Senin, 16 November 2009

Quo Vadis Pendidikan Indonesia

james Faot
Quo Vadis Pendidikan Indonesia
Bangsa Indonesia telah memasuki usia KEMERDEKAAN yang ke-64 tahun. Ironisnya, mayoritas rakyat masih hidup dalam kondisi yang kontradiktif dari suatu bangsa yang MERDEKA. Fenomena problematik riil dari rakyat seperti kebodohan, kemiskinan, kesehatan, pengganguran, dll. masih merupakan potret buram seperti era KOLONIALISME. Ini berarti, kemerdekaan kita hanyalah era metamormosa penjajahan dengan wajah baru yakni NEOLIBERALISME. Bertepatan dengan momentum Hari Pekerja atau May Dai (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional atau HARDIKNAS (2 Mei), patutlah kita sebagai kaum yang progresif yang memperjuangkan perubahan fundamental tatanan bangsa dan nasib rakyat yang berada di bawah hegemoni kapitalisme. Berefleksi secara kritis untuk menetukan langkah strategis sebagai agenda perjuangan rakyat, dimana rakyat menjadi subjek penentu perubahan dan pelaksana perubahan itu sendiri. Sebab, hanya rakyat yang telah mengalami kesadaran tranformatid sekaligus memiliki tindakan revolusionerlah yang dapat merealisasikan perubahan kondisi bangsa secara hakiki. Permasalahan Kaum Buruh
Momentum May Day sebagai peringatan (commemorates) atas sebuah perjuagan kelas pekerja terhadap eksploitasi kapitalisme, merupakan hal yang urgen dan relevan serta memiliki arti yang signifikan guna memperkuat posisi tawar (bergaining position) kelas pekerja yang sampai saat ini masih tereksploitasi oleh kekuatan kapitalisme, baik global global dan nasional. Krisis kapitalisme ini secara panjang & terstruktur, karena merupakan kombinasi dari krisis besar financial (great financial crisis) & stagnasi ekonomi, krisis ekologi, dan krisis ideologi neoliberal. Dampak krisis bagi sektor pekerja di Indonesiaialah jutaan orang bakal kehilangan pekerjaan tahun ini. Berhadapan dengan krisis ini, para kapitalis akan berupaya menjaga profitabilitas dengan menekan upah dan komponen yang berhubungan dengan pengeluaran untuk pekerja. Ironisnya, pemerpintah berkonspirasi dgn pengusaha u/ tidak jatuh tingkat keuntungannya dengan memaksakan pemberlakuan SKB 4 menteri. Bagi pengusaha, kebijakan ini bermanfaat untuk menahan laju kenaikan upah pekerja. Perjalanan krisis (sejak september 2008) kaum pekerja bertada dalam kondisi kesulitan; (1), ancaman PHK massal. Prediksi jumlah PHK mencapai 2-3 jutaan pekerja (Apindo daera: sampai Maret sudah ada 240.000 orang yang kena PHK. (2), pekerja mengalami tekanan drastis pada upah dan jaminan sosial. Kenaikan UMR tahun 2009 tidak melebih 10%, padahal kenaikan harga kebutuhan pokok lebih tinggi dari angka tersebut. (3), neoliberalisme sungguh menjatuhkan standar hidup rakyat Indonesia, termasuk kelas pekerja. Penelitian Roy Morgan Research, 59% penduduk Indonesia yang harus menghabiskan 20-30% anggaran bulannya hanya untuk membeli bahan makanan. Permasalahan Pendidikan Nasional
Pada 2 Mei nanti, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Dimana, Dunia Pendidikan Nasional telah berusia 64 tahun. Ironisnya, amanah UUD 1945 yang merupakan mainstream penyelenggaraan pendidikan Nasional yakni “Mencerdasakan Kehidupan Bangsa”, justu didistorsi oleh kekuatan kapitalisme dengan ideologi neoloberalismenya yang menjerat, eksploitatif dan hegemonik. Implikasinya bagi dunia Pendidikan kita ialah “sekulerisme, materialisme, pragmatisme pendidikan”. Terkait dengan kebijakan publik yakni masalah anggaran pendidikan, realisasi anggaran hanya 8,3 persen (2003) dan 9,1 persen (2006), oleh karena itu anggaran pendidikan nasional kita merupakan yang terendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di lingkup geografis Asia Tenggara. Bila dibandingkan dengan Malaysia yang 25,5 persen, Thailand 24,2 persen, Filipina 16,2 Kamboja 18,3 persen, Timor Leste 24,2 persen. Kebijakan untuk menaikkan anggaran pendidikan secara bertahap menuai kritik dari masyarakat luas. Hal ini dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi negara. Terutama karena Indonesia telah meratifisikasi Ecocos (Dewan Ekonomi dan Sosial di Bawah PBB), yang antara lain menyebutkan perlunya pendidikan gratis. Wajah Buruk kebijakan anggaran Pendidikan Indonesia yang ninim memiliki akar permasalahan yang signifikan dalam konstelasi politik ekonomi pendidikan global. Dunia pendidikan Indonesia terjerat dengan Utang Luar Negeri Indonesia (30-40% dari APBN) sehingga mendorong pemerintah untuk terus meminjam dan memprivatisasi pendidikan. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa pemerintah Indonesia, dengan mengikuti saran Bank Dunia (Word Bank) telah menandatangini kontrak kerja sama pendidikan dengan UNESCO dan Bank Dunia (Word Bank). Misi liberalisasi atau privatisasi dunia pendidikan di Indonesia telah dipersiapkan sejak lama. Salah satu agenda liberalisasi dunia pendidikan Indonesia telah dibahas di Perancis dalam pertemuan GATS di Perncis pada tahun 1998. Pada tahun itu pula (1998) Presiden Habibi menandatangani Surat Perjanjian Hutang atau Leters of intens (LOI) dengan IMF International Moneyter Found (IMF) isi salah satu point (point ke-4) yakni meliberalisasi dunia pendidikan nasional. Agenda liberalisasi pendidikan nasional terus berjalan secara bertahap di Indobnesia. Pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan UU Badan hukum Milik Negara (BHMN). Inviltasi ideologi neoliberal dalam kebijakan pendidikan Indonesia memiliki implikasi langsung dengan interes kapitalisme global. Liberalisasi dunia pendidikan mengaharuskan pemerintah melepas tanggung jawab dari penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya pendidikan diserahkan pada swasta untuk mengelolanya selayaknya mereka menjalankan manajemen perusahaan berorentasi provit. Pendidikan kemudian direduksi menjadi sebatas komoditi yang bebas diperjual-belikan kepada rakyat. Ciri utama lain pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Kurikulum berorentasi pasar atau dunia produksi. Pertanyaannya ialah “Benarkah Pendidikan Berkualitas Mahal?” Jerman, Perancis, Belanda, Swedia, Kuba dan beberapa negara berkembang lainnya, banyak PT bermutu namun biaya pendidikannya rendah bahkan gratis. Sudah jelas kiranya yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 31, ayat 1 bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Yang artinya, setiap anak bangsa mempunyai hak yang sama tanpa harus membedakan si kaya atau si miskin, suku, ras dan agama untuk mengenyam pendidikan pada jenjang apapun mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan dimanapun. Lain dengan kenyataanya, bahwa pendidikan hari ini bukanlah hak setiap anak bangsa karena pendidikan telah menjadi suatu barang mewah yang sulit untuk diraih bagi rakyat, terutama rakyat kecil. Di hadapan lembaga pendidikan yakni sekolahan, rakyat kecil (miskin) hampir tidak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Biaya mahal adalah salah satu penghalangnya.
Merujuk pada UUD Bab XIII pasal 31 ayat 2, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya dengan demikian wajib bagi pemerintah Indonesia untuk mentaati hukum. Atau dengan kata lain, pemerintah harus mencadi teladan pertama dalam hal kepatuhan hukum. Amandemen UUD 1945 yang disahkan 2002, merupakan hukum tertinggi negara, seharusnya menjadi patokan. Anggaran menjadi bukti komitmen pemerintah. Ini menjadi kredit tersendiri bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan di mata rakyat. Ada dua alasan kontekstual mengapa faktor anggaran menjadi penting bagi dunia pendidikan Indonesia. Pertama, keterpurukan pendidikan Indonesia sudah pada taraf mengkhawatirkan. Contoh, pendidikan dasar (universal education) yang menjadi moral obligation setiap pemerintahan, belum juga tuntas meski Indonesia telah 64 tahun merdeka. berdasarkan data pada tahun 2005, masih ada satu juta anak usia SD belum mempunyai sekolah maupun guru tetap, dan 2,7 juta anak usia SMP yang sama sekali tidak mempunyai sekolah atau guru. Dengan dana yang besar, sekolah-sekolah yang rusak saat ini di seluruh Indonesia dapat diperbaiki serta dapat dipenuhi kebutuhan fasilitas dasarnya seperti laboratorium praktik dan Laboratorium bahasa. Dengan anggaran yang lebih besar pula, pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan gratis. Dengan pendidikan gratis—yang disubsidi pemerintah—kita dapat menyelamatkan jutaan anak-anak negeri yang terancam putus sekolah.
Baca & Lawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar