Senin, 16 November 2009

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA May Day & Hardiknas 2009

Sukarelawan Pejuang Rakyat Untuk Pembebasan Tanah Air
LMND, SENAT FKIP & EKONOMI UNWIRA GERSAK, SRMI, GEMA- KUPANG ,SENAT UKAW,

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA
May Day & Hardiknas 2009

Bangsa Indonesia telah memasuki usia KEMERDEKAAN yang ke-64 tahun. Ironisnya, mayoritas rakyat masih hidup dalam kondisi yang kontradiktif dari suatu bangsa yang MERDEKA. Fenomena problematik riil dari rakyat seperti kebodohan, kemiskinan, kesehatan, pengganguran, dll. masih merupakan potret buram dari negeri yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Ditengah keprihatinan kondisi rakyat yang memprihatinkan ini, pemerintah justru dengan arogannya mengawal secara loyal resep-resep modern kapitalisme untuk membagun bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, sejahtera dan kompetitif di panggung persaingan global. Namun, kondisi objektif rakyatlah yang patut dipakai sebagai indikator dalam menilai sejauh mana bangsa yang MERDEKA ini, telah berhasil melaksanakan pembangunan dan mencapai kemajuannya. Simpulannya, kondisi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang MERDEKA dan BERDAULAT justru tidak berbeda dengan kondisinya sebelum ketika berada di bawah kekuasaan KOLONIALISME, sebab ere kemerdekaan kita hanyalah era metamormosa penjajahan dengan wajah baru yakni IMPEREALISME.
Bertepatan dengan momentum Hari Pekerja atau May Dai (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional atau HARDIKNAS (2 Mei), patutlah kita sebagai kaum yang progresif yang memperjuangkan perubahan fundamental tatanan bangsa dan nasib rakyat yang berada di bawah hegemoni kapitalisme, berefleksi secara kritis untuk menetukan langkah-langkah strategis sebagai agenda perjuangan rakyat, dimana rakyat menjadi subjek penentu perubahan dan pelasana perubahan itu sendiri. Sebab, hanya rakyat yang telah mengalami kesadaran tranformatid sekaligus memiliki tindakan revolusionerlah yang dapat merealisasikan perubahan kondisi bangsa secara hakiki.

Permasalahan Kaum Buruh

Momentum May Day sebagai peringatan (commemorates) atas sebuah perjuagan kelas pekerja terhadap eksploitasi kapitalisme, merupakan hal yang urgen dan relevan serta memiliki arti yang signifikan guna memperkuat posisi tawar (bergaining position) kelas pekerja yang sampai saat ini masih terekploitasi oleh kekuatan kapitalisme, baik global global dan lokal.
Krisis kapitalisme atau tepatnya krisis finansial korporasi-korporasi basar di Amerika dan Eropa, memiliki korelasi langsung degnan jatuhnya standar hidup Kaum Buruh (Departemen Agitasi dan Propoganda DPP-PAPERNAS). Krisis ini akan berlansung panjang dan bersifat mendalam (struktural), karena merupakan kombinasi dari krisis besar financial (great financial crisis) dan stagnasi ekonomi, krisis ekologi, dan krisis ideologi neoliberal. Mengarahkan focus perhatian kita kepada dampak krisis bagi sektor pekerja di Indonesia, analisi dan sejumlah asosiasi industri sudah memberikan peringatan akan adanya jutaan orang bakal kehilangan pekerjaan tahun ini, karena dampak krisis kapitalisme. Penyebabnya, kegiatan ekspor yang terus menurun. Menteri perdagangan SBY, Marie Elka Pangestu, memprediksikan ekspor Indonesia akan turun berkisar 20-30%, tetapi banyak pengamat memprediksi lebih tinggi dari angka itu (Departemen Agitasi dan Propoganda DPP-PAPERNAS).
Berhadapan dengan krisis ini, para kapitalis akan berupaya menjaga profitabilitas dengan menekan upah dan komponen-komponen yang berhubungan dengan pengeluaran untuk pekerja. Sebagai misal, tahun lalu, ketika pemerintah bereaksi untuk menolong pengusaha dari kejatuhan tingkat keuntungan dengan memaksakan pemberlakuan SKB 4 menteri. Bagi pengusaha, kebijakan ini bermanfaat untuk menahan laju kenaikan upah pekerja.
Perjalanan krisis, setidaknya sejak september 2008 lalu, telah mengarahkan kaum pekerja pada kesulitan luar biasa, antara lain; pertama, ancaman PHK massal. Berdasarkan perkiraan, setidaknya 2-3 jutaan pekerja terancam kehilangan pekerjaan. data Apindo daerah menyatakan, sampai Maret sudah ada 240.000 orang yang kena PHK. Repotnya, itu terjadi pada sektor-sektor usaha yang penting dan bersifat padat karya, seperti tekstil dan garmen sebanyak 100.000 orang, sepatu (14.000), mobil dan komponen (40.000), konstruksi (30.000), kelapa sawit (50.000), serta pulp and paper (3.500).
Kedua, selain ancaman PHK, pekerja mengalami tekanan secara drastis pada upah dan jaminan sosial. Kenaikan UMR pada tahun 2009 tidak melebih 10%, padahal kenaikan harga kebutuhan pokok lebih tinggi dari angka tersebut. Sebagai contoh, UMR DKI hanya ditetapkan Rp. 1.096.865, sementara hasil penelitian sejumlah lembaga memperlihatkan kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja lajang adalah Rp. 1,5 juta keatas. Hasil penelitian Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) juga menunjukkan bahwa tingkat upah sekarang ini menyulitkan pekerja memenuhi kebutuhan dasarnya.
Ketiga, neoliberalisme benar-benar menjatuhkan standar hidup rakyat Indonesia, termasuk kelas pekerja. Berdasarkan penelitian Roy Morgan Research, terdapat 59% penduduk Indonesia yang tidak lagi regular menyimpan uang. Kemudian, 59% penduduk Indonesia yang harus menghabiskan 20-30% anggaran bulannya hanya untuk membeli bahan makanan. Dengan kondisi demikian, dapat dipastikan bahwa sekitar 60% populasi Indonesia kesulitan dalam mengakses tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan (Departemen Agitasi dan Propoganda DPP-PAPERNAS).
Pada konteks regional khususnya di NTT, krisis kapitalisme turut berpengaruh secara signifikan terhadap menurunnya standar hidup layak buruh. Misalnya, berdasarkan standar Upah Minimum Regional (UMR) buruh di NTT RP.650.000, standar ini tidak akan mencukupi buruh untuk menuhi kebutuhan dasarnya, apalagi untuk menikmati kesejahteraan. Akibat krisis ini, harga kebutuhan pokok dan kebutuhan komplementer lainnya melambung tinggi. Pertanyaannya, bagaimana dengan standar UMR yang rendah ini, para buruh dapat menikmati kesejahteraan hidup jika untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja tidak cukup? Pada sisi yang lain dan menjadi persoalan yang cukup prinsip terkait dengan uapah buruh NTT ialah walaupun pemerintah telah menetapakan UMR bagi buruh di NTT akan tetapi pembayaran gaji buruh tidak sesuai dengan standar UMR yang ada.
Catatan pertama, cukup banyak buruh di NTT, khususnya di Kota Kupang sebagai barometer pembayaran UMR buruh, terdapat varietas pembayaran gaji buruh yang dibayar dibawas satandar UMR. Pembayaran gaji buruh berada pada kisaran RP. 200.000-250.000 untuk buruh dengan spesifikasi kerja seperti Pembantu Rumah Tangga, Rp. 300.000 untuk buruh dengan spesifikasi kerja seperti Tukang Parkir dan Penjaga Toko serta Rp. 400.000-450.000 untuk buruh Toko Swalayan dan buruh Mall. Fakta ini mengambarkan menunjukan bahwa alangkah menderitannya nasib buruh di NTT.
Kedua, dengan pembayaran UMR yang lebih rendah, para buruh juga harus bekerja sampai melewati batasan jam kerja yang ada. Standar kerja buruh yang ditetapkan pemerintah adalah 8 jam, irinisnya, untuk beberapa kasus buruh yang bekerja di luar jam kerja yang ada, misalnya Pembantu Rumah Tangga, mereka harus bekerja dari pukul 04.00 subuh samapai 22.00 malam. Para kondektur yang biasanya berkerja sejak pukul 04.00/05.00 subuh samapai pukul 20.00/21.00. Demikian pula jam kerja para buruh toko yang bekerja sejak pukul pukul 04.00 subuh sampai 22.00 malam. Dari catatan jam kerja ini, rata-rata buruh bekerja dengan kelebihan kerja 8-10 jam. Atau bisa dikatakan bahwa buruh bekerja dengan 2 kali lipat jam kerja, namun dibayar untuk 1 kali jam kerja plus pembayaran di bawah standar UMR. Padhal pemambahan jam kerja harusnya diikuti dengan pembayaran gaji lembur yang dihitung berdasarkan jam kerja lembur yang dipakai. (Advokasi LMND tentang pendapatan Buruh di Kota Kupang).
Ketiga, selain pembayaran gaji yang jauh di bawah standar UMR yang ada dan eksploitasi jam kerja, buruh juga mengalami penambahan jenis pekerjaan. Misalnya, buruh angkutan jasa (kondektur) juga turut merangkap kerja lainnya di rumah pengusaha angkutan dimana mereka bekerja. Demikian pula, ini terjadi pada Pembantu Rumah Tangga dan buruh toko.
Keempat, ketiadaan perlindungan hak-hak buruh dan ketidakpastian sandaran hukum yang memperkuat posisi tawar (bergaining position) buruh di mata pengusaha dan majikan-majikan. Masih saja terjadi kekerasan dan ancaman dan pelecehan terhadap martabat buruh sebagai manusia. Misalnya, tidak adanya jaminan sosial berupa jaminan kesehatan, pesangon, THR, asuransi jiwa dan pensiun bagi buruh. Masalah ini dipicu oleh ketiadaan regulasi yang mengatur tentang kontark kerja antar buruh dan pengusaha atau majikan. Kontrak kerja diantara mereka lebih didasarkan pada kondisi kesepakatan verbal atau tanpa kesepakan apapun dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Selain itu, tekanan ekomomi yang mencekik masyarakat dan keterbatasan lapangan kerja turut menjadi faktor penentu buruh rela menerima atau melaksanakan pekerjaan yang tidak menguntungankan dirinya.
Dari keempat catatan di atas, secara eksplisit menunjukan bahwa, pertama, posisi buruh sangat lemah baik secara politis, ekonomi dan sosial. Kelemahan ini membuat posisi tawar (bergaining position) buruh menjadi sangat rendah bahkan dianggap tidak berharga di mata pengusaha dan majikan. Rendahnya posisi tawar (bergaining position) menjadikan buruh tidak lebih dari objek ekspolitasi pengusaha dan majikan bahkan pemerintah. Buruh dibutuhkan tenaganya, namun hak-hak dan kesejahteraannya tidak mendapat perhatian yang berarti. Sialnya, ketika buruh menuntut haknya secara kritis, mereka justru PHK begitu saja tanpa ada jaminan apapun bagi mereka.
Kedua, rendahnya perhatian pemerintah terhadap nasib buruh dan kesejahteraannya. Indikasinya jelas yakni pemerintah seharusnya mengawal dan mengontrol sejauhmana para pengusaha dan majikan memperlakukan para buruh. Apakah telah sesuai dengan regualasi yang ada atau tidak. Minimnya kinerja pemerintah dalam mengontrol praktek-praktek eksploitatif terhadap buruh telah memberikan sumbagsih dalam hal peluangatau kesempatan eksploitasi pengusaha dan majikan terhadap buruh. bukankah ini justru menunjukan bahwa secara tidak langsung pemerintah turut mengeksploitasi buruh. Selain itu, pemerintah juga tidak peka terhadap dinamika dan tuntutan perubahan kondisi politik, ekonomi dan sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Misalnya, dengan krisis finansial ini, maka pemerintah harus paham bahwa ada telah terjadi ketidakseimbagan antara pendapatan buruh dengan mahalnya kebutuhan-kebutuhan buruh, baik yang sifatnya mendasar dan komplementer. Selain itu, praktek-praktek eksploitasi yang merugikan buruh karena harus menerima upah jauh di bawah standar UMR, penambahan jam kerja tanpa bayaran upah lembur dan banyaknya kerja atau rangkap kerja buruh yang hanya dibayar untuk satu tugas pekerjaan. Atau juga kondisi buruh-buruh di NTT yang mengalami eksploitasi akibat ketiadaan regulasi yang dapat menjamin hak-hak mereka. Pantasnya, pemerintah sigap dengan masalah-masalah ini sehingga dapat bersikap secara proaktif dan adil dalam mengatur hubungan antara pengusaha dan majikan dengan buruh-buruh.
Ketiga, bagian ini merupakan hal yang prinsip dalam konteks tanggung jawab pemerintah yakni menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa tekanan ekonomi dan keterbatasan lapangan kerja merupakan faktor yang turut memicu praktek eksploitasi pengusaha dan majikan terhadap buruh. Oleh karena itu, wajib bagi pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja yang luas bagi rakyat, sehingga buruh tidak diperlakukan secara semena-mena oleh pengusaha dan majikan karena memanfaatkan kondisi ekonomi yang mendesak dan keterbatasan lapangan kerja.
Terkait dengan bagian terakhir di atas, salah satu permasalahan buruh di NTT ialah persoalan stagnannya bahkan matinya produksi PT. Semen Kupang. Sebagai industri daerah, eksistensi PT. Semen Kupang memiliki peran yang sangat signifikan bagi terbagunnya kekuatan ekonomi NTT. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti beroperasinya TP. Semen Kupang telah menyerap tenaga kerja lokal, bahan baku pokok produksi semen kupang yang diambil dari SDA di daerah sendiri, hasil produksi Semen Kupang memiliki basis konsumen yang pasti di daerah sendiri. Dengan memanfaatkan faktor-faktor di atas, tentunya PT. Semen Kupang merupakan salah satu instrumen pembagunan kesejahteraan dan ketahanan ekonomi dareh dan rakyatnya.
Akan tetapi, pasca stagnannya PT. Semen Kupang, pasokan semen untuk memenuhi kebutuhan konstrusi di NTT pemerintah harus menyediakan semen dari luar daerah. Kebijakan ini tentunya menghancurkan proses pembangunan kekuatan ekonomi dan kesejahteraan serta kemajuan daerah NTT dan masyarakatnya. Belum lagi, pasca stagnasi PT. Semen Kupang, sejumlah permasalahan tentang nasib buruhnya menjadi persoalan tersendiri dan rumit untuk diurai hingga saat ini oleh pemerintah, pengusaha dan buruh. Sebab, hal ini turut dipengaruhi oleh manuver-manuver politik ekonomi perusahaan-perushaan semen luar daerah, hilangakalnya pemerintah menentukan nasib PT. Semen Kupang dan para pemilik saham yang merugi akibat ketidakjelasan manajeman perusahaan. Implikasi dari permasalahan panjang dan gawat dari PT. Semen Kupang, harga semen yang didatangkan dari luar melonjak harganya sampai 2 kali lipat. Demikian malangnya nasib PT. Semen Kupang hingga pemerintah mengambil langkah untuk memprivarisasi industri daerah ini kepada inverstor asing. Tentunya, harganya lego PT. Semen Kupang akan dilepas oleh pemerintah semurah-murahnya, tanpa berpikir panjang tentang nasib dan masa depan daerah serta rakyatnya.
Ironisnya, di tengah-tengah upaya daerah-daerah di Indonesia memperkuat kekuatan dan ketahan ekonomi daerah, pemerintah justru tanpa beban melepaskan aset daerah ketangan investor Asing. Ini artinya, bahwa pemerintah dan rakyat NTT bersiap-siap untuk menjadi tuan rumah yang disingkirkan oleh orang asing. Dan kondisi kita adalah kehilangan aset-aset penentu bangitnya ekonomi daerah. Bukannya, pemerintah memikirkan upaya menyehatkan PT. Semen Kupang dengan dana APBD, sehingga industri ini tetap menjadi milik rakyat NTT demi kesejahteraan rakyat NTT pula. Bukankah ini menunjukan bahwa watak kapitalisme telah terkooptasi dalam cara berpikir pemerintah sehingga kebijakan-kebijakan mereka menjauh dan justru akan menindas rakyat, terutama kaum buruh.


Permasalahan Pendidikan Nasional

Pada 2 Mei nanti, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Dimana, Dunia Pendidikan Nasional telah berusia 64 tahun. Ironisnya, amanah UUD 1945 yang merupakan mainstream penyelenggaraan pendidikan Nasional yakni “Mencerdasakan Kehidupan Bangsa”, justu didistorsi oleh kekuatan kapitalisme dengan ideologi neoloberalismenya. Implementasi neoliberalisme dalam dunia pendidikan “memanfaatkan” pemerintah, parpol, lembaga pemikir (think thank), cendikiawan dan modal kapital lokal untuk membentuk sikap kolektif rakyat guna menerima resep pembagunan SDM dan SDA demi penyejahteraan bangsa dan daya kompetitif bangsa pada era global. Namun hakekatnya menjerat, eksploitatif dan hegemonik. Implikasinya bagi dunia Pendidikan kita ialah “sekulerisme, materialisme, pragmatisme pendidikan”. Inilah esensi pendidikan bangsa ini dalam cengkraman kapitalisme global.
Pendidikan kehilangan makna filosofisnya sebagai upaya pemanusiaan manusia. Artinya, pendidikan bukan lagi barlangsung sebagai upaya pembebasan manusia dari multi ketertindasan, yang membuatnya hidup secara tidak manusiawi, malainkan pendidikan justru menjadi alat yang efektif dan efisien untuk dipakai sebagai alat penindas manusia (rakyat). Nilai pendidikan kemudian berubah menjadi komoditi yang diperjual-belikan demi memperoleh keuntugan material. Pemikiran ini mengaskan bahwa semangat pendididkan neoliberal yang dijalankan oleh pemerintah ialah semangat mendehumanisasi rakyatnya sendiri atau semagat untuk mereduksi harkat dan martabat bangsanya sendiri. Suatu semangat pendidikan perbudakan dan semangat pendidikan untuk penghancuran bangsa.
Terkait dengan kebijakan publik yakni masalah anggaran pendidikan, realisasi anggaran hanya 8,3 persen (2003) dan 9,1 persen (2006), oleh karena itu anggaran pendidikan nasional kita merupakan yang terendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di lingkup geografis Asia Tenggara. Bila dibandingkan dengan Malaysia yang 25,5 persen, Thailand 24,2 persen, Filipina 16,2 Kamboja 18,3 persen, Timor Leste 24,2 persen. Kebijakan untuk menaikkan anggaran pendidikan secara bertahap menuai kritik dari masyarakat luas. Hal ini dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi negara. Terutama karena Indonesia telah meratifisikasi Ecocos (Dewan Ekonomi dan Sosial di Bawah PBB), yang antara lain menyebutkan perlunya pendidikan gratis. Tidak kurang Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) melakukan uji material UU No.13 tahun 2005 tentang APBN 2006 kepada Mahkamah Konstitusi. UU menyatakan bahwa anggaran pendidikan nasional untuk tahun 2006 sebesar 9,1 persen atau setara dengan sekitar 36,7 Trilyun. Walaupun jumlah ini meningkat, baik secara persentase maupun nominal, tetap saja belum memenuhi amanat konstitusi.
Pada amandemen UUD 1945 yang terbaru, secara gamblang ditegaskan pada bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (Pasal 31 ayat (4)). Namun masalahnya, hingga saat ini nominal anggaran pendidikan di APBN 2006 belum mencapai angka yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pemerintah menyatakan bahwa mereka tetap memiliki komitmen untuk meningkatkan dana pendidikan seperti yang diamanatkan, namun hal ini dilakukan secara bertahap. Anggaran tahun 2005 sebesar 9,3 persen, kemudian dinaikkan 12 persen pada 2006, 14,7 persen pada 2007, 17,4 persen pada 2008 dan 20,1 persen pada 2009.
Wajah Buruk kebijakan anggaran Pendidikan Indonesia yang ninim memiliki akar permasalahan yang signifikan dalam konstelasi politik ekonomi pendidikan global. Dunia pendidikan Indonesia terjerat dengan Utang Luar Negeri Indonesia (30-40% dari APBN) sehingga mendorong pemerintah untuk terus meminjam dan memprivatisasi pendidikan.
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa pemerintah Indonesia, dengan mengikuti saran Bank Dunia (Word Bank) telah menandatangini kontrak kerja sama pendidikan dengan UNESCO dan Bank Dunia (Word Bank) melalui program IMHERE yang katanya akan membawa dunia pendidikan indonesia maju dari sisi kualitas dan akan mampu bersaing dipentas global dengan out put pendidikan nehgara-negara maju. Program ini telah berjalan sejak tahun 2003 sampai tahun 2025 nanti dengan pembiayaan yang berasal dari hutang atau pinjaman pemerintah pada Bank Dunia (Word Bank). Sangat ironis, bahawa logika pemerintah Rezim SBY-JK dan kroni-kroninya mempergunakan akal sehat (comun sence) dengan cara yang sepeti apa, sehingg dunia pendidikan Indonesia hendak dibangun dengan mempergunakan biaya dari hutang luar negeri yang pada prinsipnya merupakan instrumen kapitalime untuk menundukan dan mengendalikan pemerintahan di negara-negara berkembang.
Memang bukan baru pertama kali pemerintah membiayai pendidikan Indonesia dengan biaya pinjaman atau hutang luar negeri. Sejak rezim Orde Lama pemerintah telah berhutang kepada lembaga donor asing untuk memenuhi kebutuhan negara, termasuk kebutuhan dunia pendidikan. Akan tetapi, hutang-hutang ini pun tidak dirasakan oleh pemerintah karena watak dan tabiat korup Suharto dan kroni-kroninya serta para pemodal lokal. Selain itu, pemdiayaan pendidikan dengan modal hutang luar nereri merupakan bagian dari upaya kapitalisme menancapkan kekuasaannya dalam dunia pendidikan Indonesia. Dengan dominasinya atas dunia pendidikan nasional maka semakin besar pula kesempatannya untuk mengeksploitasi bangsa dan rakyat Indonesia dengan cara menjual pendidikan.
Misi liberalisasi atau privatisasi dunia pendidikan di Indonesia telah dipersiapkan sejak lama. Salah satu agenda liberalisasi dunia pendidikan Indonesia telah dibahas di Perancis dalam pertemuan GATS di Perncis pada tahun 1998. Pada tahun itu pula (1998) Presiden Habibi menandatangani Surat Perjanjian Hutang atau Leters of intens (LOI) dengan IMF International Moneyter Found (IMF) isi salah satu point (point ke-4) yakni meliberalisasi dunia pendidikan nasional. Agenda liberalisasi pendidikan nasional terus berjalan secara bertahap di Indobnesia. Pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan UU Badan hukum Milik Negara (BHMN) dimana 5 Perguruan Tinggi Negeri ternama di Indonesia dijadikan sebagai uji coba liberalisasi. Hanya saja, BHMN sebagai upaya liberalisasi pendidikan diperhalus dengan konsep otonomi Perguruan Tinggi atau otonomi Kampus. Pada perkembangannya, BHMN kemudian dilaksanakan oleh 7 Kampus negeri di Indonesia antara lain: Universitas Indonesia; Unversitas Gajah Mada, Universitas Sumatra Utara, Unversitas Airlangga, Universitas Hasanudin, Institut Teknologi Bandung dan Institut Pertanian Bogor.
Agenda-agenda Liberalisasi dunia pendidikan terus berjalan. Pada tahun 2003 pemerintah mengesahkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang menurut kata pemerintah bahwa UU ini merupakan bagian dari reformasi pendidikan indonesia yang dilandaskan pada paradigma baru pendidikan yakni daya saing global dan demokratisasi pendidikan. Pada pasal 53 ayat 3 UU Sisdiknas mengamanatkan dilahirkannya UU BHP. Pada tahun 2007, SBY mengeluarkan Peraturan Persiden Untuk mencapai kemandirian universitas dalam rangka otonomi, universitas harus membuka kerjasama dengan berbagai pihak. Kerjasama dengan investor baik asing maupun domestik pun pada akhirnya bisa saja terjadi. Anggapan ini dipicu oleh Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 tentang Penanaman Modal Asing dalam Bidang Pendidikan dan kebijakan pemerintah yang mencantumkan pendidikan sebagai bidang usaha terbuka dengan persyaratan yang membuka peluang modal asing untuk masuk. Dalam Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 Tahun 2007 disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal sebagai bidang usaha dapat dimasuki modal asing dengan batas kepemilikan maksimal 49 persen. Hal ini juga menjadi sarana bagi pihak asing (khususnya Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara maju lainnya) untuk melakukan intervensi pendidikan melalui senjata utang langsung ke lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Dan pada 18 Desember 2008 Sidang Paripurna DPR RI mengesahkan UU BHP dan telah dimasukan dalam Lembaran Negara dengan Nomor 9 atau UU BHP Nomor 9 Tahun 2009.
Inviltasi ideologi neoliberal dalam kebijakan pendidikan Indonesia memiliki implikasi langsung dengan interes kapitalisme global. Liberalisasi dunia pendidikan mengaharuskan pemerintah melepas tanggung jawab dari penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya pendidikan diserahkan pada swasta untuk mengelolanya selayaknya mereka menjalankan manajemen perusahaan berorentasi provit. Pendidikan kemudian direduksi menjadi sebatas komoditi yang bebas diperjual-belikan kepada rakyat. Inilah bentuk deregulasi pendidikan dalam hukum neoliberalisme. Ciri utama lain pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian kurkulum baru kita. Kurikulum berorentasi pasar atau dunia produksi. Kenyataan lainnya dari liberalisme ini adalah mahalnya sekolah dan kuliah. UGM yang dulu dikenal kampus rakyat sekarang tidak lagi. Rencana menjadikan universitas negeri sebagai PTBHP sebagai langkah awal privatisasi pendidikan juga nyata sebagai langkah liberalisasi. Di level sekolah, elitisme pendidikan mengancam kesempatan rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan memadai. Materialisme yang melingkupi liberalisme menjadikan reformasi yang dilakukan pun sebatas fisik saja seperti pemenuhan fasilitas baru dan gedung baru; kapitalisme pun mengarahkan bagaimana agar pembelajaran dapat lebih efektif-efisien, dan dihitung dalam bentuk untung rugi serta balikan investasinya karena mengandaikan education as human investment.
Birokrasi perguruan tinggi yang mulai menerapkan prinsip enterpreuneurial university yang salah satunya adalah mengelola aset, baik tangible maupun intangible, dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat. Tanah, bangunan, dan SDM semuanya adalah aset yang bila dikelola dengan baik dan terpadu akan produktif. Akan tetapi, hal ini dikhawatirkan akan berakibat pada ketidakfokusan universitas untuk melakukan kegiatan pelayanan pendidikan. Perhatiannya terpecah kepada urusan-urusan yang bersifat profit dan bisnis sehingga ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2003 Institut Pertanian Bogor membutuhkan dana Rp 450 milyar. Untuk menutupi kebutuhan dana tersebut, IPB hanya dapat mengandalkan hibah pemerintah pusat sebesar Rp 64,35 milyar (14,3%), sementara kenaikkan biaya pendidikan yang dilakukan IPB hanya dapat menutupi 6,5% (Rp 29,25 milyar) kebutuhan anggaran. Untuk membiayai operasionalnya, IPB melakukan komersialisasi sarana-sarana pendidikannya seperti didirikannya Ekalökasari Plaza, Bogor Agribusiness Center, IPB International Convention Center, Kampus Gunung Gede dan Politeknik. Dari komersialisasi aset-aset IPB ini diperoleh pendapatan Rp 255,6 milyar (56,8%). (BHP, solusi masalah pendidikan kita, google.com) Bagi pihak pembuat kebijakan, BHP diyakini dapat memberi kebebasan bagi tiap-tiap instansi perguruan tinggi untuk mengelola satuan pendidikan secara otonom. Hal ini bertentangan dengan UU No. 20/2003. Tentang Sisdiknas yang menempatkan pemerintah sebagai fasilitator dan bukan sebagai pengendali tunggal segala kebijakan proses pendidikan. Dari hasil pengkajian di beberapa negara yang maju pendidikannya, ternyata peran negara dalam pendidikan sangat besar.
Benarkah Pendidikan Berkualitas Mahal ? Jerman, Perancis, Belanda, Swedia, Kuba dan beberapa negara berkembang lainnya, banyak PT bermutu namun biaya pendidikannya rendah bahkan gratis. Sudah jelas kiranya yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 31, ayat 1 bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Yang artinya, setiap anak bangsa mempunyai hak yang sama tanpa harus membedakan si kaya atau si miskin, suku, ras dan agama untuk mengenyam pendidikan pada jenjang apapun mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan dimanapun. Lain dengan kenyataanya, bahwa pendidikan hari ini bukanlah hak setiap anak bangsa karena pendidikan telah menjadi suatu barang mewah yang sulit untuk diraih bagi rakyat, terutama rakyat kecil. Di hadapan lembaga pendidikan yakni sekolahan, rakyat kecil (miskin) hampir tidak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Biaya mahal adalah salah satu penghalangnya.
Merujuk pada UUD Bab XIII pasal 31 ayat 2, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dengan demikian wajib bagi pemerintah Indonesia untuk mentaati hukum. Atau dengan kata lain, pemerintah harus mencadi teladan pertama dalam hal kepatuhan hukum. Amandemen UUD 1945 yang disahkan 2002, merupakan hukum tertinggi negara, seharusnya menjadi patokan, referensi semua hukum yang pernah ada dan yang akan dibuat. Masuknya globalisasi keranah negara kita, membuat pendidikan menjadi barang dagangan yang cukup prospektif dan mempunyai nilai jual tinggi. Di perdagangkannya pendidikan merupakan kemunduran dunia pendidikan kita. Pendidikan kita telah kembali ke zaman penjajahan, dimana hanya orang yang berduit saja yang bisa mengenyam pendidikan, terutama pendidikan jenjang yang lebih tinggi. Selain itu orang yang berduit banyak bisa memperoleh pendidikan yang berkualitas, sedangkan yang berduit pas-pasan akan mendapat pendidikan yang mempunyai kualitas sedang pula. Secara tidak langsung hal ini telah menimbulkan diskriminasi bagi anak bangsa dalam memperoleh kesempatan untuk mengakses pendidikan atau bersekolah.Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi suatu negara, maka dari itu negara harus menciptakan sistem pendidikan yang demokratis, terjangkau dan berkualitas dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Anggaran menjadi bukti komitmen pemerintah. Ini menjadi kredit tersendiri bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan di mata rakyat. Ada dua alasan kontekstual mengapa faktor anggaran menjadi penting bagi dunia pendidikan Indonesia. Pertama, keterpurukan pendidikan Indonesia sudah pada taraf mengkhawatirkan. Contoh, pendidikan dasar (universal education) yang menjadi moral obligation setiap pemerintahan, belum juga tuntas meski Indonesia telah 64 tahun merdeka. berdasarkan data pada tahun 2005, masih ada satu juta anak usia SD belum mempunyai sekolah maupun guru tetap, dan 2,7 juta anak usia SMP yang sama sekali tidak mempunyai sekolah atau guru. Dengan dana yang besar, sekolah-sekolah yang rusak saat ini di seluruh Indonesia dapat diperbaiki serta dapat dipenuhi kebutuhan fasilitas dasarnya seperti laboratorium praktik dan Laboratorium bahasa. Dengan anggaran yang lebih besar pula, pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan gratis. Dengan pendidikan gratis—yang disubsidi pemerintah—kita dapat menyelamatkan jutaan anak-anak negeri yang terancma putus sekolah.

Deskripsi reflektif problem-problem buruh dan pendidikan di atas membawa implikasi bagi perjuagan kaum progresif bagi kesejahteraan kaum buruh dan nasib seluruh masyarakat indonesia serta masa depannya sebagai bangsa yang merdeka berdaulat dan sejahtera. Beberapa rumusan pemikiran strategis kita ajukan dalam kesempatan ini sebagai agenda perjuangan bersama demi merealisasikan peningkatan kesejahteraan kaum buruh dan mayoritas rakyat Indonesia yang termarjinalisasi secara sosial, ekonomi dan politik. Rumusan pemikiran itu, antara lain:

Tuntutan Untuk Kepentingan Gerakan Kaum Buruh

1. Mendesak pemerintah segera menaikan upah buruh UMR secara Nasional sesuai standar kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja lajang yakni Rp. 1,5 juta keatas.
2. Mendesak Pemerintah Daerah untuk melakukan kontrol secara ketat terhadap pengusaha dan majikan dimana buruh bekarja agar sesuai dengan regulasi yang berlaku. Serta memberikan sanksi hukum yang tegas bagi pengusahan dan majikan yang tidak mentaati dan melaksanakan regulasi tersebut. Usaha ini dilakukan dengan melegalkan hadirnya Lembaga Independent yang melindungi dan memperjuangkan Hak-Hak Buruh.
3. Mendesak pemerintah segera menggodok dan mengimplementasi PERDA yang mengatur secara jelas dan adil serta demi menyejahterahkan dan melindungi hak-hak buruh sehingga tidak terus menerus menjadi korban eksploitasi dan penindasan pengusaha. Hal-hal yang prioritas dan perlua diakomodir di dalam regulasi tersebut ialah:
a. Mengembangkan sistim jaminan sosial yang komprehensif kepada pekerja, berupa; Asuran Kesehatan, Pensiun, Jaminan Bagi Penganggur, dan sebagainya;
b. Menghapus pajak penghasilan bagi buruh dengan pendapatan 1,5 juta ke bawah.
c. Membangun dan menjamin perumahan massal dan layak bagi buruh, dengan prioritas buruh yang ber-upah 1,5 juta ke bawah.
d. Meminta penambahan anggaran Bantuan Keuangan Pemutusan Hubungan Kerja (BKPHK) dari program Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP) Jamsostek. Saat ini, anggaran BKPHK nilainya sangat kecil, yaitu Rp. 350 ribu/orang, sehingga tidak dapat dimanfaatkan menjadi modal usaha.
4. Mendesak PEMDA Propinsi NTT untuk tidak memprivatisasi PT. Semen Kupang dan segera melakukan penyehatan terhadap manajemen PT. Semen Kupang.
5. Mendorong Negara menyediakan kredit untuk pembangunan unit usaha kerakyatan, seperti koperasi-koperasi, home industri, dan Usaha Kecil menengah, terutama korban PHK. Dana dapat diserahkan kepada setiap serikat buru/ serikat pekerja, dan dikontrol dan diaudit oleh publik.
6. Mendesak pemerintah untuk mencabut sistem kerja kontrak (out suorcing).
7. Mendesak pemerintah untuk segera mencabut kebijakan SKB4 Menteri.
Mendorong misi “pendidikan” untuk kaum buruh berdasarkan tingkatan
(pemberantasan buta huruf, sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas,
dan universitas).

Tuntutan Untuk Kepentingan Pendidikan Nasional

1. Menolak pembayaran hutang luar negeri serta peminjaman atau penghutangan kembali.
2. Menasionalisasi industri pertambagan nasional yang dikuasai kapitalisme asing dan lokal untuk membiayai kebutuhan bangsa.
3. Menolak praktek liberalisasi dunia pendidikan, dengan mencabut regulasi-regulasi dalam bidang pendidikan seperti UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 tentang Penanaman Modal Asing dalam Bidang Pendidikan dan kebijakan pemerintah yang mencantumkan pendidikan sebagai bidang usaha terbuka dengan persyaratan yang membuka peluang modal asing untuk masuk, serta UU Badan Hukum pendidikan Nomor 9 Tahun 2009.
4. Mendesak pemerintah untuk segera realisasikan anggaran pendidikan miniman 20% sebagaiman diamanatkan dalam UUD 1945.
5. Mendesak pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan gratis dan bermutu sesuai hasil ratifisikasi Ecocos (Dewan Ekonomi dan Sosial di Bawah PBB).
6. Mendesak pemerintah untuk membuka sekolah-sekolah negeri mulai dari tingkat Dasar, Menengah dan Atas disetiap Desa, Kecamatan dan membuka Perguruan Tinggi Negeri di setiap Kebupaten guna memenuhi kebutuhan pendidikan bagi rakyat.
7. Mendesak pemerintah untuk melakukan penggodokan kurikulum pendidikan nasional berdasarkan kondisi dan kebutuhan riil bangsa guna mempersiapkan SDM yang kritis dan mandiri.
8. Mendesak pemerintah memfasilitasi tenaga-tenaga kependidikan dalam upaya peningkatan kompetensi profesionalismenya.
9. Mendesak pemerintah untuk segera meningkatkan mutu proses pendidikan disekolah. (Jangan hanya meningkatkan mutu hasilnya saja).









SPARTAN
Kupang 1 Mey 2009


James Faot
Kordum Joao Motta
Korlap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar