Senin, 16 November 2009

Perumusan Dana Kesra Guru Kota Kupang (Celoteh Oemar Bakhrie : idealisasi pengabdian VS kebutuhan hidup)

James Faot

Perumusan Dana Kesra Guru Kota Kupang
(Celoteh Oemar Bakhrie : idealisasi pengabdian VS kebutuhan hidup)

Pendahuluan
Sebuah analogi yang dapat dideskripsikan untuk memelek dengan lototan mata bahwa relaitas nasib guru di Indonesia bagai tanaman yang tak disiram sehingga menjadi layu bahkan mati. Ada yang bilang—belum tentu ini benar—bahwa sekian lama tugas dan tanggung jawab pengajaran yang dilakukan guru didirikan di atas landasan idealis “guru…..pahlawan tanpa tanda jasa” telah dikoyak-koyak dengan suatu fenomena langka dan asing yakni demontrasi ribuan guru karena kesejahteraan mereka ialah kesengasaraan karena ketidakaladilan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pengabdian mereka sebagai pahlawan.
Tidak ada yang salah dari landasan idil yang di atasnya guru menjalankan tanggungjawab pelayanannya. Yang salah ialah ketidakmampuan pemerintah untuk memeberikan penghargaan atas jasa kepahlawanan mereka sehingga kondisi dan tuntutan hidup yang sedemikian berat guru hadapi akhirnya guru melakukan sebuah reformasi paradikmatik tentang esensinya sebagai pahlawan.
Kajian singkat ini mengambil sudut pandang kontroversi antara gelar “guru pahlawan tanda jasa” kondisi ketidaksejahteraan hidup mereka yang secara merata dialami oleh sebagian besar guru di nusantara ini dan pada semua jenjang pendidikan. Oleh sebab itu kajian ini akan mengantarkan kita pada satu tilikan fundamental tentang landasan ideal diamana guru menjalankan pengabdiannya sebagai pendidikan dan pencerdas dengan konsekwensi ekonomis logis dari profesi tersebut yang tidak adil.

Demonstrasi Sebagai Reformasi Paradigma
Demonstrasi guru secara besar-besaran dan hampir serentak di belahan bangsa ini merupakan suatu fenomena historis yang sarat dengan nilai esensial tentang guru sebagai pahlawan—pahlawan pendidikan—nilai yang terkandung dalam aksi guru ini ialah reformasi paradigmatik. Sebagai reformasi paradigmatik, demo guru demi menegakan keadilan perlakuan pemerintah bagai kesejahteraan mereka sama sekali tidak melunturkan nilai guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebab reformasi paradigmatik ini dilakukan untuk melepaskan belenggu eksploitasi pemerintah atas kepahlawanan guru di dunia pendidikan. Secara riil, gambaran buram dan menyedihkan tentang kesejahteraan guru yang tereksploitasi dapat ditunjukan melalui fakta-fakta berikut. Pertama, nasib guru yang seharusnya diperbaiki kesejahteraannya masih menjadi semacam "sapi perahan". Gaji mereka yang sudah kecil masih dikurangi dengan bermacam potongan. Masih banyak oknum yang tega melihat para guru hidup kembang kempis.
Kebijakan di tengah saratnya beban dan tanggungjawab sang guru, tingkat kesejahteraan mereka masih jauh dari memadai. Hal itu diperburuk oleh tabiat main potong gaji yang dilakukan oleh aparat P dan K sendiri. Kita percaya ada saja alasan untuk melakukan pemotongan gaji guru tersebut. Instansi yang bersangkutan bisa berdalih lewat surat-surat keputusan yang sah. Pimpinan P dan K juga dapat beralasan bahwa anggaran yang tersedia untuk pengembangan pendidikan sangat terbatas. Karena itu hanya kepada guru tambahan dana bisa didapatkan. Harus diakui, kita pun tidak dapat menutup mata terhadap alasan-alasan seperti itu. Anggaran pendidikan untuk sekolah memang terbatas. Sejumlah pemerintah daerah membiarkan Dinas P dan K menyelesaikan kesulitan soal anggaran itu. Padahal sebenarnya Pemda dapat membantu meringankan beban Dinas P dan K melalui pengalokasian sebagian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian tradisi potong memotong gaji guru tak dapat dilepaskan dari mata rantai kebijakan pemerintah terhadap dunia pendidikan. Dan sayang bila pada akhirnya guru yang harus menanggung beban. Salah satu bebannya ialah guru menjadi “kambing hitam” ketika lulusan sekolah rendah, guru menjadi bulan-bulanan kritik baik dari mastarakat, dinas dan pemerintah pusat. Padahal relaistiskah semua beban yang ditanggung guru dapat membuat guru tampil sebagai seorang pengajar profesional? Tentu tidak! Kedua, Dari waktu ke waktu, tuntutan guru masih sama, yaitu kepastian profesi dan kesejahteraan. Penghasilan guru ditingkatkan, disesuaikan dengan laju kenaikan biaya hidup. Status kepegawaian diproyeksikan secara jelas dan definitif. Dalam unjuk rasa di di Alor , GTT dan PTT hanya menuntut surat keputusan tenaga honorer agar dapat masuk daftar tunggu menjadi PNS! Meski demikian, tampaknya pemerintah tidak pernah mau memahami hal itu. Reaksi Pemerintah Indonesia atas tuntutan guru selalu sama. Alasan pemerintah ialah anggaran negara selalu dinyatakan belum cukup untuk menaikkan gaji guru dan proyeksi penetapan status kepegawaian terkendala tuntutan peningkatan kompetensi guru. Ketiga, meski komitmen dalam UU Guru dan Dosen telah amat jelas untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, realitasnya masih jauh panggang dari api. Sebab, target sertifikasi yang terus diulur-ulur tanpa kejelasan pelaksanaan dijadikan alasan pemerintah menolak segera memberikan tunjangan profesi guru. Disamping itu, upaya upgrading para guru ke S-1 sebagai syarat sertifikasi tidak mendorong pemerintah segera menetapkan model pendidikan, kurikulum, dan lembaga pelaksana. Alasannya klasik, dana terbatas. Dan yang paling sial adalah guru honorer, GTT, dan PTT. Meski ada yang bergelar S-1, guru dengan status kepegawaian itu harus menunggu lama untuk dapat ikut sertifikasi dan menuntut tunjangan profesi. Alasan pemerintah, prioritas pemerintah adalah guru-guru S-1 dengan status kepegawaian penuh. Artinya, perjuangan guru honorer serta GTT-PTT masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru dan Dosen.
Dari ketiga fakta yang dipaparkan telah cukup menunjukan bahwa kondisi kesengsaraan (ketidaksejahteraan) guru merupakan pemicu tindakan pembebasan diri mereka terhadap eksploitasi pemerintah terhadap kepahlawanan mereka. Dengan demikian demonstrasi dan berbagai gerkan lain yang dilakukan guru atau kelompok guru janganlah dilihat sebagai tanda lunturnya nilai idealis yang melandasi pelaksanaan tugasnya sebagai pengajar di lembaga-pendidikan karena tergantikan dengan logika ekonomis dan kemapanan, tetapi ini harus dimaknai sebagai suatu tahapan di mana “kesadaran kritis” telah matang dalam sejarah pengabdian guru. Dan inilah yang harus ditanggapi oleh pemerintah dengan mempersiapkan lakngkah-langkah konkrit bagi penyeimbagan pengabdian guru dengan konsekwensi ekonomis dan materiil yang yang harus mereka terima. Semua ini, toh ini juga merupakan awal dari penataan mutu pendidikan Indoneia yang sedang terpuruk, khususnya mutu tenaga pendidik.

Tawaran Langkah Konkrit Bagi Kebijakan Kesra
Kesejahteraan guru, sekali lkagi bukan persolan politis pemerintah tetapi merupakan persoalan kemanusiaan yang harus ditanggulkanggi secara arif. Sebab jikalau pemerintah terus melakukan perherlatan politis dengan berbagai alasan tentang aturan dan anggaran maka, ini akan berdampak pada krisis kemanusiaan dari pendidkian Indonesia dan akan merambat sampai pada penentuan mutu yang jelek dari pelaksaan tugas mereka sebagai pendidik. Beberapa pokok pikiran yang ditawarkan antara lain: Pertama, tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Lupakan idealisme pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan. Kedua, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi. Ketiga, pemerintah perlu melibatkan institusi pendidikan swasta. Pemerintah tampaknya tidak cukup gesit menjabarkan amanat UU Guru dan Dosen karena birokrasi. Harus dibuat kerangka kerja sama pemerintah-swasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar