikan Nasional bahwa reformasi pada 1998, menuntut dilakukannya reformasi sistem pendidikan . Salah satu alasan yang paling prinsip dilakukan reformasi sistem pendidikan pada era Orde Baru ialah sistem pendidikan pada waktu Soeharto lebih didasakan pada politik interes sektarian penguasa (baca: Soeharto) yakni bagaimana sistem pendidikan itu dapat menyokong status quo-nya.
Ketiga, tantangan globalisasi yang bagi banyak pakar pendidikan Indonesia kala itu belum siap untuk berkompetisi dalam pentas globalisasi, terhususnya dalam iklim pendidikan global. Sebagaimana dikatakan Jaques Attali dalam buku Millenium: Winners and losers in the Coming Word Order yang dikutip Danim. Menurut Attali,
“Ketika manusia memasuki era millenium ketiga mereka kan tersegmentasi dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok pemenang (the winners) dan kelompok pecundang (the losers). Kelompok pemenang adalah mereka tang terdidik, otonom secara pribadi, berketrampilan, berdaya adaptabilitas tinggi, memiliki kemampuan ekonomi yang kuat, dan menguasasi multi akses. Mereka tidak lagi memiliki pergulatan untuk tidak memenuhi kebutuhan akan sandang, pangan papan, pendidikan, layanan kesehatan, dan juga rekreasi. Sebaliknya, kelompok pecundang adalah mereka yang berekonomi lemah, berpendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan yang memadai, akses informasi yang terbatas, rendah diri, kondisi kesehatan dan gizi yang memprihatinkan, dan tempat bermukim yang seadanya...era pasar bebas sangat mungkin menjadi lahan empuk bagi mobilitas sosial-ekonomi-kultur kelompok pemenang; sebaliknya, tidak bagi kelompok pecundang” .
Danim memandang bahwa posisi posisi Indonesia antara dua kutub ekstrim ini, berdasarkan kondisi riil bangsa dengan tradisi subsidi bahan bakar, telepon, listrik, bahkan transportasi milik pemerintah telah memberikan harga-harga relatif murah ketika sebagian rakyat masih memiliki kemampuan untuk membayar (ability to pay). Ketika, subsidi perlahan-lahan ditarik, masyarakat berteriak, karena kehadirannya (baca: penarikan subsidi oleh pemerintah) berdampak pada kenaikan harga dan tarif ( barang industri, transportasi, bahan bakar, beban pulsa, tarif listrik, dll) bersamaan dengan menurunnya kemampuan masyarakat untuk membayar. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketika hendak memasuki iklim globalisasi dan kuatnya daya kompetitif yang dituntutnya dari masyarakat, Indonesia sebagai negara berkembang dengan mayoritas masyarakat yang tertinggal dalam berbagai aspek justru tidak diuntungkan oleh globalisasi itu. Rakyat bangsa yang dipaksakan naik berlaga di atas penggung globalisasi yang keras dan ganas kompetisinya, tertendang oleh mereka yang maju dan kuat, sehingga tergilaslah nasibnya dan menjadi pecundang, termasuk dalam dunia pendidikan. Hal ini ditegaskan pula oleh Meilani Kasim bahwa “memasuki abad 21, dunia pendidikan Indonesia menjadi heboh, kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih disebabkan karena kesedaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia” .
Keempat, sebagaimana disampaikan Sukarno dalam makalahnya Refleksi Atas beberapa Isu pendidikan yang mana menempatkan masalah ekonomi demografis yang salah satunya ialah hutang luar negeri Indonesia yang besar . Apalagi berdasarkan Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 1975-2010, yang dibagi dalam 4 tahap, yakni tahap I (1975-1985), tahap II (1986-1995), tahap III (1996-2005) dan tahap IV (2003-2010), sebagian pembiayaannya bersumber dari dana pinjaman (loan) kepada Bank Dunia (Word Bank) . Berkaitan dengan reformasi pendidikan nasional, tidak lain merupakan bagian dari intervensi kapitalis asing dalam dunia pendididikan Indonesia. Sebab, pada tahap ke-III PJP (2003-2010) strategi yang goal Bank Dunia dalam dunia pendidikan kita ialah Organisasi yang sehat (Organizationhealth), Desentralisasi/Otonomi (Autonomy and decentralization) dan Daya saing bangsa (The nation’s competitiviness). Dengan demikian, Indonesia sulit membagun sebuah kebijakan pendidikan yang sifatnya mandiri dalam artian bahwa pemerintah memperkuat basis pendidikan sebagai salah saru kunci utama dalam pemabagunan kehidupan bangsa yang ceras, kritis dan memiliki semangat nasionalisme.

b. Refornasi Sistem Pendidikan Nasional
Dalam konteks sistem pendidikan, reformasi sistem pendidikan nasional pada transisi rezim Megawati Soekarnoputri diapandang sebagai “pintu utama” untuk meningkatkan kualitas kebudayaan bangsa . Darmaningtiyas menuturkan bahwa perspektif Rezim Megawati memandang reformasi pendidikan nasional tidak hanya sebatas pada menjadikan pendidikan sebagai salah satu isu utamadalam melaksanakan reformasi, tetapi menyangkut substansi pendidikan an sich. Jadi, pendidikan di sini dimaknai sebagai proses budaya yang membentuk karakter bangsa menjadi lebih beradap, menjunjung nilai-nilai kebenaran, kejujuran kepekaan sosial, solidaritas, antikekerasan yang selama ini hilang dari kehidupan bangsa .
Dari segi kebijakan pendidikan, Menteri Pendidikan Nasional membentuk Komosi Pendidikan Nasional untuk memberikan masukan bagi perubahan atau reformasi pendidikan dan Komite Reformasi Pendidikan (KRP) untuk melaksanakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang dinilai sangat sentralistik. Revisi kebijakan pendidikan tersebut kemudian menghasilkan regulasi baru sebagai hasil reformasi yakni Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut UU No. 22/1999, pendidikan termasuk salah satu bidang pemerintahan yang didesentralisasikan . Selain itu, pada khususnya Perguruan Tinggi, Otonomi Kampus akhirnya dilegalkan oleh pemerintah pada tahun 1999 . Melaui Peraturan Presiden (PP) Nomor 60 yang mencakup perubahan administrasi institusi PT dan Peraturan Presiden (PP) Nomor 61 yang mecakup pembentukan PT sebagai badan Hukum (PT Badan Hukum Milik Nagara/PT-BHMN).
Komitmen pemerintah mereformasi sistem pendidikan nasional juga nampak dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) 1999-2004. Komitmen reformasi ini didasarkan pada penilaian bahwa selama ini sistem penedidikan nasional sangat sentralistik sehingga menutupi demokratisasi pendidikan. Ketertutupan demokratisasi pendidikan dalam manajeman pendidikan yang sentralistik berimplikasi pada program-program pendidikan yang seragam (unifrom). Unifromitas program-program pendidikan nasional dengan sendirinya tidak akan mampu mengakomodasi keanekaragaman atau heterogenitas interes setiap daerah/sekolah/peserta didik .
Kita dapat melihat pula komitmen pemerintah dalam mereformasi sistem pendidikan nasional dalam formulasi Kebijakan Pembangunan Pendidikan dalam Garis-Garis besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004, sebagai berikut:
1. Perluasan dan pemerataan memeperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Meningkatkan kemempuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan.
3. Pembaharuan sistem pendidikan, termasuk pembaharuan kurikulum.
4. Memberdayakan lembaga pendidikan, baik sekolah maupun luar sekolahsebagai pusat pemberdayaan nilai, sikap, dan kemampuan serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.
5. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Negeri maupun Swasta untuk mementapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan IPTEKES.
6. Meningkatkan kualitas SDM sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak, dukungan dan perlindungan sesuai dengan potensinya.
7. Meningkatkan penguasaan, perkembangan, dan pemanfaatan IPTEK guna penguatan kualifikasi teknis dalam iklim kompetitif dunia industri .
Dalam pandangan Yamin, reformasi pembangunan kebijakan pendidikan di atas dipertegas dalam amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat (4) yang mengatur tentang angka teknis alokasi anggaran 20% bagi penyelenggaraan pendidikan yang bersumber dari APBN. Mencermati arah kebijakan dalam Propenas tersebut dan amandamen UUD 1945 pasal 31 ayat (4), maka sesungguhnya yang ingin dicapai oleh pendidikan di era reformasi .
Sementara itu, bentuk dari upaya pemerintah mereformasi pendidikan nasional ialah dilahirkannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, sebagai pengganti UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989. Sebagaimana dikatakan oleh Anwar Arifin dalam tulisannya Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, bahwa UU Sisdiknas yang baru ini, memiliki paradigma baru yang pada UU Sisdiknas lama tidak mengakomodirnya. Paradigma baru UU Sisdiknas No. 20/2003 mengatasnamakan kehadirannya sebagai pengejewantahan salah satu tuntutan reformasi yang marak pada tahun 1998 .
Menurut Anwar, perubahan mendasar yang dicanangkan dalam UU Sisdiknas yang baru ini, seperti demokrasi dan desentralisasi pendidikan (Otonomi Daerah). Dimana, tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Termasuk didalamnya prinsip keterbukaan yang mendorong aksesibilitas dan mobilitas berpendidikan bagi seluruh rakyat, oleh karena pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah diwajibkan oleh UU untuk memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Termasuk dengan demoktatisasi pembiayaan pendidikan antara pusat dan daerah. Dalam konteks desentralisasi pendidikan satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan. Hal ini bertujuan untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis. Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2).
Peran serta masyarakat. Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2). Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dalam konteks desentralisasi inilah menurut Sukarno, kita melihat reposisi peran serta masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional .
Tantangan globalisasi. Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka sebagaimana dijelaskan di muka, harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3). Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin.
Kesetaraan dan keseimbangan. Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3).
Jalur Pendidikan. Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi 3 jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan perubahan mendasar dalam Sisdiknas .
Sedangkan, orentasi kebijakan pendidikan pada masa rezim SBY-JK (Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla), menurut Sukarno, secara normatif telah diambil, terlihat pada tekad baru yang termuat pada dasar-dasar kebijakan pendidikan pasca krisis . Sebagaimana dikutip Sukarno dalam Enam Program Pendidikan SBY-JK (Permatasari & Wisudo, Kompas, 23/11/2004), yang antara lain: Pertama, Meningkatkan pelaksanaan belajar wajib belajar 9 tahun dan akses yang lebih besar kelompok yang tertinggal, kedua, meningkatkan pendidikan keterampilan dan kewirausahaan/non-formal yang bermutu; ketiga, menyediakan pemerataan sarana prasarana dan tenaga kepandidikan; keempat, meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik, kelima, penyempurnaan manajemen dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan mutu, dan keenam, meningkatkan kualitas kurikulum, dan pelaksanaannya untuk membentuk watak dan kecakapan hidup.
Implementasi keenam program setelah setahun lebih pemerintahan SBY-JK, artikulasi kebijakan Depdiknas terlihat melanjutkan “pekerjaan rumah” yang belum diselesaikan pemerintah sebelumnya, yang menghubungkan emapt hal sekaligus yakni: oreitasi pendidikan yang baru, tata pemerintahan, manajemen pendidikan (desentralisasi), dan keterbatasan keuangan negara akibat sepertiga APBN dipakai untuk melunasi hutang luar negeri, serta secara bertahap merealisasikan tuntutan konstitusi yaitu alokasi APBN/D 20% untuk sektor pendidikan terutama untuk program wajib belajar 9 tahun.
Selanjutnya dalam masa pemerintahan SBY-JK, lantujtan mereformasi pendidikan nasional diupayakan memalui lahiran beberapa regulasi yang dipandang strategi oleh pemerintahan SBY-JK. Beberapa diantaranya ialah UU Guru dan Dosen, Peppres Nomor 77 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup bagi dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penenman Modal. Didalam lampiran II b no. 72 dan 73 tercantu “Pendidikan Dasar dan menengah dan Pendidikan Tinggi” sebagai bagian dari “Bidang Uasaha yang Terbuka bagi Penanaman Modal” yang boleh diperebutkan lewat pasar . Peppres tersebut mengatur pula detail penguasaan saham bagi pemodal untuk menguasai semua satuan pendidikan yakni 49%.
Selain itu, kebijakan pendidikan SBY-JK yang paling kontroversial (sampai saat ini), ialah disahkannya UU Badan Hukum Pendidikan pada 18 Desember 2008. dan dimasukan dan lembaran neraga pada Januari 2009 (UU Nomor 9 Tahun 2009 Tentang badan Hukum Pendidikan). UU ini, oleh banyak kalangan (termasuk pemateri) dinilai sebagai hegemoni neoliberalisme dalam dunia pendidikan nasional.

II. Realitas Mempriihatinkan Pendidikan Nasional Dalam Bingkai Hegemoni Politik Pendidikan.
Sebelum bagian ini diteruskan dengan kajian reformasi sistim pendidikan dengan menggunakan realitas implementasi reformasi itu sendiri sebagai parameternya, maka penting dipertimbagkan untuk dijelaskan alur berpikir konten hegemoni politik pendidikan dalam dalam maksud pemateri, sehingga tiidak terjadi kesalahpahaman kita bersama tentang konsep-konsep ini (hegemoni dan pilitik pendidikan).
Konsep tentang hegemoni sebenarnya diperkenalkan oleh tokoh Marxis Italia, Antonio gramsci. Dalam catatan hariannya tang terkenal sewaktu dipenjara, yakni selection from the prison netebook 1921-1926. ia mencoba menjelaskan kegagalan komunisme dan keberhasila kapitalismeuntuk bertahan di Italia. Gramsis memperkenalkan konsep hegemoni untuk menjelaskan salah satu penyebab dan popularitas dan bertahannya kapitalisme di masyarakat. Baginya, keberhasilan kapitalisme karena didukung oleh satu kampanye ideologis yang meyakinkan tentang janji-janji kapitalisme. Menurut Garamsci, pada dasarnya, tiap-tiap hegemon, (orang, kelompok, kelas atau penguasa yang melakukan hegemoni), terutama kelas yang berkuasa, mencoba untuk melegitimasi kekuasaan, kesejahteraan dan kehormatannya kepada massa secara ideologis. Para penguasa sebagai kekuatan sosial terlibat dalam perang ideologis untuk memperjuangkan ide-ide moral, religius, praktis dan estetik agar diterima dan dilembagankan sedemikin rupa sehingga ide-ide itu memiliki pengaruh-pengaruh yang begitu kuat di masyarakat. Gramsci berpendapat bahwa sebuah rezim, dalam menciptakan hegemoni akan menampilkan kondisi eksistensinya, sebagai sesuatu yang universal, yang meliputi pandangan dunia atau seperti agama. Dalam pandangan Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasasi tidak hanya harus mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai dan norma-norma penguasa. Lebih dari pada itu, mereka harus memberi persetujuan atau subordinasi terhadap mereka. “Penindasan dan domonasi yang disetujuai oleh si tertindas inilah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual” . Bahakan hegemoni sebagai salah satu supremasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supremasi yang lain, yang dimanakan Gramsci “dominan”, yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik .
Proses terjadinya hegemoni melibatkan berbagai macam penetrasi dan sosialisasi nilai, ide-ide, sikap dan moralitas. Ketika pandangan ini diinternalisasikan oleh masyarakat, maka hal itu berubah manjadi pandangan umum (common sense) yang pada akhirnya memiliki kapasitas untuk menghilangkan potensi kritis masyarakat yang didominasi—dan tentunya semakin memperkuat posisi kekuasaan (status quo). Karena itulah, setiap tindakan kelas yang merugikan kelas tertindas dianggap wajar oleh masyarakat secara umum.
Jika, hegemoni diartikan sebagai menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual (dan terkadang menggunakan kekuatan koersif), sihingga si tertindas menyetujui ketertindasan mereka oleh si penindas dan demikian melanggengkan status quo penindas, maka politik pendidikan merupakan pendekatan atau metode yang didasarkan pada suatu landasan ideologis pendidikan guna mempengaruhi pihak-pihak tertentu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan . (Dalam konteks pendidikan nasional, maka landasan ideologis yang dimaksud ialah landasan kebudayaan bangsa indonesia sendiri).
Secara lebih rinci, Ki Supriyoko sebagaimana dikutip Yamin, mengemukakan 5 (lima) defenisi mengenai politik pendidikan:
“Pertama, politik pendidikan adalah metode mempengaruhi pihak lain untuk mencapai tujuan pendidikan; kedua, politik pendidikan lebih berorentasi pada bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai; ketiga, politik pendidikan berbicara mengenai metode untuk mencapai tujuan pendidikan, misalnya, anggaran pendidikan, kebijakan pemerintah, partisipasi masyarakat, dsb; keempat politik pendidikan berbicara mengenai sejauhmana pencapaian pendidikan sebagai bentuk sebagai pembentuk manusia Indonesia yang berkualitas, penyangga ekonomi nasional, pembentuk bangsa yang berkarakter, dsb; dengan demikian politik dimaknai sebagai sebuah endaparan politik negara, penjabaran dari tradisi bangsa dan nilai-nilai, serta sistem konsepsi rakyat mengenai bentuk negara dalam sistem pendidikan...; kelima, politik pendidikan bertujuan untuk memperjelas arah kemajuan pendidikan demi pembangunan bangsa yang lebih baik ke depan” .
Hubungan hegemoni dan pilitik pendidikan dapat diasumsikan bahwa politik pendidikan merupakan cerminan eksistensi sekaligus merupakan pedoman dan alat evaluasi raihan injeksi ideologi pendidikan penguasa kepada si tertindas. Oleh karena itu, tujuan politik pendidikan ilalah berlangsungnya suatu penindasan yang halus melaui sistem pendidikan, yang implimentasikan secara tepat-guna demi terinternalisasi bahkan melembagakan praktek penindasan, sehinngga status quo penindas dan praktik penindasan tetap langgeng. Atau, dengan kata lain hegemoni politik pendidikan nasional ialah upaya penguasa untuk membangun kesadaran masyarakat (subordinat) yang menitikberatkan kesadaran penyelenggaraan sistem pendidikan nasional yang pada akhirnya akan mencerdaskan kehidupan bangsa, namun sebenar lebih merupakan suatu upaya pembodohan dan penindasan terhadap masyarakat.
Untuk menguji sejauh mana asumsi di atas benar/tepat, maka kondisi objektif implementasi reformasi sistem pendidikan sebagaimana telah dideskripsikan di atas dapat kita pakai sebagai parameternya.
Salah satu tuntutan utama reformasi pendidikan berkaitan denngan hubungan tatakelo pendidikan yakni hubungan pemerintah (pusat) dan daerah serta manajemennya. Konsep besar desentralisasasi pendidikan sebagai paradigma baru pendidikan nasional, menurut Beny Susetyo, sebagaimana dikutip Yamin, bahwa terdapat 2 (dua) hal yang menjadi penekanan dalam UU Nomor 20 Tahun 1999 yang diperkuat dengan UU Nomor 2 tahun 1999. Pertama, mengatur pemerintah daerah dan kedua, mengatur perimbangan keuangan pemerintah dan daerah. Dalam konteks ini, keinginan untuk melakukan desentralisasi kewenangan pusat kedaerah, termasuk dalam hal ini adalah kewengan dalam bidang pendidikan . Namun, menurut Beny Susetyo, ternyata pelaksanaan otonomi (pendidikan) tidak dilakukan sepenuhnya. Terbukti, pemerintah masih melakukan sentralisasi beberapa kebijakan dalam dunia pendidikan, sebut saja penetapan sejumlah standarisasi pengelolaan, baik kurikulum, kompetensi siswa, penilaian hasil belajar, dst. sehingga proses pelaksanaan tersebut terkesan desentralisasi setengah hati. Selain itu, menurut Ki Supriyoko, banyaknya daerah di Indonesia tidak memiliki Sumber Daya Alam, keuagan, dan manusia yang memadai untuk menjalankan sistem desentraliasisi. Selain itu, jauh lebih prinsip dari kebijakan desentraliasi tidak terlepas dari konstelasi politik neoliberalisme dunia pendidikan. Dalam PJP-PT, terbaca jelas bahwa desentralisasi telah memanfaatkan secara baik wacana sentralisme pendidikan nasional sehingga upaya deregulasi peran negara dalam pembiayaan pendidikan justru berlangsung. Ada semacam, uapaya melepas tanggung jawab pembiayaan pendidikan bagi rakyat yang dilakukan secara perlahan-lahan oleh pemerintah. Hal lain yang turut mendukung deregulasi peran negara untuk melepas tanggung jawab pembiayaannya ialah Surat Perjanjian Hutang (Leters of Intens) yang ditandatangani mantan presiden B.J. Habibie dengan IMF, dalam salah satu pasalnya (sebagai syarat pemberian hutang) menegaskan supaya pemerintah Indonesia meliberalisasi sektor pendidikan. Selain itu, desentralisasi pendidikan juga mendatangkan masalah baru di daerah. Persoalan ini ialah terbentuknya struktut kekuasaan baru seperti sindiran umum “Raja-Raja kecil”. Politik desentralisasi kemudian menjadi fasilitator bagi terbentuknya feodalisme modren di daerah. Implikasinya tak asing, rakyat di daerah mengalami penindasan lantaran watak ekonomi politik penguasa daerah yang rakus. Selain itu, tarik menarik kepentingan antar pusat dan daerah (propinsi dan kabupaten/kota). Perhelatan kepentingan pusat/daerah memiliki implikasi ekonomi dan politik. Secara ekonomi, berkaitan dengan keterbatasan dana pendidikan di daerah. Implikasinya ialah terhambatnya upaya peningkatan profesionalisme guru, terhambatnya peningkatan kualifikasi guru, melebarnya kesenjangan kesejahteraan guru pusat dan dearah (antar propinsi dan kota/kabupaten), serta kesenjangan mutu pendidikan antar sekolah pusat dan daerah, siswa kaya dan miskin, sekolah yang terisilasi dan terbuka. Sedangkan secara politik, terjadi tarik menarik atau juga tolak menolak yanggung jawab antar pusat dan daerah, respons ambigu pemerintah daerah dalam mencari peningkatan PAD yang kemudian mengorbankan upaya peningkatan pendidikan, pada tingkat sekolah, guru-guru juga bersikap apatis, ketidakefektifan dan ketidakefisiensi birokrasi pendidikan. Bahkan proses birokrasi pendidikan yang berbelit-belit, justru bertentangan dengan semangaat otonomi daerah yakni mendekatkan sistem pengelolaan pendidikan dengan sekolah, gru , siswa dan orang tua siswa, lokal sentris dalam pengembagan kurikulm yang tidak memiliki konsep yang jelas bahkan terkesan diabaikan atau asal diterapkan. Semua ini menunjukan bahwa otonomi pendidikan hanya sekadar wacana, kosong beleka!
Dalam konteks politik pendidikan, reformasi pendidikan, Angaran pendidikan, Utang Luar Negeri dan ladang korupsi biroktat, menunjukan hubungan yang masing-masing memiliki keseragaman interes ekonomi politik. Reformasi anggaran pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UU 1945 (amandemen) pasal 4, menyatakan bahwa pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% bagi penyelenggaraan pendidikan. Dalam realisasinya, pemerintah mengulur-ulur alokasi anggaran. Pada tahun 2001 alokasi anggaran pendidikan Rp. 13,5 triliun atau 4,55%, Tahun 2002 anggaran justru menurun menjadi 3,76% atau Rp. 11,352 triliun. Pada 2003, bakkan pemerintah justru mengurangi alokasi anggaran pendidkan (padahal sudah sangat kurang) sehingga tinggal menjadi Rp. 11 triliun. Dan pada tahun 2004, naik sedikit menjadi Rp. 15,3 triliun atau 3,49% dari APBN .
Lebih ironis lagi, pada tahun 2008, surat edaran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati dengan nomor S-1/MK.02/2008 yang menegaskan penghematan uang negara sebesar 15%, yang kemudian berubah menjadi 10% dari setiap depertemen, termasuk pendidikan, maka penghematan inipun menjadi naif untuk dapat memajukan pendidikan. Diakui atau tidak anggaran di APBN pada tahun 2008 berjumlah 44 triliun atau kurang dari 10%. Dan tentunya ini tidak menjamin anggaran pendidikan yang 20% itu, sebab itu Cuma rancangan/tulisan.
Darmaningtiyas mengemukakan bahwa alokasi anggaran pendidkan suatu rezim menunjukan seberapa besar komitmennya terhadap pertumbuhan dunia pendidikan sekaligus menunjukan bahwa pendidikan memperoleh prioritas utama dalam penganggaran . Selain itu, ini mencerminkan bahwa kebijakan dipandang sebagai salah satu sektor utama dalam membangun kecerdasan dan kemandirian bangsa. Dengan demikian maka, alokasi anggaran pendidikan yang rendah pada masa rezim SBY-JK adalah cerminan rendahnya perhatian mereka terhadap pembagunan dunia pendidikan. Selanjutnya, jika kita membandingkan alokasi hutang luar negeri yang besar (sampai dengan saat ini) yakni $ 60 miliar. Dan ini merupakan hutang luar negeri terbesar dalam sejaran hutang luar negeri Indonesia.
Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa hutang luar negeri merupakan instrumen kapitalisme global dalam menghisap negara-negara dunia ketiga. Memalui hutang independensi sebuah negara digerogoti dan menjadi tak berdaya dihadapan si pemberi hutang. Bukan rahasia bahwa karena hutang luar negeri Indonesia pada tahun 2010 nanti kepada Bank Dunia, meminta tumbal dipersepatnya lahiran regulasi UU BHP nomor 9 tahun 1999. oleh karena itu, alokasii anggran pendidikan yang tersendat-sendat dan sangat minim oleh penguasa hanya menunjukan bahwa ideologi dominan (baca: neoliberalisme) telah mendikte detail-detail arah dan kebijakan pendidikan nasional. Lebih jauh dari pada itu, politik hutang luar negeri telah mengorbankan berjuta-juta anak negeri yang masih dalam ketertindasan oleh karena kebodohan, kemiskinan, kurang gizi, dll, semakin terperosok dalam jurang sosial ekonomi yang tidak manusiawi. Inilah, sebuah kebijakan pendidikan yang terang-terangan menunjukan hegemoni politik pendidikan pemerintah.
Sedangkan anggran berkaitan dengan biroktat pendidikan nasional, dalam pandangan Darmaningtiyas, wacana minimnya anggaran yang digulirkan birokrat berorentasi pada cara berpikir projecy oriented . Pertanyaan yang patut kita ajukan ialah apakah dengan anggaran yang tinggi tetapi biroktat masih bermental korup, kolusi dan project oriented dan kurang memiliki kemampuan manajerial? Jadi, letak permasalahan pendidikan kita tidak semata-mata persoalan anggaran, melainkan sejauhmana dana itu kekelola secara efektif dan efisien. Sebagaimana dibuktikan oleh hasil penelitian BPK (Badan pemeriksa Keuangan) setiap tahun terhadap penggunaan anggaran negara di institusi pemerintah, termasik Depertemen Pendidikan Nasional, selalu memperlihatkan rendahnya kemampuan pengelolaan anggaran pemerintah, selalu terjadi tingkat kebocoran dan inefisiensi yang tinggi.
Persolan lain dalam reformasi sistem pendidikan nasional berkaitan gonta-ganti kurikulum pada setiap rezim serta semangat kurikulum pendidikan yang anti-realitas. Lahirnya kurikulum pendidikan yang berbasis konpetensi teknis dan berorentasi pasar seperti sekarang ini, nenunjukan bahwa kekuatas pasar kini merupakan penentu arah dan kebijakan pendidikan. Fenomena itu perupakan bukti dimana hakekat pendidikan dari sudut pandang filosifisnya justru tereduksi hanya sekadar pragmatis. Dunia pendidikan tidak lebih sebagai mesin produksi yang memproduksi manusia-manusia autonom karena pendidikan hanya memberikankan kesadaran naif dan bukan kritis. Dalam tulisan Freire , mengemukakan bahwa kepedulian terhadap pemanusiaan seketika membawa kita pada pengakuan terhadap dehumanisasi, yang bukan hanya kemungkinan ontologis melainkan sudah menjadi kenyataan sejarah . Termasuk dunia pendidikan telah menjadi alat penindas sistematis yang mendehumanisasi manusia; kurang dari manusia atau tidak manusia lagi. Padahal, Naim dan Sauqi mengemukakan bahwa dalam sosiologi pendidikan, ‘sebetulnya terdapat relasi resiprokal (timbal-balik) antara dunia pendidikan dan dengan kondisi masyarakat. Namun, cerminar realitas ketertindasan masyarakat Indonesia tidak dicerminkan dalam kurikulumnya. Yang justru dicerminkan ialah orientasi kurikulum pendidikan yang menjadikan anak banga menjadi jongos kapitalisme sebagaimana dikemukakan oleh amin Rais. Dengan demikian, reorentasi kurikulum pendidikan pasca reformasi pendidikan nasional menyimpan praktik hegemonisasi kekuatan korporasi-korporasi asing untuk memperoleh tenaga kerja murah, komoditi murah dan pasar bagi produksinya.
Masih ada agenda permasalahan pendidikan dalam reformasi pendidikan nasional, akan tetapi pertimbagan kecukupan waktu maka bagian kterakhir dari hegemoni politik pendidikan nasional difokuskan pada lahiran-lahiran regulasi pendidikan yang pada prinsipnya dekendarai oleh ideologi neoliberal dengan menjadikan pemerintah sebagai subordinasi pertama dan rakyat adakah subordinasi berikutnya.
Berderet regulasi seperti Leters of Intens, PP no. 60/61 tahun 1999 (PT-BHMN), UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, Peppres No. 77 Tahun 2007 tentang sektor penanaman modal yang terbuka dan tertutup bagi investasi, serta yang baru digulirkan dan mengundang kontroversi rakyat Indonesia ialah UU BHP no.9 tahun 2009. kecurigaan terhadap interes ideologi neoliberal terhadap lahiran regulasi-regulasi dia atas dikemukakan cirinya oleh Yamin:
“Aturan dasar kelompok neoliberal adalah liberalisasi perdagangan dan finance, biarkan pasar menentukan harga, mengakhiri inflasi, stabilitas ekonomi makro, dan pemerintah harus menyingkir menghalangi jala. Oleh karenanya, terkait dengan otonomi pendidikan yang digulirkan pemerintah, ini sama halnya dengan membiarkan pendidikan diserahkan kepada pasar. Pemerintah tidak mau bertanggung jawab dengan hal tersebut. Ini adalah realitas pendidikan saat ini yang selanjutnya mengarah pada ‘komersialisasi pendidikan’” .

Dalam pandangan Hasyim Wahid, menjadi penutup sementara dari tulisan ini. Ia mengemukakan bahwa:

“...pendidikan kita sesungguhnya sedang berada dalam telikung kapitalisme global...pendidikan Indonesia berada dalam hegemoni pihak asing yang kuat secara ideologi dan modal.. Damapak dari pendidikan diserahakan kepasar, maka akam menyulitkan masyarakat guna mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu. Indonesia yang sudah masuk pada lingkungan neoliberalisme pasca digelarnya kebijakan otonomi pendidikan telah menyebabkan dunia pendidikan menjadi perdagangan bebas.” .

Bertolak dari eksplorasi sederhana di atas, maka Hegemoni politik pendidikan dalam reformasi pendidikan adalah fenomena penindasan diatas penindasan, pemetuhan diatas pematuhan dalam logika korporatokrasi, birokrastisasi dalam konteks mastarakat yang semakin demokratis adalah semacam “bom waktu” yang sewaktu-waktu meledakan hegemoni berlapis dalam konsep Harvey melalui Revolusi pendidikan dan dunia pendidikan oleh kaum tertindas.

Bersambung……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar