Senin, 16 November 2009

Analaisis Kejadian 4-11 (Manusia sebagai makluk berelasi : Religius, Sosial & Cultural)

Bagaimana Manusia dan Keturunannya menjalankan perintah Allah di bumi dalam 3 (tiga) relasi: relasi religius, relasi social dan relasi cultural?
(Berdasarkan Kejadian 4-11)

Manusia dan Relasi Religiusnya

Kisah Kejadian merupakan suatu peristiwa historis tentang kehidupan makhluk manusia dengan menonjolkan dimensi religius, sosial dan kultur. Dimensi religius yang diangkat dalam peristiwa yang dicatat dalam kitan ini ialah hubungan manusia selaku ciptaan Allah. Manusia sebagai ciptaan Allah, manusia itu membagun hubungan yang sifatnya vertikal. Alllah sebagai pencipta, telah menjadikan manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas (Ibr. Nefesy /Yun. phusukhe) sehingga manusia itu menjadi makluk yang hidup. Eksistensi manusia secara kompleks digambarkan sebagai imagodei atau “gambar Allah”. Dalam pemahaman ini, relasi yang tercipta antara manusia pertama-tama harus dilihat sebagai inisitif Allah yang secara terbuka menyatakan diri-Nya sendiri kepada manusia selaku gambar-Nya. Kedua, dari penyataan diri Allah secara tebuka kepada gambar-Nya yakni manusia, manusia dapat merespon kehadiran Allah secara terbuka sebagai gambar aslinya. Secara literal kata imagodei memberikan makna yang lebih dapat mengambarkan hakekat dimensi relasional dari manusia sebagai makhluk religius. Kata imagodei dalam terjemahannya yang lain dalam bahasa inggris disebut dengan ikon/copy. Artinya bahwa manusia adalah tidak lain dari Allah sendiri. Konsep ini sama sekali tidak menempatkan manusia sebanding atau sederajat dengan Allah. Allah tetap sebagai pencipta dan manusia sebagai yang diciptakan. Oleh karena itu relasi yang vertikal yang dibagun oleh manusia dengan Allah adalah relasi yang menyembah dan mengabdi kepada Allah.
Namun, dalam catatan pasal 4 kitab kejadian, relasi religius yang sifatnya vertikal ini, mengalami kerusakan akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kejadian 3). Kejatuhan dalam dosa ini berdampak rusaknya relasi antara manusia dengan Allah dan sebaliknya. Keterasingan merupakan konsekwensi yang harus diterima oleh manusia. Relasi yang akur dan akrab antara manusia sebagai ciptaan bahkan sebagai gambar Allah dalam kondisi keterasingan, berdapak pada krisis identitas manusia sebagai makhluk religius. Krisis identitas ini nampak dalam perilaku manusia yang tidak menunjukan intensitas hubungan yang terbuka dan tinggi dengan Allah. Manusia senakin tidak mengharap anugerah Allah untuk menjalani kehidupannya. Manusia cenderung mengikuti naluri kemanusiaannya yang telah dikuasai dosa. Kecendrungan perilaku manusia condong kepada yang jahat. Catatan kejadian 4 tentang ketidak tulusan Kain dalam menyembah dan bersyukur kepada Allah, kejadian 6 tentang kejahatan manusia, dan Kejadian 11 tentang keangkuhan manusia sebagai makhluk otonom dihadapan Allah, merupakan bukti dari krisis identitas manusia sebagai makhluk religius. Arti kehadiran Allah sebagai relasi manusia pada tataran krisis identitas manusia sebagai makhluk religius menjadi kurang penting atau secara radikal bisa dikatan tidak penting. Mengapa? Karena perangai manusia yang cenderung dan semakin jahat, merupakan sebuah pembuktian bahwa apa yang dilakukan mereka sama sekali tidak memperhitungankan Allah sebagai pencipta dan Tuhan yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia sebagai ciptaan-Nya.
Mengaitakanya deskripsi di atas dengan tugas dan panggilan manusia untuk menjalankan perintah Allah—dilihat dari perspektif manusia sebagai makhluk yang memiliki relasi religius dengan Allah, maka dapat dikatakan bahwa manusia tidak sepenuhnya taat dalam menjalankan relasi sereligius tersebut. Sisi satu bahwa manusia karena kejatuhan manusia dalam dosa, maka manusia mengalami “keterpisahan” dan “keterasingan” dari hadapan Allah. Pososi yang bergeser dari hubungan manusia dengan Allah ialah posisi manusia bukan posisi Allah. Manusia dari sisi yang lainnya setelah kejatuhannya ia menglami semacam “ketidakmampuan” dalam menjalankan perintah Allah sebagai makhluk religius dan menjalin hubungan vertikal dengan Allah. Dan kedua hal inilah yang merupakan penyebab paling fundamental dari kegagalan manusia menjalankan tugas dan panggilannya sebagai makluk religius.

Manusia dan Relasi Sosialnya

Hakekat manusia sebagai makluk sosial nampak dalam hubungan manusia dengan sesamannya. Dalam kejadian 2 jelas sekali bahwa Allah telah menjadikan manusia senagai makluk sosial yang memiliki relasi sosial pula. Adam harus berelasi dengan Hawa. Selain sebagai istrinya, Hawa adalah penolong baginya. Konsep penolong inilah yang merupakan wujud dari semangat kesosialan dari manusia. Artinya bahwa manusia dan sesamannya sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup dalam relasi yang sifatnya ekslusif atau tertutup. Manusia dan sesamannya harus hidup dalam relasi yang terbuka sehingga peran sosial pun dapat tercipta. Peran sosial manusia dalam relasi yang sosial pula ditandai dengan saling membutuhkan dan saling bergantung satu dengan yang lainnya. Namun, dalam kasus kejadian 4 antara Kain dan Habel, relasi sosial yang mensyaratkan ketergantungan dan saling membutuhakan itu nampak luntur. Kelunturan itu dilihat dari rasa persaingan yang lebih dominan ditunjukan oleh Kain ketika melakukan ibadah syukur dan persembahan kepada Allah. Ikatan sosial dalam bentuk kerja sama tidak nampak di sini. Satu dan yang lainnya bekerja dengan mengandalkan diri sendiri. Bahkan pengingkaran diri sebagai makluk sosial nampak dalam tindakan kain untuk melenyapkan partner sosialnnya yakni Habel dengan cara membunuh Habel. Dalam catatan kejadian 6 tentang Nuh dan keluarga serta masyarakat di mana mereka hidup, relasi sosial telah tersekmentasi atau terpecah-belah dalam interes/kepentingan kelompok dan sektarian. Keluarga Nuh hidup dalam lingkaran kekerabatan kawin mawin dan sejumlah masyarakay besar hidup dalam sesamaan kebiasaan hidup atau habitusnya. Dalam kejadian 11 semangan dalam membagun relasi sosial sangat luar biasa kuat. Sejumlah besar manusia bersatu dan bersepakat untuk bekerja sama demi membangun suatu masyarakat global yang kuat dan tak terpisahkan. Sayangnnya semangat sosial yang global dan kuat itu dirusak oleh keegoisan manusia untuk mencari nama. Jikalau tujuan itu yang dicari tetap saja manusia akan hancur dalam persaingan secara indivudual dan mencerai-beraikan kekuatan sosial yang mereka bangun. Hal ini merupakan bukti bahwa manusia selaki lagi gagal dalam menjalankan tugas dan panggilannya sebagai makluk yang memiliki relasi sosial.

Manusia dan Relasi Kulturnya

Manusia sebagai pencipta budaya. Manusia adalah yang melahirkan budaya dari cara manusia memaknai arti kehiduannya dengan orang lain, alam dan Tuhan. Sebagai pencipta budaya manusia memainkan peran yang sangat prinsip. Peran prinsip itu ialah bahwa nilai-nilai kehidupan yang tersaring berdasarkan idea luhur tentang hidup dan kehidupan dipelihara dan diterapkan dalam kehidupan bersama melalui suatu konsensus atau kesepakatan tentang nilai itu sendiri. Menilik kembali kisah Kejadian 4, 6 dan 11 terdapat baberapa hal yang berhubungan dengan relasi budaya manusia yang patut dianalisis sebagai suatu upaya manusia yang gagal memberikan warisan budaya kepada generasi selanjutnya. Pertama, dalam Kejadian 4 sumbagsih budaya yang ditonjolkan pada kita ialah ritus penyembahan yang dicemarkan dengan ketidaktulusan manusia dalam menanamkan dan memelihara nilai-nilai kesetian dan syukur kepada Allah sebagai pencipta, pemelihara dan pemberkat. Kain merupakan tokoh yang mewariskan budaya kapitalis modern bagi generasi lanjutannya. Mereka unggul secara peradaban tetapi peradaban itu direduksi sedemikian rupa sehingga menjadikan kerja dan keuntungan menjadi ‘tuhan’ baru atas mereka. Alat-alat tekonologi yang dikembagkan Kain dan keturunannya hampir kesemuannya dimanfaatkan untuk mencari kekuasaan atas orang lain. Dalam kasus kejadian 6 tentang kehidupan masyarakat pra Air Bah, kehidupan glamour/foya-foya dan pesta pora merupakan warisan budaya hedonis yang diturunkan pada generasi sekarang. Dan hasilnya ialah bahwa kehidupan yang bernafaskan kesetiaan kepada Tuhan dalam kehidupan yang wajar terdegradasi dalam logika kemoderenan dan kemajuan yang absurd. Dalam pasal 11 tentang Menara Babel, nilai budaya yang dipamerkan ialah budaya keegoisan manusia dan pemanfaatan teknologi yang diperuntukan untuk memperoleh kekuasaan serta melakukan perlawanan terhadap rencana Allah. Penyerakan manusia yang berkonsentrasi pada proyek menara Babal merupakan hukuman Allah terhadap pemupukan budaya otonom manusia di hadapan Allah.

Simpulan
Dari keseluruhan analisis terhadap bagaimana manusia dan keturunannya menjalankan recana Allah dari dimensi relasi religius, relasi sosial dan relasi cultural berdasarkan Kitab Kejadian 4-11, maka dapat disimpulkan bahwa manusia menjalankan ketiga relasi tersebut dengan cara-cara yang cenderung berlawanan atau bertentangan dengan rencana Allah.





Analaisis

Kejadian 4-11

(Manusia sebagai makluk berelasi : Religius, Sosial & Cultural)



Tugas
Moral






Nama : Naftalia Pello
Progdi: Ipth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar