Rabu, 16 Desember 2009

KRONOLOGI SKORSING 4 (Empat) MAHASISWA FKIP UKAW KUPANG

KRONOLOGI SKORSING 4 (Empat) MAHASISWA FKIP UKAW KUPANG

james faot

Kronologi

Dapat digambarkan bahwa kronologi kebijakan skorsing yang dilakukan pihak pimpinan FKIP UKAW Kupang kepada 4 (empat) mahasiswa FKIP UKAW Kupang dimulai dari kegiatan Rapat Umum Anggota (RUA) Lembaga Kemahasiswaan FKIP UKAW Kupang pada tanggal 27 s/d 29 November 2009. Kegiatan RUA ini diadakan di Desa Boentuka, Kecamatan Batu Putih Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Dalam kegiatan RUA tersebut, hampir keseluruhan anggota RUA memberikan pokok-pokok pemikiran berkaitan dengan keberlansungan kegiatan kemahasiswaan dan terkhususnya tentang isu-isu perjuangan mahasiswa yang telah dilakukan dan akan dilakukan di kampus UKAW pada kepengurusan berikut.

Terdapat banyak pokok pikiran yang disampaikan mahasiswa menjadi perdebatan yang substantif karena dinilai menyentuh esensi pergumulan mahasiswa, baik dalam konteks Universitas maupun Fakultas serta masyarakat pada umumnya. Permasalahan seperti lahiran kebijakan akademik pengelola kampus yang dinilai mahasiswa mendiskriminasikan, mengeksploitasi dan merugikan mahasiswa sebagai komponen utama dalam hal pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di kampus, problem kelembagaan mahasiswa, kinerja dalam problem sosial kemasyarakatan dan sinergitas serta terutama berkaitan dengan isu Iuran Keluarga Mahasiswa (IKAMA). Problem IKAMA diakui telah menjadi salah satu problem krusial yang digumuli oleh mahasiswa. Tidak hanya mahasiswa FKIP melainkan juga mahasiswa-mahasiswa pada Fakultas lainnya.
Lihat Lampiran I tentang Pokok-Pokok Pikiran RUA Mahasiswa FKIP Tahun 2009/2010.

Problem krusial IKAMA yang dibicarakan waktu itu, antara lain: proporsionalitas pemegang/hak pemegang, kesulitan akses, delegitimasi pleno anggaran kemahasiswaan, trasparansi pengelolaan (termasuk di sini aspek pertanggung jawaban kepada mahasiswa sebagai pemilik anggaran ini). Telah menjadi isu yang bertahun-tahun terus digumuli oleh mahasiswa, problem proporsionalitas pemegang atau hak pemegang IKAMA diperjuangakan oleh mahasiswa untuk dikelola secara mandiri. Tuntutan ini, berimplikasi pada hak pemegangan IKAMA yang kini dipegang oleh Badan Pengurus Yayasan UKAW harus dilepaskan, lalu diserahkan kepada Lembaga Kemahasiswaan baik pada tingkat Universitas dan Fakultas. Tuntutan ini didasarkan pada latar belakang historis terkait kehadiran IKAMA di kampus UKAW. IKAMA secara historis merupakan iuran yang hadir melalui inisitif mahasiswa untuk membiayai sendiri kegiatan kemahasiswaannya. Pertimbangan lainnya, berkaitan dengan minimnya alokasi anggaran kampus bagi kegiatan kemahasiswaan, sehingga dipandang urgen untuk menginisiasikan iuran mandiri dari mahasiswa untuk membiayai kegiatan-kegiatan pengembagan diri mahasiswa. Oleh karena itu, IKAMA berasarkan Dari Mahasiswa, Untuk Mahasiswa dan Oleh Mahasiswa. Serta memiliki prinsip pengelolaan yakni Transparan, Akuntabel dan Demokratis.

Problem krusial lain seperti kesulitan akses mahasiswa terhadap dana IKAMA yang dipegang oleh Pengurus Yayasan UKAW. Dengan sistem pengelolaan anggaran Satu Pintu yang diterapkan Yayasan, ada dampak buruk dalam hal akses mahasiswa terhadap anggarannya sendiri. ”Mekanisme persetujuan” pimpinan Fakultas dan Rektorat terhadap rancangan anggaran kegiatan kemahasiswaan. Mekanisme “persetujuan” adalah istilah yang kami pakai untuk menjelaskan bahwa terlihat jelas adanya indikasi sabotase hak penentuan besaran anggaran kegiatan kemahasiswaan oleh pihak Fakultas dan Rektorat. Kami mencurigai bahwa mekanisme persetujuan ini terselip sikap ketidakpercayaan terdahap mahasiswa yang akan mengelola anggarannya. Selain itu, ada pula yang menyebutnya sebagai delegitimasi pleno anggaran kemahasiswaan. Maksudnya adalah mahasiswa selaku pemegang hak atas pemanfaatan anggaran IKAMA justru harus tunduk pada pertimbangan-pertimbangan para pimpinan Fakultas dan Universitas berkaitan dengan besaran anggaran kegiatan dan isi kegiatan. Hal ini tentu melangkahi kewenangan mahasiswa selalu yang berhak dalam mempertimbangkan kegiatan apa dan berapa besaran anggarannya sesuai dengan plafon dana IKAMA yang ada.

Dampak lanjutnya ialah telah melahirkan apa yang kami sebut sebagai ”birokrasi tarik ulur” keuangan mahasiswa untuk pembiayaan kegiatannya. “Birokrasi tarik ulur” adalah istilah yang kami pakai untuk menjelaskan fakta tarik ulur persetujuan anggaran kegiatan kemahasiswaan, baik yang terjadi di Fakultas dan Universitas. Seringkali mahasiswa pengelola kegiatan harus pergi pulang, rombak sini rombak sana dan mengalami keterlambatan realisasi anggaran kegiatannya. Tidak jarang bahwa suatu kegiatan berjalan termasuk RUA kali ini, panitia RUA harus berutang kepada banyak pihak karena anggaran yang sebebarnya harus direalisasikan tidak diarealisasikan sampai dengan kegiatan harus dilangsungkan. Bahkan, bukan menjadi rahasia bahwa pleno anggaran kegiatan seringkali “tersunatkan” lantaran pihak Universitas dan Fakultas membangun rasionalitas efisiensi dan efektifitas kegiatan mahasiswa, sehingga sesaran anggaran yang telah disepakati mahasiswa untuk tiap kegiatan harus dikurangi.

Soal transparansi adalah hal yang signifikan untuk dipersoalkan dalam momentum RUA. Bagi kami selaku mahasiswa, pengelolaan IKAMA oleh Pengurus Yayasan UKAW dan Rektorat tidak trasparan kepada mahasiswa. Kami tidak pernah diberikan informasi terkait dengan pengelolaan IKAMA. Kami tidak pernah diberitahukan tentang berapa posisi IKAMA pada setiap semester. Barapa besar bunga IKAMA yang disimpan di Bank. Setiap semester mahasiswa membayar Rp.10.000 dan kamipun tak pernah tahu akumulasi dari dana ini sampai kini. Walaupun, sudah ada upaya dari mahasiswa untuk melakukan konfirmasi berkaitan dengan posisi dana ini, namun tak ada sikap kooperatif dari Pengurus Yayasan dan Rektorat untuk memberikan konfirmasi terkait dana mahasiswa. Dan karenanya, sistem pengelolaan yang tidak transparan semacam ini, memicu kecurigaraan mahasiswa, jikalau ada indikasi penyelewengan dana IKAMA.

Dari hasil RUA tersebut berhasil dirumuskan pokok-pokok pikiran mahasiswa. Salah satu terkait dengan dana IKAMA yang kini dipegang oleh pihak Pengurus Yayasan UKAW. Pokok pikiran tentang IKAMA yang terumuskan adalah mahasiswa merencakan untuk meminta Badan Pemeriksa Keuangan (auditor eksternal) untuk mengaudit dana IKAMA tersebut. Pemikiran untuk merencanakan permintaan audit dari BPK sebagai auditor eksternal ialah bahwa mahasiswa pada 12 November 2007 mahasiswa UKAW pernah melakukan demonstrasi berkaitan dengan pengelolaan dana IKAMA dan menuntut adanya upaya audit dana IKAMA sehingga ada kejelasan pengelolaannya. Namun, upaya tersebut kandas dan tidak ditindaklanjuti oleh pihak Rektorat dan Badan Pengawas Yayasan UKAW. Selain itu, mahasiswa juga mendesak untuk diakomodirnya pokok-pokok pikiran yang telah dihasilkan di RUA untuk diaspirasikan ke pihak Fakultas, Universitas dan Yayasan UKAW.

Pada saat keberlangsungan RUA, hadir pula salah seorang senior FKIP UKAW yakni Frend Lutruntuhruy, S.Pd yang juga merupakan Pemimpin Redaksi Koran Mingguan Global. Yang kemudian, melakukan wawancara terhadap peserta RUA terutama berkaitan dengan pokok-pokok pikiran yang telah disepakati untuk diaspirasikan oleh pengurus Badan Pimpinan Mahasiswa (BPM) FKIP UKAW periode berikutnya.

Pada tanggal 03 Desember 2009 mahasiswa memdapatkan koran yakni koran Global Edisi 86/Tahun III/Minggu I/Desember/2009 yang pada halaman 3 (tiga) memuat tentang ”Mahasiswa FKIP UKAW Meminta BPK Audit Dana IKAMA” : Bertahun-tahun dana mengendap di tangan pejabat kampus.
Lihat Lampiran II tentang: MAHASISWA FKIP UKAW MINTA BPK AUDIT DANA IKAMA: Bertahun-tahun dana mengendap di tangan pejabat kampus.

Pada Senin tanggal 07/12/09 Rektor UKAW memberikan pengumuman dalam ruang ibadah umum di kampus UKAW. Di dalam pengumuman tersebut disampaikan juga tentang:

1. Pemberitaan yang disampaikan oleh beberapa orang (Rektor tidak menyebutkan nama Eksel Riwu, James Faot, Lenso Beri dan Butje Boimau) yang dituliskan dalam koran Global Edisi 86/Tahun III/Minggu I/Desember/2009 halaman 3 tentang Mahasiswa FKIP UKAW Meminta BPK Audit Dana IKAMA: Bertahun-tahun dana mengendap di tangan pejabat kampus, adalah orang-orang lama yang sering merusak nama lembaga (UKAW).
2. Mengapa harus dimuat di media? Apakah mereka tidak bisa menyampaikannya terlebih dahulu kepada Universitas?
3. Orang-orang ini (Rektor tidak menyebutkan nama Eksel Riwu, James Faot, Lenso Beri dan Butje Boimau) tidah harus dipertahankan di kampus karena tidak dapat dididik lagi.
4. Mereka (Rektor tidak menyebutkan nama Eksel Riwu, James Faot, Lenso Beri dan Butje Boimau) harus mendapatkan tindakan tegas atau disiplin dari pihak Fakultas (Droup Out/Skorsing).

Pada waktu setelah ibadah dan pemberian pengumuman oleh Rektot UKAW, berlangsung rapat di kantor Universitas UKAW dan para pimpinan FKIP (Dekan, PD I dan PD III) untuk menghadiri rapat tersebut.

Pada tanggal 08/12/09 pimpinan FKIP dalam hal ini PD III yakni Robert Tetikay S.Pd, M.Pd, melakukan pemanggilan kepada ke-4 mahasiswa yang nama disebutkan dalam pemberitaan koran Global Edisi 86/Tahun III/Minggu I/Desember/2009 halaman 3 tentang Mahasiswa FKIP UKAW Meminta BPK Audit Dana IKAMA: Bertahun-tahun dana mengendap di tangan pejabat kampus, yakni Eksel Riwu, James Faot, Lenso Beri dan Butje Boimau, untuk mendengarkan hasil rapat yang dilakukan oleh pihak Rektorat dan Fakultas (KIP) tentang pemberitaan tersebut. Pemanggilan ini dilakukan secara lisan dan dihadiri oleh 3 (tiga) orang saja yakni Eksel Riwu, Lenso Beri dan Butje Boimau. Sementara James Faot tidak menghadirinya.

Dalam pertemuan yang dilakukan di ruang PD III FKIP itu, PD III menyampaikan hasil rapat yang mereka lakukan pada Senin tanggal 07/12/09 di kantor Rektorat. Antara lain:

1. Pokok pikiran yang dikemukanan oleh ke-4 mahasiswa FKIP (Eksel Riwu, James Faot, Lenso Beri dan Butje Boimau) dinilai oleh pihak Rektorat dan Yayasan UKAW juga Fakultas sebagai Pencemaran nama baik Rektor dan lembaga UKAW.
2. Pokok pikiran yang dikemukanan oleh ke-4 mahasiswa FKIP (Eksel Riwu, James Faot, Lenso Beri dan Butje Boimau) dinilai telah menelajangi para pejabat kampus (Fakultas, raktorat dan Yayasan UKAW).
3. Pihak Rektorat telah membentuk Tim untuk mengambil langkah hukum atas pencemaran nama pejabat kampus dan lembaga UKAW.
4. PD III FKIP menyampaikan tuntutan kepada ke-4 mahasiswa bahwa pokok pikiran yang dikemukanan oleh ke-4 mahasiswa FKIP (Eksel Riwu, James Faot, Lenso Beri dan Butje Boimau) yang dinilai memfitnah lembaga dan pejabat kampus untuk segera melakukan klarifikasi atas peryataan mereka. Waktu yang diberikan memiliki limit waktu 2 x 24 Jam.

Pada Rabu tanggal 09/12/09 pukul 23:41, dilakukan rapat terbatas yang difasilitasi oleh BPM FKIP untuk membicarakan sikap Rektorat dan Fakultas terkait dengan penilaian mereka terhadap pernyataan ke-4 mahasiswa FKIP dalam momentum RUA tersebut sebagai suatu pencemaran nama Rektor dan Lembaga, maka disepakati oleh BPM FKIP dan ke-4 mahasiswa serta anggota rapat bahwa pokok pikiran yang mereka sampaikan sebagaimana ditulis koran Global Edisi 86/Tahun III/Minggu I/Desember/2009 halaman 3 tentang Mahasiswa FKIP UKAW Meminta BPK Audit Dana IKAMA: Bertahun-tahun dana mengendap di tangan pejabat kampus, sama sekali tidak mencemarkan atau memfitnah pihak Rektorat dan lembaga UKAW. Pokok pikiran tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari realitas objektif pengambilan kebijakan kampus oleh para pejabat yang diberikan kewenangan mengelola penyelenggaraan pendidikan di UKAW. Dan pokok-pokok pemikiran sebagaimana yang dimuat dalam koran Global Edisi 86/Tahun III/Minggu I/Desember/2009 tersebut tidak hanya mempersoalkan IKAMA, melainkan kebijakan akademik kampus lainnya yang dinilai mahasiswa telah merugikan mereka. Oleh karenanya, BPM FKIP menolak untuk memberikan klarifikasi terkait pokok pikiran yang disampaikan dalam mementum RUA silam karena selain pokok pikiran tersebut adalah hasil evaluasi kondisi objektif mahasiswa di kampus terkait kebijakan-kebijakan akademik, pokok-pokok pemikiran itu juga merupakan kesepakatan seluruh peserta RUA yang adalah representasi dari keseluruhan mahasiswa FKIP UKAW.

Selain itu, penolakan mahasiswa terkait tuntutan klarifikasi pemberitaan koran Global Edisi 86/Tahun III/Minggu I/Desember/2009 sebagaimana menjadi sikap pihak Rektorat dan Fakultas, mahasiswa juga menilai bahwa penilaian mereka tentang unsur pemfitnahan dan pencemaran nama pejabat kampus serta lembaga UKAW tidak benar karena pernyataan mahasiswa sebagaimana yang dimuat dalam koran Global tersebut didasarkan pada hasil-hasil advokasi Lembaga Kemahasiswaan dan laporan-laporan pengaduan mahasiswa FKIP UKAW. Demikian maka, tudingan pemfitnahan oleh Rektorat dan Fakultas harus menghadirkan bukti-bukti yang dapat menunjukan bahwa pernyataan mahasiswa dalam RUA tersebut adalah fitnah kepada mereka, terutama berkaitan dengan pengambilan kebijakan akademik dan IKAMA yang disampaikan dalam RUA mahasiswa FKIP UKAW.

Pada Selasa 15/12/09 pukul 11:07, BPM FKIP menyampaikan surat dengan Nomor:01/BPM/FKIP-UKAW/EXT/KPG/B/XII/09, perihal Permintaan Dialog Terbuka dengan pihak pimpinan FKIP UKAW.
Lihat Lampiran III tentang Surat Permintaan Dialog Terbuka Mahasiswa FKIP dengan Pimpinan FKIP.

Maka pada Selasa 15/12/09 pukul 13:05, pihak pimpinan FKIP UKAW mengeluarkan surat dengan Nomor:2853/KP/FKIP-UKAW/M.7/XII/2009 dengan perihal Pemberitahuan Skorsing kepada ke-4 mahasiswa FKIP atas nama: Eksi Riwu, James Faot, Lenso Beri dan Butje Boimau. Surat Skorsing ini memuat bahwa berdasarkan berita yang dimuat dalam media massa koran Global Edisi 86/Tahun III/Minggu I/Desember/2009 tentang Mahasiswa FKIP UKAW Meminta BPK Audit Dana IKAMA; Bertahun-tahun dana mengendap di tangan pejabat kampus yang bersumber dari mahasiswa FKIP UKAW yakni Eksi Riwu, James Faot, Lenso Beri dan Butje Boimau sebagai mahasiswa FKIP UKAW, dianggap OLEH PIMPINAN UNIVERSITAS DAN Fakultas sebagai fitnah dan mencemarkan nama baik dari pimpinan lembaga serta kehormatan citra lembaga serta menyimpang dari mekanisme oraganisasi dalam mempublikasikan berita yang menyangkut nama baik lembaga.

Dalam surat tersebut alasan skorsing didasarkan pada pertimbangan bahwa penyampaian pendapat dalam forum RUA tesebut dilakukan tanpa melakukan percakapan dan atau konfirmasi dengan pimpinan Fakultas maupun pimpinan Universitas. Demikian maka, dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan normatif lembaga, seperti STATUTA Universitas Kristen Artha Wacana Tahun 2009 Bab XVIII Pasal 120 (1) bahwa pengutaraan pikiran dan pendapat dalam kegiatan kebebasan akademik dilandasi oleh norna dan kaidah keilmuan dan Norma Dan Tolok Ukur Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang Bab XII Pasal 25 tentang sanksi bagi mahasiswa ayat 3.8 bahwa dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan pimpinan Fakultas dan Universitas dapat mengenakan skorsing terhadap seorang mahasiswa, maka keempat mahasiswa yakni Eksi Riwu, James Faot, Lenso Beri dan Butje Boimau dikenakan skorsing oleh pimpinan Fakultas KIP selama 1 (tahun) akademik terhitung sejak dikeluarkannya surat pemberitahuan skorsing sampai dengan akhir semester genap tahun akademik 2009/2010.

Surat skorsing ini dikeluarkan oleh pimpinan Fakultas atas nama PD III FKIP UKAW Robert Tetikay dengan tembusan kepada Rektor UKAW Kupang di Kupang, Ketua Umum Pengurus Yayasan UKAW di Kupang, Orang Tua yang bersangkutan di tempat dan Arsip.
Lihat lampiran IV tentang Surat Pemberitahuan Skorsing.

Demikian kronologi skorsing yang dilakukan oleh pimpinan FKIP UKAW kepada 4 (empat) mahasiswa FKIP UKAW Kupang.

Dibuat di Secretariat Lembaga Kemahasiswaan FKIP UKAW Kupang, pukul 20:39 Wita.


Mengetahui

Secretaris BMP FKIP UKAW


Atira Victoria Seli Keba

























Lampiran 1:
Lihat Lampiran I tentang Pokok-Pokok Pikiran RUA Mahasiswa FKIP Tahun 2009/2010.

TAMBAHAN PIKIRAN OLEH FORUM

1. Lembaga kemahasiswa harus menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi mahasiswa terkait sarana dan prasarana pendukung akademik yang belum memadai pada tiap-tiap Program Studi yang dirincikan sebagai berikut:
a. Sarana umum
 Penambahan ruang kelas
 Penambahan buku-buku di perpustakaan yang up to date
 Pemungutan liar dalam hal ini penjualan diktat/modul
b. Sarana khusus
 Untuk Progam Studi Biologi pengadaan kelengkapan laboratorium
 Untuk Progam Studi Bahasa Inggris pengadaan laboratorium komputer dan penambahan dosen
 Untuk Program Studi PJKR pengadaan kolam renang dan lab. Praktek
kepada yayasan dan pimpinan universitas
c. Hadirkan BPK untuk audit dana IKAMA.
2. Lembaga kemahasiswaan perlu membangun bekerja sama dengan berbagai media massa dalam mengawal keseluruhan pelayanannya kepada mahasiswa dan masyarakat secara umum.
3. Lembaga kemahasiswaan harus mengayomi semua mahasiswa FKIP.
4. Lembaga kemahasiswaan harus mampu memperjuangkan dana IKAMA agar dikelola oleh mahasiswa untuk kepentingan pengembangan kegiatan kemahasiswaan.
5. Lembaga kemahasiswaan harus memperjuangkan keterlibatan mahasiswa di senat tingkat fakultas dan tingkat universitas sehingga dapat terlibat dalam berbagai pengambilan keputusan atau kebijakan penyelenggaraan pendidikan di UKAW.Selama mahasiswa tidak menjadi bagian langsung dalam pengambilan kebijakan pendidikan baik pada tingkat universitad maupun fakultas, maka optimalisasi layanan pendidikan mustahil terealisasi. Hanya dengan keterlibatan mahasiswa dalam pengambilan kebijakan terhadap kebutuhan mahasiswalah maka kesejahteraan mahasiswa akan diwujudkan.
6. Lembaga kemahasiswaan harus memperjuangkan tidak dinaikannya biaya pendidikan secara sepihak oleh kampus tanpa persetujuan mahasiswa.
7. Mahasiswa harus mampu merespon segala fenomena yang terjadi di masyarakat dan kampus melalui aksi dan advokasi riil.
8. Merumuskan kurikulum pendidikan kader lembaga kemahasiswaan.
9. Pergerakan mahasiswa dalam konteks internal dan eksternal harus dilandasan pada landasan ideologis sebagai dasar pijak dan arah serta tujuan perjuangan mahasiswa.
10. Lembaga Kemahasiswaan perlu membangun basis politik yang strategis yakni seluruh mahasiswa (FKIP) selaku subjek pendidikan dan selaku konsumen pendidikan di kampus UKAW.

SURAT KEPUTUSAN
RAPAT UMUM ANGGOTA
BADAN PERWAKILAN MAHASISWA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDKAN
UNIVERSITA KRISTEN ARTHA WACANA – KUPANG

NOMOR: 14/RUA/BPM/FKIP-UKAW/KPG/K/XI/09
TENTANG:
HASIL PLENO PANKER 2 TENTANG POKOK PIKIRAN


Menimbang:
1. Bahwa perlu ditetapkan pokok pikiran sebagai rekomendasi tertulis pada Fakultas
2. bahwa Badan Perwakilan Mahasiswa adalah lembaga tertinggi di tingkat Fakultas maka perlu penetapan pokok pikiran sebagai rekomendasi
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Sistem Pendidikan Tinggi
3. SK MENDIKNAS Nomor 155/Kep/2001 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi
4. STATUTA UKAW Tahun 2001
5. KUKM UKAW Kupang
Memperhatikan:
Usul saran dalam Rapat Umum Anggota tentang penetapan pokok pikiran sebagai rekomendasi bagi pengurusan defenitif

MEMUTUSKAN

Menetapkan:
1. Hasil Pleno PANKER 2 tentang Pokok Pikiran sah untuk diambil dalam surat keputusan seperti tercantum dalam surat keputusan ini.
2. Lampiran keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari surat keputusan ini.
3. Surat Keputusan ini ditetapkan sejak tanggal

Ditetapkan di : Boentuka
Pada tanggal : 29 November 200
Pukul : 21:55

Majelis Persidangan


(..................................) (......................................)
Lampiran 2:
Koran GLOBAL: Edisi 86/Tahun III/Minggu I/Desember/2009 yang pada halaman 3 (tiga).

MAHASISWA FKIP UKAW MINTA BPK AUDIT DANA IKAMA: Bertahun-tahun dana mengendap di tangan pejabat kampus.

MAHASISWA FKIP UKAW MINTA BPK AUDIT DANA IKAMA:
Bertahun-tahun dana mengendap di tangan pejabat kampus
Kupang, Global: Senat Mahasiswa Fakultas Kegu¬ruan dan llmu Pendidikan (FKIP UKAW) kupang meminta Badan Pemeriksa Keu¬angan (BPK) untuk segera mengaudit seluruh keuangan mahasiswa (dana :Ikama red) yang selama ini dalam pertanggungjawaban tidak jelas. Hal tersebut Menge¬muka dalam kegiatan Rapat Umum Anggola (RUA) Badan Perwakilan Nlahasiswa FKIP UKAW yang dilakukan pads tanggal 27 - 29 Nopember 2009 di Desa Boentuka Kabupaten Timor Tengah Selatan minggu lalu.
Dalam Forum rapat tersebut mahasiswa meneg¬askan bahwa - selama ini. Kampus UKAW Kupang dalam melakukan banyak kebijakan tersebut hanya untuk kepentingan kepentingan para pejabat pada lingkup kampus ters¬ebut. Untuk itu mereka meminta kepada Badan Pem¬eriksa Keuangan untuk melakukan audit terhadap keuangan mahasiswa yang selama bertahun-tahun diperuntungkan dengan tidak jelas. Mantan Ketua BPM FKIP UKAW Kupang, Butje Boimau, kepada media ini di lokasi kegiatan tersebut meng¬atakan, mengatakan, selama ini pihak rektorat dan Yayasan dalam mengambil kebijakan untuk pengembangan kampus maupun mutu pendidikan termasuk penggunaan dana tersebut terkesan sangat sepihak dan hanya untuk kepentingan para pejabat di kampus tersebut. la menje¬laskan, sikap dan kebijakan yang dilakukan tersebut sangat tidak terpuji dan hanya untuk merugikan mahasiswa.
Hal senada di sampaikan dua orang senior yang hadir dalam kegiatan tersebut, Jems Faot dan Eksel Riwu menegaskan, apabila pihak kampus terus mengambil kebijakan untuk pengem¬bangan pendidikan di kampus tersebut tidak melibatkan mahasiswa, maka menu¬rutnya, sikap yang dilakukan itu hanya untuk mengorbankan begitu banyak mahasiswa yang saat ini telah membuang banyak anggaran untuk kelan¬gsungan pendidikan. Menu¬rutnya, kampus UKAW akan bisa bersaing dengan perguruan tinggi lain di Indo¬nesia, apabila kebijakan yang dilakukan selalu meme¬ntingkan kepentingan maha¬siswa bukan kepentingan individu atau kelornpok. "Kampus kita ingin berkembang dan maju, maka sebetulnya kebijakan itu diambil dengan rnem¬perhatikan aspirasi maha¬siswa. Kami sejujurnya kecewa karena dana ratusan juta yang mahasiswa masukan dalam kas IKAMA dalam pertanggungjawabnnya tidak jelas, termasuk mahasiswa mengalami kesulitan untuk mengakses dana tersebut untuk dipakai" tegas Jems dengan nada kesal.
Sekedar diketahui, dina¬mika yang terjadi dalam rapat umum tersebut berlanggsung dengan sangat tegang, disebabkan banyak maha¬siswa yang terus memprotes kinerja BPM yang selama ini mengawal kebijakan maha¬siswa, namun banyak hal yang tidak dilakukan, termasuk dana tersebut. Mahasiswa dalam forum ini dengan tegas meninta kepada pihak rektorat untuk Segera memberikan kelonggaran kepada mahasiswa untuk mengambil dana yang semestinya menjadi hak mereka untuk dipakai dalam kegiatan-¬kegiatan kemahasiswaan. 'Kami meminta kepada Yay¬asan termasuk Rektorat untuk member kami dana IKAMA itu untuk dipakai dalam kegiatan-¬kegiatan mahasiswa. Kalau dana itu kami pakai, maka mutu pendidikan di kampus ini akan semakin lebih balk dan dapat bersaing dengan perguruan tinggi lain di Indo¬nesia. Perlu di ingat bahwa pernyataan akan kami surati langsung ke KPK RI tegas seorang mahasiswa dalam forum tersebut.
Dalam agenda forum tersebut, terdapat tiga agenda yang dibahas, diantaranya, melakukan evaluasi terhadap kinerja BPM yang lama terha¬dap kebijakan yang telah dilaksanakan, merumuskan kebijakan baru bagi kepengurusan yang terpilih dan mememilih, menetapkan Ketua, Sekretaris dan melengkapi struktur kepengurusan BPM yang baru massa bhakti 2009¬/2010. Men James Faot dan Ketua BPM terpilih, Lenso Beri, mengatakan dalam agenda tersebut telah merumuskan kebijakan-kebijakan baru yang siap untuk dijalankan. Termasuk melakukan pengawalan terhadap semua proses pergumulan mahasiswa FKIP dan umumnya untuk UKAW tidak ketinggalan dana IKAMA yang selama ini menjadi agenda perjuangan mahasiswa FKIP UKAW. Kami tentu konsisten dengan apa yang kami lakukan. Kebijakan baru yang telah dibicarakan salah satu penek¬anannya untuk dana mah¬asiswa yang harus dipakai oleh mahasiswa sendiri tambah James saat itu dalam pokok-pokok pikiran di RUA tersebut. *g_001)

























Lampiran 3:
Surat Permintaan Dialog Terbuka Mahasiswa FKIP dengan Pimpinan FKIP.

BADAN PERWAKILAN MAHASISWA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA KUPANG
MASA BHAKTI 2009-2010
Secretariat ukaw. Jl. Adisucipto oesapa kpang

No ;01/BPM/FKIP-UKAW/EXT/KPG/B/XII/09. Kupang, 15 desember 2009.
Lampiran ;-
Perihal ; Mohon Dialog

Kepada
Yth : DEKAN FKIP UKAW
PD I FKIP UKAW
PD II FKIP UKAW
PD III FKIP UKAW
Masing-masing
Di
Tempat
Syalom
Berkaitan dengan pemanggilan dari pihak Fakultas terhadap beberapa mahasiswa FKIP untuk mengklarifikasi isi pemberitaan di Media Global edisi 86/thn III / Mingu I/Desember/2009 pada halaman ke III, dengan judul Mahasiswa FKIP Minta BPK Audit Dana IKAMA, yang kemudian ditafsikan sebagai penelanjangan terhadap para pimpinan dan lembaga UKAW, sehingga ke- 4 orang mahasiswa FKIP diancam di drop out ATAU diskorsing, maka Badan Perwakilan Mahasiswa FKIP-UKAW, menyampaikan permintaan Dialog Terbuka dengan para pimpinan FKIP-UKAW guna membicarakan hal tersebut. .
Yang sedianya akan dilaksanakan pada ;
Hari/tgl ; 16 deseber 2009
Jam 10.00-selesai.
Tempat ; Gedung Aula Ruang H.
Demikian permintaan ini kami buat atas seluruh aspirasi Mahasiswa FKIP dan atas perhatiannya kami limpahkan trimakasih.
Teriring Salam dan Doa Tulus Kami ‘’IMANUEL’’

BADAN PERWAKILAN MAHASISWA
FKIP-UKAW
Masa Bhakti 2009-2010


Lenso beri Atira Viktoria Selikeba
Ketua Sekretaris

Lampiran 4:
Surat Pemberitahuan Skorsing.

Senin, 07 Desember 2009

“PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SE-DUNIA”

FRONT RAKYAT ANTI KORUPSI NUSA TENGGARA TIMUR
FRAKSI – NTT
LMND Ekskot.Kupang, PMKRI Cab.Kupang, PRD NTT, SRMI NTT, GERSAK Kupang, GMNI Cab.Kupang, GMKI Cab.Kupang, SEMA UNWIRA, BPM FKIP UKAW, BLM UNDANA, KMK Hukum UNDANA, KMK UKAW, KEMAS, GMPI Cab. Kupang, PERMASI, dan GEMA
“PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SE-DUNIA”
09 DESEMBER 2009

PERNYATAAN SIKAP

Momentum Hari Anti Korupsi Se-dunia yang jatuh pada taggal 09 Desember 2009, merupakan cerminan komintmen Masyarakat Internasional―termasuk Indonesia―untuk melawan dan memberantas kejahatan korupsi. Korupsi sebagai suatu kejahatan yang sistemik dan bahkan melembaga telah menjadi salah satu ‘akar’ penyebab penderitaan umat manusia. Kerena dampaknya yang sedemikian destruktif, korupsi kemudian kategorikan sebagai suatu Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime). Dan kerenanya, diperlukan cara-cara ‘Luar Biasa’ pula untuk melawan serta memberantasnya.

Menjelang momentum Hari Anti Korupsi Se-dunia ini, bangsa Indonesia diterpa dengan problem-problem krusial berkaitan dengan Korupsi. Berada pada posisi pertama sebagai negara terkorup di Asia Tenggara, sangat disayangkan bahwa masalah-masalah korupsi di Indonesia, justru banyak terjadi di lembaga-lembaga negara dan para pejabatnya. Lembaga-lembaga dan pejabat-pejabat negara yang sebenarnya harus menjadi panutan rakyat hanya meneladankan mentalitas dan tindakan bobrok dan memalukan citra bangsa. Dan lebih parahnya, perilaku ini tak dapat disangkal telah menjadi warisan turun-temurun bagi generasi lanjutan sehingga apa yang disebut sebagai “budaya koruptif” dikonsturusikan dan menjadi “ruh” aparatur negara. Kejahatan korupsi akhirnya menjadi sesuatu yang “lazim” dilakukan. Jargon pemberantasan korupsi hanya laku sekadar komoditas politik para penguasa untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat. Dan, yang lebih penting di mata rakyat adalah “dagangan-dangangan politik” seperti pemberantasan korupsi yang keluar dari mulut para penguasa hanyalah “lips service” semata.

Ketika pesimisme rakyat makin menguat dan berubah menjadi apatisme akut terhadap eksistensi dan integritas lembaga serta pejabat negara (Kepolisian dan Kejaksaan) dalam melawan dan memberantas korupsi di Indonesia, harapan baru (new of hope) untuk membangkitkan spirit perlawanan dan pemberantasan korupsi muncul dari salah satu lembaga negara yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak dapat disangkal dari sekian banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh para koruptor kakap baik dari unsur pemerintahan, politisi dan pengusaha hampir tak ada yang lolos dari jeratan hukum. Track record demikian dengan sendirinya membentuk integritas dan kredibilitas KPK sebagai simbol pemberantasan korupsi di Indonesia.

Namun, prestasi yang demikian dibanggakan rakyat tidak membuat para koruptor bangga lantaran KPK menjadi ancaman mematikan bagi mereka. Upaya pelemahanpun dilakukan. Disinyalir, tarik menarik penyelesaian UU TIPIKOR merupakan salah satu uapaya pelemahan. Kemudian yang paling fenomenal adalah apa yang kita semua tau sebagai “Kriminalisasi KPK”. Skenario/drama ‘Kriminalisasi KPK’―sebagai lembaga super body pemberantasan korupsi sekaligus momok bagi para koruptor di Indonesia―terindikasi kuat melibatkan Institusi Kepolisian dan Kejaksaan. Juga dicurigai melibatkan link Keprisidenan. Mereka yang sejatinya diberikan kewenangan konstitusional untuk memberatas korupsi justru mereka berkecimpung dalam kubangan politik koruptif. Dan, implikasinya amat buruk; rakyat bangsa Indonesia menelan luda pahit karena harus kehilagan sejumlah besar dananya, lalu hidup dalam kemiskinan dan penderiataan yang multidimensional.

Sudah menjadi bukti ‘telanjang’ di mata rakyat bangsa ini bahwa pencekalan dua pimpinan KPK yakni Bibit-Chandra adalah murni rekayasa. Hal ini dibuktikan melaui salah satu rekomendasi TPF/Tim 8 untuk di SP3-kan kasus Bibit-Chandra, yang akhirnya benar-benar di SP3 oleh Kejaksaan―hal ini tentunya turut dipengaruhi oleh gerakan politik rakyat sebagai perlawanan atas konspirasi para elit negara untuk mengkriminalisasi KPK. Singkatnya, pencekalan pejabat KPK (Bibit-Chandra) adalah omong kosong dari aparat Kepolisian, Kejaksaan, konglomerat hitam dan Mafia Kasus seperti Anggodo yang sampai saat ini, rakyat belum melihat upaya signifikan aparat hukum untuk menangkapnya. Impotensi-impotensi penegak hukum kemudian menebar bau kecurigaan rakyat bahwa ‘Si Super Anggodo’ memegang ‘Kartu AS’ skenario kriminalisasi KPK sebagai bentuk mematikan langkah KPK untuk mengusut tuntas skandal dana talangan (bail-out) dari Bank Indonesia ke Bank Century senilai Rp. 6.7 triliun.

Di tengah polemik kriminalisasi KPK, wacana perlu dilakukannya hak angket atas skandal Bank Century di hembus dari DPR RI. Skandal Bank Cetury sebesar Rp. 6,7 triliun itu dipandang sebagai problem kebangsaan yang urgen untuk di usut secara serius. Apalagi, skandal ini melibatkan Boediono yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI), Sri Mulyani yang menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Raden Pardede selaku Sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK). Selain itu, juga berkembang berita bahwa dana bail out Bank Century mengalir ke kas Partai Demokrat sebagai dana kampanye pemenangan pemilu 2009, sehingga dipandang sangat mengancam status quo rezim SBY sekarang. PDI Perjuangan sebagai parpol inisiator hak angket Bank Century berupaya mengumpulkan dukungan politisi dari parpol lainnya, namun hanya partai Demokrat yang menolak untuk menggunakan dan mendukung hak angket DPR dengan alasan tidak ada masalah dengan kebijakan itu dan masih menunggu hasi audit BPK (Badan Pemeriksa Keuagan).

Berdasarkan hasil audit BPK jelas-jelas menunjukan bahwa kebijakan bail out Bank Century adalah kriminal murni. Kasus Bank Century dipandang merugikan keuangan negara karena tidak wajar bakn tersebut menerima suntikan dana dari BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Bank Century menerima dana Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) pada 14 November 2008 sebesar Rp.356,81 miliar, 17 November 2008 sebesar 145,26 miliar, dan 18 November 2008 187,32 miliar. Bank Century juga menerima dana dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 23 November 2008 sebesar Rp.2,77 triliun, pada 5 Desember 2008 Rp.2,2 triliun, pada 3 Februari 2009 sebesar Rp.1,5 miliar dan pada 21 Juli 2009 sebesar Rp.630 miliar. Dalam temuan bail out Bakn Century adanaya tindak pidana korupsi dan penyalagunaan kekuasaan atau kebijakan bail out merupakan perbuatan pidana melampaui kewenangan dengan mencairkan dana tanpa payung hukum karena pencairan tersebut dilakukan setelah DPR menolak Perppu No 4/2008 tentang Pengamana Sistem Pengaman. Dan penolakan ini dengan sendirinya membuat aturan tersebut tidak berlaku untuk dijadikan payung hukum bail out.

Demikian pula banyak kalangan yang mendukung hasil audit investigatif BPK, memberikan pandangan yang cukup kredible terkait kebijakan bail out Bank Century adalah tindak pidana korupsi. Menurut Yanuar Rizki dari Indonesia Corruption Watch (ICW), karena skandal Bank Century merupakan tindak pidana korupsi, maka upaya mengusutan harus difokuskan pada pencarian konstruksi pidana korupsi. Oleh karenanya, ICW memberikan dukungan kepada KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang memiliki kredibilitas dibandingkan Kepolisian dan Kejaksaan, untuk mengaudit tindak pidana korupsi terkait bail out Bank Century. Juga menurut ICW, telah ada permintaan KPK kepada BPK untuk mengaudit Bank Century, namun hal itu tidak diberikan. Sebagaimana ditegaskan oleh Tim Indonesia Bangkit (TIB) bahwa pemberian dana talangan Bank Century merupakan tindakan kriminal murni dan tidak ada kaitannya dengan ancaman krisis global seperti dikatakan oleh Boediono dan Sri Mulyani juga kroni-kroni mereka. Menurut pegamat ekonomi ITB, Ichanudin Noorsy bahwa kebijakan bail out di bawah keputusan Boediono dan Sri Mulyani adalah ilegal dan karenanya harus diusut sampai tuntas dengan menangkap mereka yang terlibat didalamnya. Demikian pula, dikemukakan oleh beberapa politisi secara resmi (Gayus Lumbun, Eva Sundari dan Abdilah faizi Ahmad) yang pada waktu pembahasan bail out di Senayan hanya menyetujui pencairan dana sejumlah Rp.1,3 triliun, namun keputusan tim pengambil kebijakan justru mengucurkan dana sebesar Rp.5,4 triliuan. Karenanya, kebijakan di luar keputusan ini dinilai sebagai bukti telah terjadi tindak pidana korupsi. Bahkan, menurut Forum Petisi 28 kebijakan bail out Bank Century dipandang dilakukan dengan sepengetahuan Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden RI, sehingga tidak tertutup kemungkinan Presiden SBY pun harus diperiksa. Singkatnya, Skandal Bank Century merupakan persekongkolan tingkat tinggi untuk merampok uang negara dari BI melalui Bank Century.

Hasil audit BPK kemudian memaksa Demokrat untuk meloncat naik dalam kendaraan hak angket DPR terkait skandal Bank Century. Namun, kecurigaan rakyat yang semakin kritis, hal ini dilakukan bukan untuk menyatakan diri sebagai bagian dari Fraksi yang juga berkomintmen terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Melainkan, potensial bertendensi kepentingan sabotase tujuan hak angket sebagaimana terjadi dalam sejarah hak angker DPR. Tidak dapat dipungkiri oleh siapaun bahwa kekhawatiran tentang berlangsungnya kompromi-kompromi politik beberapa Fraksi koalisi Demokrat akan membawa ‘titipan kepentingan penggagalan’ hak angket Bank Century. Jadi, kompromi politik parpol koalisi juga merupakan ketakukatan tersendiri oleh rakyat Indonesia yang sudah muak dengan seringkali lolos para pejabat dari hukuman terkait kasus-kasus korupsi yang mereka lakukan. PANSUS hak angket DPR telah terbentuk pada Jumat, 04/12/09 dan diketuai oleh Idrus Marham dari Fraksi Golkar. Namun, sejarah hak angket di masa SBY yang dilakukan sudah lima kali berkahir dengan kebuntuan, patut membuat rakyat bersikap kritis dan tegas untuk mengawalnya secara intensif demi perwujudan Indonesia yang bebas dari korupsi. Sebab, sejarah kita mengatakan bahwa para anggota dewan bukannya memposisikan diri sebagai sebagai wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat, malah mereka menempatkan diri sebagai wakil elit partai dan hamba amplop-amplop tebal yang beredar dibawah meja sidang.

Dari keseluruhan masalah krusial berkaitan dengan pemberantas korupsi di Indonesia, kondisi riil ketidaktegasannya dalam memberantas korupsi adalah cerminan inkonsistensinya. Demikian pula, kami menyayangkan sikap SBY yang reaksioner dan naif karena menuding ‘gerakan 9 Desember 2009’ sebagai apa yang disebutnya sebagai ‘gerakan penggulingan rezimnya’. Sikap demikian tidak hanya menciderai kemurnian gerakan rakyat Indonesia untuk melawan korupsi di Indonesia, tetapi telah membuktikan adanya kontradiksi dalam komitmen SBY untuk membangun suatu pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Ini sama saja dengan SBY mendorong rakyat bangsa ini jatuh dalam sikap melegitimasi praktik korupsi dan membiarkan para koruptor bebas dari hukuman. Oleh karenanya, janji kampaye SBY tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean governance) harus dinilai oleh rakyat sebagai suatu ‘KEGAGALAN’. Tegasnya, sebelum 100 hari, SBY telah terbukti gagal dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Apalagi, dalam ‘rumah tangganya’ sendiri terlibat skandal-sakandal korupsi uang rakyat bernilai triliunan rupiah. Bagaimana rakyat dapat mengharapkan SBY sebagai pucuk pimpinan bangsa menyelesaikan problem korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) dan telah menyengsarakan bangsa, jika ada indikasi kuat keterlibatan dirinya dan pembantu-pembantunya dalam penyelewengan dana-dana rakyat?

Mengacu pada deskripsi problematika pemberantasan korupsi di atas, pada momentum Hari Anti Korupsi Se-Dunia ini, Kami yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Korupsi Nusa Tenggara Timur (FRAKSI – NTT), menyampaikan beberapa tuntutan sebagai wujud sikap politik rakyat NTT terhadap masalah korupsi di Indonesia, yakni;

1. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menonaktifkan Wakil Presiden Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Sekretaris KKSK Raden Pardede, Jaksa Agung Hendarman Supanji dan Kapolri Bambang Hendarso Danuri.
2. Mendesak Presiden dan DPR untuk memerintahkan pengusutan skandal Bank Century ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
3. Mendesak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menyerahkan seluruh bukti aliran dana Bank Century kepada PANSUS hak angket Bank Century dan KPK, sehingga siapa pun yang menerima dana talangan dari BI harus bertanggung jawab.
4. Transparansi kinerja PANSUS hak angket; melakukan penyiaran secara lansung di media televisi dan radio sehingga rakyat memperoleh informasi sekaligus mengontrol jalannya kerja PANSUS.
5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus melakukan penyadapan terhadap anggotas PANSUS hak angket.
6. Mendesak Presiden untuk segera megeluarkan KEPRES untuk mengaktifkan kembali Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamsah sebagai Ketua KPK.
7. Menuntut seluruh Fraksi yang ada di DPR Propinsi NTT untuk menandatangani Memorandun Of Understanding (MOU) sebagai bentuk nyata komitmen mereka selaku wakil rakyat NTT sekaligus akan terus mengawal secara sungguh-sungguh pengusutan skandal Bank Century.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat sebagai bentuk keperihatinan kami terhadap kondisi bangsa tercinta ini dan secara lebih khusus persoalan penegakan hukum yang semakin memalukan.

Kupang, 09 Desember 2009
FRONT RAKYAT ANTI KORUPSI
NUSA TENGGARA TIMUR
(FRAKSI - NTT)

DPC PMKRI Kupang


Yoakhim Abi
Ketua BPC GMKI Kupang


Ebiets Massu
Ketua LMND Eksekutif Kota Kupang

Are Depeskim
Ketua
GERSAK Kupang


Elsy Hada Indah
Ketua SRMI NTT

Rio Ello
Ketua PRD NTT

Donatus Jo
Ketua
GMNI Kupang

Blasius Timba
Ketua SEMA UNWIRA Kupang

..............
Ketua BLM UNDANA Kupang

..............
Ketua

BPMF KIP-UKAW


Lenso Berry
Ketua
KMK HUKUM UNDANA

Gregorius Dae
Ketua KMK UKAW Kupang

Gordi Nahak
Ketua
GMPI Cab. Kupang

...............
Ketua KEMAS

.................
Ketua PERMASI

................
Ketua
GEMA Kupang

Bedi Roma
Ketua

Sabtu, 05 Desember 2009

Revolusi sebagai Solusi?

Revolusi sebagai Solusi?


Deddy Mansyur dalam milis FPK menyebut REVOLUSI (dengan huruf besar) sebagai jalan keluar dari rumitnya persoalan yang membelit Indonesia. Ketika deraan masalah bertubi-tubi kita rasakan, tentu saja bukan cuma Deddy seorang yang meyakini revolusi sebagai solusi. Dengan segala hormat, saya ingin melihat persoalan ini dari dua sisi, dan mudah-mudahan saya dapat berdiri di atas objektifitas yang bersifat relatif.

Pertama, jalan keluar ini berangkat dari perspektif yang menitikberatkan pandangan pada negara. Dapat kita sebut secara mudah sebagai ‘negara deterministik’. Sebagai catatan, negara dalam hal ini dimaknai sebagai pemerintah vis a vis rakyat, bukan dalam konteks nationstate. Dengan kerangka pandangan seperti ini, kita akan melihat negara sebagai pokok persoalan. Pendekatan ini cenderung bersifat struktural, tetapi ada penyederhanaan relatif terhadap kompleksitas persoalan; yaitu bahwa akar persoalan dilihat sepenuhnya ada pada negara. Sebagai suatu penyederhanaan tentu saja hal ini mengaburkan realitas bahwa persoalan bangsa ini sesungguhnya amat kompleks. Saya yang lebih banyak diam, tetangga saya yang mencoblos Golkar pada Pemilu 1997, atau seorang kawan yang menyuap demi bisa mendapatkan SIM juga menyumbang kesalahan. Meski dapat dipandang bahwa di antara berbagai pihak yang menyumbang kerumitan persoalan yang membelit kita, negaralah aktor yang menyumbang kesalahan terbesar.

Kedua, jalan keluar lewat revolusi dapat pula dibaca sebagai gambaran betapa rasa frustrasi rakyat terhadap keadaan negeri ini mulai menuju titik kritis (menuju pematangan?). Tetapi, hal yang sama mungkin juga berarti kegemaran rakyat Indonesia akan penyelesaian-penyelesaian yang bersifat ‘jalan pintas’. Revolusi, bagaimana pun merupakan jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan secara cepat dan tuntas. Tetapi, dalam kenyataannya adakah revolusi yang cepat dan tuntas itu? Agaknya tidak, atau minimal belum ada. Revolusi Bolzhevik, Revolusi Kebudayaan, Revolusi Tulip, Revolusi Oranye, dan revolusi-revolusi lain selalu tidak tuntas, menyisakan residu, bahkan ‘dosa politik warisan’ yang mesti ditanggung oleh generasi penerus hingga hari ini. Oxford Advanced Learner’s Dictionary mengartikan revolusi sebagai ‘suatu upaya untuk mengubah sistem pemerintahan, terutama secara paksa; suatu perubahan metode, kondisi yang menyeluruh atau dramatis’. Kenyataannya hingga kini belum pernah ada perubahan politik yang bersifat total, menyeluruh dalam sejarah negara bangsa modern.

Tetapi, baiklah kalau memang saat ini revolusi adalah jalan terbaik dan tercepat menuju perubahan kehidupan yang demokratis. Coba kita dedah persoalan ini lebih cermat. Dengan mengacu pada Gelombang Ketiga Demokratisasi-nya Huntington, disebutkan bahwa salah satu jalan menuju demokratisasi adalah replacement. Suatu pergantian kepemimpinan melalui jatuhnya rezim otoriter yang berganti dengan naiknya kekuatan pro-demokrasi yang hendak memperbarui tatanan. Apakah bentuk pergantian yang demikian yang diangankan oleh Deddy atau para pendukung diwujudkannya revolusi di Indonesia? Jika ya, tampaknya sekadar pergantian kepemimpinan terlalu prematur untuk disebut sebagai revolusi. Jika tidak, jalan menuju perubahan yang menyeluruh tampaknya membutuhkan perjalanan panjang; karenanya tidak layak untuk disebut sebagai revolusi (mungkin evolusi?).

“Seorang revolusioner yang paling radikal akan menjadi seorang konservatif sehari setelah revolusi usai”, demikian sebut Hannah Arendt. Bagaimana tidak, setelah menduduki takhta tentu saja sang penguasa yang dulunya radikal revolusioner itu mesti berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya sekaligus mengupayakan agar kepentingan-kepentingannya yang telah terakomodasi oleh kekuasaan tidak tergerus. Maka, jadilah dia sang konservatif. Kecenderungan umum yang terjadi adalah bahwa revolusi melahirkan kediktatoran baru. Lenin, Castro, Mao, adalah contoh betapa sang pemimpin besar revolusi berbalik menjadi hantu diktator yang menakutkan bagi rakyatnya. “The revolution is a dictatorship of the exploited against the exploiters”, kata
Fidel Castro. Kediktatoran ini terlahir karena kepemimpinan yang kuat dari sang penggagas revolusi. Kepemimpinan yang kuat ini mengarah kepada keberjarakan sang pemimpin dari rakyat. Akibatnya, pemimpin tidak hanya sulit disentuh secara fisik oleh rakyat, melainkan pula sulit disentuh melalui kritik tajam.

Pada akhirnya, perubahan memang suatu kemendesakan sejarah bagi Indonesia. Jika tidak, barangkali negeri ini bakal menuju peraduannya yang terakhir untuk karam dalam perjalanan sejarah yang belum usai. Saya menyetujui suatu perubahan yang menyeluruh. Saya mengamini suatu perubahan yang menyentuh akar sosio-politik dan sosio-budaya di negeri ini. Tetapi, perubahan semacam ini tampaknya lebih mungkin diwujudkan melalui pembaruan yang gradual menuju suatu tatanan yang sepenuhnya baru. Sebab, perubahan yang demikian memungkinkan setiap orang untuk mengambil tempat, menyumbang peran bagi perubahan yang memang mesti digerakkan oleh masyarakat sebagai suatu entitas yang solid dalam kohesivitas. Suatu masyarakat partisipatoris dengan pandangan yang searah akan Indonesia yang demokratis dan makmur.

http://arifsusanto.blogspot.com/2005/10/revolusi-sebagai-solusi.html

Sekolah Alternatif: Suatu Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan

Sekolah Alternatif:
Suatu Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan

Oleh: James Faot

Pendahuluan
Dunia pendidikan Indonesia “rusak-rusakan”. Demikian, ungkapan Darmaningtiyas salah seorang pemerhati pendidikan nasional yang penuh kontroversi itu, atas kondisi riil dunia pendidikan kita. Terdengar sarkastik, namun tulus, kritis dan objektif untuk mengambarkan keprihatinan mendalam terhadap nasib penyelenggaraan pendidikan nasional. Tragis, apabila kita memeriksa secara saksama bahwa pendidikan yang sebenarnaya merupakan modal utama sekaligus pilar pembangunan banngsa berada dalam kerusakan kronis.

Keprihatinan mendalam akan carut-marut pendidikan, dipetakan dalam (2) dua bagian. Pertama, adanya kecendrungan pendidikan bangsa yang makin elitis dan tak terjangkau oleh kebanyakan rakyat negeri ini—terutama mereka yang miskin—lantaran tanggung jawab konstitusional yang diemban diselewengkan melalui kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan berimplikasi pada tertutupnya akses rakyat terhadap pendidikan. Kebijakan pendidikan yang diambil oleh penguasa justru memarjinalkan rakyatnya sendiri. Dan efek domoni yang destruktif menimpa masyarakat dan tatanan sosial, sehingga pendidikan menjadi alat reproduksi kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan. Demikian maka, pendidikan di tangan kekuasaan yang melakukan penghianatan konstitusi melahirkan gap sosial yang esktrim dan absolud.

Kedua, problem manjemen pendidikan yang masih birokratis dan hegemonik. Jadi, sistem pendidikan yang ada saat ini, bukanlah suatu sistem pendidikan yang memberdayakan dan populis terhadap rakyat. Ini dibuktikan melalui lahiran kebijakan yang tidak mendukung (non supporting) terhadap perwujudan pendidikan yang membebaskan atau emansipatoris. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) berlangsung dalam dunia pendidikan kita. Banyak daerah tidak memiliki sekolah, sarana dan prasarana sekolah kurang dan rusak, angka tidak melek huruf dan putus sekolah rakyat tinggi, penyunatan anggaran pendidikan, mahalnya pendidikan, sogok-menyogok kekuasaan birokrasi pendidikan, dan lain-lain dan lain-lain. Singkatnya, kebijakan-kebijakan tersebut lahir semata-mata untuk mendukung status quo dan semakin memapankan kesenjangan sosial.

Romo Mangun seorang budayawan dan pejuang kemanusiaan Indonesia juga memberikan kritik tajam terhadap cara penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam kritiknya, ia menilai bahwa pendidikan di Indonesia hanya menebarkan apa yang ia sebut sebagai “budaya bisu”. Dalam “budaya bisu” pendidikan, orientasi pendidikan adalah penyeragaman dan menganggap keanekaragaman dan perbedaan sebagai musuh. Karenanya, keanekaragaman dan perbedaan harus dinegekasikan. Padahal tersebut adalah tindakan yang bertentangan dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang dikarunia berbagai potensi. Sekolah berfungsi sebatas mal bermodel tunggal yang dipakai untuk menghasilkan siswa dengan model sesuai bentuk mal tersebut.

Sebagainama terjadi pada rezim Soeharto, mal tersebut adalah pemasungan daya pikir kritis guna membentuk kepatuhan terhadap penguasa. Internalisasi watak siswa adalah dirinya merupakan objek, inferior dan dependent. Sementara guru adalah subjek, suoerior dan independent. Semua ini merupakan alur pewarisan kebudayaan bisu pendidikan di tangan penguasa. Bukan hanya itu saja, eksperimen-eksperimen “robotik” juga diterapkan pada siswa di sekolah. Hal ini dilakukan melakui mata pelajaran yang muatannya praktis pragmatis. Pragmatisme pembelajaran ini didefenisikan oleh pasar kapitalisme demi kepentingan akumulasi modalnya. Akibatnya, kebijakan pendidikan menjadi tidak hanya tak tentu arah dan membingungkan (ambiguitas) lantaran kebutuhan dan kepentingan pasar selau berubah-ubah, tatapi juga mendehumanisasi siswa.

Memelototi fakta objektif kontradiksi-kontradiksi pendidikan dari hakekatnya sebagai sarana pembangunan manusia seutuhnya, simpulan yang ditarik Darmaningtiyas sedemikian luar biasa, yakni ”pendidikan Indonesia telah kehilangan ruhnya sebagai jembatan trasformasi sosial, akibat carut-marutnya malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan praktisi pendidikan di lapangan”.

Kondisi riil malpraktik pendidikan Indonesia sebagaimana dideskripsikan di atas, memberikan kita sinynalemen bahwa telah terjadinya distorsi cita-cita ideal pendidikan sebagai ujung tombak pencerdasan bangsa. Distorsi ini, disinyalir merupakan akibat dari adanya tarik-menarik (kohesifitas) kekuasaan. Dan, kohesifitas kekuasaan pada akhirnya mengorbankan kepentingan masa depan bangsa. Sehingga, penyelenggaraan pendidikan bukannya membebaskan, melaikan memperbudak bahkan menghisap. Kurikulum pendidikan dijadikan sekadar komoditi, indoktrinasi dan kontral atas rakyat. Implementasi pendidikan kental dengan strategi politisasi para elit kekuasaan untuk melemahkan rakyat. Sebab, jikalau rakyat menjadi cerdas dan kritis karena berpendidikan, rakyat akan memeiliki daya melawan dan menggulingkan tahta status quo mereka. Sungguh, sedemikian bejatnya pencitraan kekuasaan penguasa pada rakyatnya sendiri.
Namun, yang lebih penting lagi dari kesemua fakta ini adalah telah gagalnya penyelenggaraan pendidikan di bawah ambisi-ambisi kekuasaan para elit. Penyelenggaraan pendidikan tidak mencerminkan terakomodasinya kepentingan pemberdayaan dan pemandirian rakyat serta bangsa ini. Kerenanya, pendidikan alternatif muncul ketika kurikulum nasional dianggap tidak sesuai untuk diterapkan dalam proses belajar-mengajar. Dalam kondisi kegagalan demikian, pendidikan alternatif muncul sebagai reaksi atas kegagalan penyelenggaraan pendidikan kita. Pendidikan alternatif muncul sebagai manuver atas kegagalan penyelenggaraan pendidikan kita. Pendidikan alternatif muncul sebagai solusi atas gagalnya pemerintah menjalankan amanat konstitusional dalam bidang pendidikan bagi rakyat. Dan, pendidikan alternatif muncul sebagai kontestasi kekuasaan rakyat dalam pendidikan lantaran diskriminasi dan marjinalisasi oleh para elit kekuasaan.

Pendidikan Alternatif
Pada bagian sebelumnya, kita telah mengetahui bersama bahwa munculnya pendidikan alternatif merupakan suatu yang memiliki dimensi sejarahnya. Pendidikan alternatif muncul karena pendidikan nasional mengalami kegagalan. Pendidikan alternatif merupakan bentuk kebijakan pendidikan rakyat terhadap kebijakan pendidikan penguasa/pemerintah. Karenanya, pendidikan alternatif adalah bentuk suprem dan emansipasi pendidikan populis dan humanis.

Tidak ada satu defenisi yang dianggap baku tentang pendidikan alternatif. Hal ini dimaklumi karena kemunculannya sendiri memeliki kekhasan. Apa yang disebut pendidikan alternatif memiliki sejarahnya sendiri. Namun, ketiadaan defenisinya, tidak bolah dianggap sebagai anti-tesis terhadap eksistensi pendidikan alternatif. Sekalipun kita tidak dapat memberikan suatu defenisi baku tentang pendidikan alternatif, sejarah dan karakteristiknya dapat dijadikan sebagai kerangka umum untuk merumuskan apa itu pendidikan alternatif.

Dalam makalah tentang “Membedah Pendidikan Alternatif di Indonesia”, Jdohar mengemukakan:
“Bila kita ingin memikirkan pendidikan alternatif di Indonesia, maka kita perlu mempersoalkan mengapa kita harus mencari pendidikan alternatif itu? Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, maka kita perlu meninjau kembali keadaan pendidikan kita sekarang. Dan, apabila keadaan kita sekarang memang belum memenuhi harapan tentunya kita perlu memikirkan alternatif mencari paradigma pendidikan baru yang diduga dapat menjadi dasar penyelesaian atas kelemahan pendidikan kita”.

Nampak eksplisit apa yang disampaikan Djohar bahwa pendidikan alternatif menunjuk pada suatu pemahaman akan usaha usaha mencari dan menemukan pilihan lain terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan negara. Kalimat “pilihan lain” berkaitan dengan pilihan ideologi, paradigma, model dan pendekatan pendidikan yang baru dan berbeda sama sekali sebagai pengganti yang lama. Karena yang lama dipandang memiliki problem-problem fundamental bahkan gagal total untuk mencapai tujuan pendidikan yang hakiki.

Gagalnya Ideologi Pendidikan Liberal : Re-Ideologi-sasi; Jalan Baru Pendidikan Marxis Sosialis Oleh: James Faot Pendahuluan Idealnya hakekat pendidik

Gagalnya Ideologi Pendidikan Liberal :
Re-Ideologi-sasi; Jalan Baru Pendidikan Marxis Sosialis
Oleh: James Faot
Pendahuluan
Idealnya hakekat pendidikan ialah “pendidikan untuk semua” (education for everyone) dan “pendidikan sepanjang hayat” (long live education). Saya berpikir bahwa pandangan ini, relative objektif dapat diterima oleh semua orang. Memang, semua orang berhak atas pendidikan. Sebab, pendidikan merupakan sarana bagi manusia berproses menuju kemajuan dan pengembangan totalitas poensinya. Demikian pula, kita meyakini bahwa pendidikan berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Pendidikan tidak boleh diartikan sebatas pada sesorang duduk di bangku sekolah. Pendidikan melampaui sekat “siapa” dan menembus sekat-sekat “dimana” serta “kapanpun”. Dalam dimensi yang idealistic ini, pendidikan merupakan hak mendasar manusia dan mau tak mau harus dipenuhi. Pendidikanpun, dapat berlangsung dimanapun serta kapanpun. Pendidikan tidak dapat dibatasi hanya bagi person atau sekelompok manusia, dalam tingkat/kasta pendidikan dan waktu tertentu. Pendidikan adalah kehidupan dan berlangsung dalam kompleksitas realitas alam ini. Singkatnya, pendidikan tidak terlepas dari dimensi “pemanusiaan manusia” sebagai makhluk luhur.
Spektrum ideal pendidikan di atas, menjadi sangat krusial ketika diperhadapkan dengan fakta bahwa pendidikan bukan sebuah domain yang netral. Pemahaman kebanyakan orang bahwa pendidikan adalah wilayah luhur dan mulia menjadi “geger”, sebab pendidikan adalah medan pertempuran ideologis. Dalam pendidikan terjadi pertarungan idologi pendidikan. Kontestasi ideologis ini mengakibatkan reduksi dimensi idealistic pendidikan. Maksudnya ialah pendidikan telah menjadi sebuah wilayah social dalam masyarakat manusia yang tidak dapat lagi terlepas dari sikap saling hancur-menghancurkan diantara satu dengan yang lainnya. Dengan meminta tumbal yakni virgintas pendidikan dan kemaslahatan manusia.
Mansour Fakih dalam pengantarnya tentang Ideologi Dalam Pendidikan pada buku William F. O’neill tentang Ideologi-Ideologi Pendidikan, menerangkan jelas bahwa ideologi pendidikan liberal kapitalisme mendominasi hampir keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan dunia, terutama di Barat. Bahkan Samuel Bowels dalam penilitiannya, menyimpulkan bahwa berdasarkan perspektif ekonomi politik dalam pendidikan, penyelenggaraan pendidikan, di negara-negara maju khususnya di Amerika, pendidikan merupakan reproduksi terhadap system kapitalisme. Di bawah hegemoni ideologi pendidikan liberal, pendidikan sepenuhnya diabdikan untuk pelanggengan status quo kaum dan system kapitalismenya. Inilah hegemoni ideology kapitalisme dalam pendidikan global.
Hegemoni ideologi yang dijalankan secara “brilian” memasukan pendidikan dalam kerangkeng emas kapitalis. Dominasinya dalam dunia pendidikan adalah “penjara jiwa pendidikan” (hades). Disini, masyarakat menjadi sasaran empuk imperealismenya. Upaya membawa penyelenggaraan pendidikan pada rel pemanusiaan manusia dinegasi dan diubah menjadi proses dehumanisiasi. Masyarakat global yang dimobilisasi masuk dalam gerong-gerbong sekolah melaui kampanye-kampanye moral pendidikan, mengalami pabrifikasi, sehingga out put pendidikan bukan lagi manusia utuh melainkan hanya skrup atau robot yang sepenuhnya akan dimanfaatkan demi interes kapitalisme. Atau dalam istilah Erick Froom, out put kapitaisme adalah “manusia autonom”.
Ketika pendidikan dijadikan sekadar reproduksi system kapitalisme, maka hakekat “pendidikan untuk semua” (education for everyone) dan “pendidikan sepanjang hayat” (long live education) sebagai cerminan pembudayaan manusia atau proses pemanusiaan, mengalami distorsi fundamental. Artinya, substansi tujuan mendasar pendidikan yakni kemaslahatan manusia diselewengkan pada interes-interes ekonomistik yang pragmatis dari kaum kapitalis. Kendali dan arah kebijakan pendidikan dideterminasi oleh interes pasar. Kekuasaan dan provit (baca: uang) menjadi raja dalam penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan, panglimanya adalah korporasi-korporasi besar seperti Multi National Corporation (MNc) dan Trans National Corpotation (TNc).
Yang terjadi selanjutnya adalah pendidikan berubah menjadi “komoditas” alias barang dagang yang diperjual-belikan dalam pasar kepada masyarakat global. Berlakulah hukum baru (new of law) yakni komersialisasi pendidikan. Dan menjadikan kemahalan-kemahalan luar biasa bagi masyarakat pada umumnya─di seluruh belahan bumi ─karena lembaga pendidikan adalah perusahaan yang menjual pendidikan. Atau, lembaga pendidikan berubah menjadi industri pendidikan. Industri pendidikan ini, menjual “kemasan” yang menggiurkan dan bukannya isi pendidikan. Namun, kapitalis mengatakan bahwa mereka memberikan “pelayanan pendidikan”. Padahal, pendidikan yang bergelimpagan dalam pasar global ada “pendidikan banal” (pendidikan yang telah didangkalkan).
Sayangnya, banalisasi pendidikan yang ditawarkan kapitalisme, sedemikian laris manis dibelanjakan masyarakat dunia. Akhirnya, terjadi apa yang disebut sebagai “konsumerisme pendidikan”, yakni suatu “megalomania dari kumpulan masyarakat konsumtif yang mengidap kelainan psikologis dalam praktek konsumsi atau belanja pendidikan, namun bukan nilai dan manfaat yang didapat melainkan gengsi/citra sebagai orang berpendidikan”. Janji lembaga pendidikan bahwa ia memberikan kecerdasan, kompetensi, prestasi, kesuksesan dan kemapanan, bersifat paradoks dan ambivalen karena realitasnya berkata lain. Realitas itu ialah bertambahnya masyarakat miskin yang akan terus miskin. Sedangkan, mereka yang kaya akan terus kaya. Demikian pula, masyarakat bodoh akan terus bodoh dan masyarakat cerdas akan terus cerdas. Para penindas akan terus menindas dan para tertindas akan terus ditindas. Pendidikan yang diperoleh kita menjadi absurd.
Inilah fakta objektif yang menunjukan bahwa telah gagal implementasi ideologi liberal kapitalisme dalam pendidikan. Yang dihasilkan adalah fakta chaos pendidikan dan masyarakat global. Karenanya, mempertahankan ideologi ini sebagai landasan pendidikan adalah bencana sejarah manusia modern yang meng-agama-kan ideologi liberal kapitalisme─yang mewahyukan “globalisasi” sebagai resep magic bagi penciptaan pemerataan, peningkatan mutu dan kemaslahatan manusia melalui dunia pendidikan, sama artinya dengan mempertahankan malapetakan bagi dunia pendidikan dan masyarakat manusia. Gunung masyarakat miskin dan bodoh dan tertinggal adalah ongkos atau konsekwensi logisnya. Dan camkanlah bahwa Ini berlaku secara global serta masif di bawah rezim kapitalisme. Sebab, wahyu globalisasi ini adalah “kesesatan”. Wataknya destruktif dan membunuh generasi juga masa depan manusia itu sendiri.
Demikian maka, dunia membutuhkan ideologi alternative yang sejatinya dapat mengantarkan manusia dan dunia pada kecerdasan, kekritisan dan kecekatan inovasi, namun tak destruktif. Kebutuhan akan ideologi pendidikan yang manusiawi dan konstruktif menjadi urgen. Dan pertimbangan akan ideologi pendidikan kritis (baca: Marxis Sosialis) yang mengakui pendidikan sebagai sarana perjuangan dan pembudayaan kemanusiaan adalah sangat tepat karena kesesuiannya atau relevansi dengan tujuan substansial dari pendidikan itu sendiri serta realitas dunia pendidikan global. Terlebih di Indonesia.
Akhir dari tulisan singkat saya, dengan mengutip pandangan Nurani Suyomukti tentang gagalnya implementasi Ideologi Liberal Kapitalisme, dapat memberikan sekalian kita pencerahan bahwa di bawah hegemoni rezim kapitalisme, penyelenggaraan pendidikan adalah sama dengan degradasi hakekat dan mutu pendidikan serta manusia. Demikian ia berkata:
“…Mundurnya kualitas pendidikan Indonesia, dan sebenarnya juga diberbagai belahan dunia lainnya, adalah karena diabaikannya upaya mencari pilihan ideologi bagi pelaksanaan pendidikan sehingga kebijakan pendidikan tidak lagi diselenggarakan berdasarkan asumsi-asumsi idealistic dan hanya memenuhi kebutuhan paktis dan sayangnya tidak dipikirkan akibat-akibat [buruk] jangka panjangnnya”.
Bersambung….
NB: Baca dan Lawan Kapitalisme Pendidikan..!




Ideologi Pendidikan
Istilah ideology paling seing dihubungkan dengan dua pemikir besar yakni Kalr marx dan Karl Mannheim. Marx, memandang ideologi sebagai bagian inheren dari politik; sebagaian besar merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau organisasi ekonomi masyarakat. Sementara, Mannheim, memandang ideologi sebagai suatu yang total atau disebut juga ideologi total yakni lawan dari ideologi tertentu. Namun, istilah ideologi dari kedua pemikir ini merujuk pada inti makna yang sama yakni “ideology sebagai proses penyejarahan yang terbuka”.
Dalam pandangan para pakar social borjuasi yang lebih baru seperti Edward Shils, Daniel Bell dan Seymour Martin Lepset, serta Francis Fukuyama mengajukan tesis “Akhir-Dari-Ideologi”. Pesan utama dari pemikiran mereka ialah masyarakat-masyarakat industri maju di Barat, ideologi (dalam artian tradisional Marxisi) sedang berakhir karena konflik social fundamental juga sedang berakhir. Keberakhiran ideologi ini, dipandang terjadi lantaran didamaikan oleh konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State). Namun, dalam pandangan O’Neill, tesis ini tak pelak lagi mengalami antusiasme yang minim di kalangan Marxis; sebab gagasan tadi menegasikan kemestian revolusi social.
Demikian juga, keberatan atas tesis “Akhir-Dari-Ideologi”, datang dari berbagai elemen Marxis di Negara-negara Amerika Latin yang telah berhasil mengakhiri hegemoni kapitalis di Negara mereka dan telah berhasil membangun suatu tatanan negara yang yang kuat dengan landasan ideologi Maxsis Sosialis atau Komunis. Sementara, di Indonesia perlawanan terhadap tesis “Akhir-Dari-Ideologi”, berlangsung sebagai anti-tesis atas tesis ini. Tawaran ideologi kritis telah menjadi alternative bagi proyek pembangunan pendidikan yang lebih baik di Indoesia. Munculnya sekolah alternative (baca: sekolah emansipasitoris) merupakan bukti bahwa ideology masih kental menjadi cara pandang dan praksis masyarakat. Ideology masih eksis dalam pentas dunia dan kehidupan manusia.
Terlepas dari kutub-kutub ekstrim ideology dalam perdebatan sejarah dan dunia intelektual serta gerakan, istilah ideologi, dalam karakteristik yang bebas,


NB: Baca dan Lawan Kapitalisme Pendidikan..!

Selasa, 24 November 2009

Kurikulum Terselubung Sekolah: Pelucutan Privelise Sekolah Sebagai Satu-satunya Lembaga Pendidikan

Kurikulum Terselubung Sekolah:
Pelucutan Privelise Sekolah Sebagai Satu-satunya Lembaga Pendidikan

Oleh: James Faot

Pengantar
Ivan Illich pernah mengatakan bahwa masyarakat harus dibebaskan dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan (the single’s institution of education). Pernyataan ini patut memdapatkan perhatian serius dan kritis oleh siapapun yang masih menganggap bahwa memang sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan di dunia ini.

Menggarisbahwahi kata ”membebaskan”, tentu kata ini memberikan pemahaman tentang adanya kondisi riil penjajahan, penindasan, perbudakan dan pembodohan terhadap kesadaran dan perilaku masyarakat terhadap sekolah sebagai lembaga pendidikan. Atau, dengan perkataan lain hanya sekolah sajalah pendidikan itu; pendidikan berarti sekolah.

Pertanyaan kita atas realitas pemahaman dan perilaku masyarakat modern yang cenderung menganggap bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan adalah mengapa menjadi urgen bagi kita untuk melucuti hak istimewa (privilise) sekolah itu? Dan alternatif apa yang patut kita berikan untuk membebaskan masyarakat dari hegemoni sekolah sebagai institusi pedidikan tunggal?

Dalam cacatan ini, dengan menyelami analisis Ivan Illich tentang setting paradigma sekolah, khususnya berkaitan dengan kurikulum terselubung sekolah (hidden school curiculum), kita akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Dan terlebih penting lagi adalah pendidikan akan memperoleh manfaat besar ketika privilise sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan dilucuti.

Pencampur-adukan Proses dan Substansi Pendidikan
The single’s institution of education sebagaimana telah menghegemoni kesadaran dan praksis masyarakat merupakan kondisi dimana telah terjadinya pencampur-adukan antara proses dan substansi pendidikan (the substantion of education and the colaboration of process). Pencampur-adukan ini mengakibatkan tumpulnya daya kritis masyarakat sehingga turut menyokong status quo sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Masyarakat tidak mampu lagi membedakan manakah yang merupakan proses dan manakah yang merupakan substansi pendidikan. Logika baru pencampur-adukan ini mengkonstruksikan cara berpikir masyarakat bahwa semakin banyak pengajaran, semakin baik hasilnya; atau menambah materi pengetahuan akan menjamin keberhasilan pendidikan.

Implikasi buruk dari konstruksi logika pencampur-adukan antara proses dan substansi pendidikan adalah generalisasi spontan. Maksudnya adalah adanya penyamaan antara pengajaran dan belajar, naik kelas/lulus dan pendidikan, ijazah dan kompetensi, materi pelajaran dengan kebutuhan pasar, kefasihan berceloteh dan kemampuan mengungkapkan ide dan gagasan baru, dll. Singkatnya, yang terjadi di dalam penyelenggaraan pendidikan (baca: sekolah) sekadar apa yang disebut Ivan Illich sebagai ”pelayanan” dan bukannya ”nilai”. Inilah sebentuk pendewaan sekolah dalam realitas masyarakat modern.

Pendewaan sekolah ini merupakan suatu reduksi terhadap hakekat pendidikan. Lembaga sekolah hanya berorientasi pada hasil kerja atau performen (performance) kelembagaan. Lembaga sekolah mengklaim mampu mewujudkan tujuan-tujuan yang kemudian menuntut lagi peningktan performen sekolah sebagai lembaga.

Akibat pendewaan yang melahirkan pelembagaan nilai sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan, maka niscaya akan menimbulkan 3 (tiga) problematika baru dari eksistensi pelembagaan nilai sekolah yakni: pertama, polusi fisik, kedua, polarisasi sosial dan ketiga, ketidakberdayaan psikologis.
Ketiga problem ini disebut Ival Illich sebagai ”dimensi dalam proses degradasi global dan kesengsaraan dalam kemasan baru (modernised misery)”.

Modrnised Misery sendiri adalah proses degradasi yang berlangsung scara cepat ketika kebutuhan-kebutuhan non-material diubah menjadi permintaan akan barang. Tegasnya, modrnised misery terjadi dalam lembaga sekolah ketika pendidikan dijadikan komoditas dan dikomersialkan. Pendidikan berubah menjadi hasil dari ”jasa” atau ”pelayanan” lembaga pendidikan. ...

Senin, 16 November 2009

PP. No. 55 Tahun 2007 (Legitimasi Intervensi Pemerintah dan Kanalisasi Dominasi Ideologi )

James Faot

PP. No. 55 Tahun 2007
(Legitimasi Intervensi Pemerintah dan Kanalisasi Dominasi Ideologi )

Pendahuluan
Implementasi PP No. 55 Tahun 2007 sebagai perangkat yuridis atau regulasi (peraturan) hukum bagi pelaksanaan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan memicu kontroversi berbagai pakar pendidikan dan agama bukan hanya dari segi konsepsi idealnya saja tetapi juga merambah sampai kekuasaan simbolik secara politis dan idealogis yang terkandung di dalamnya.
Bergulirnya PP No. 55 Tahun 2007 dalam artian yuridisnya merupakan realisasi amanah Pasal 20 ayat 4, Pasal 30 ayat 5, dan Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Serta Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasonal (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), dan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1065 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2727.)
Di usung di atas isu reformasi pendidikan, PP 55 Tahun 2007, secara esensial di arakan pada cita-cita “mendasarkan pendidikan agama sebagai basis pendidikan nasional.” Fakta keterpurukan pendidikan nasional tahun 3005, disimpulkan bahwa kegagalan dan kekurangberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional berpangkal pada minimalisme caharakter building atau tipisnya pembangunan etika dan mental bangsa sebagai bangsa yang membangun. Demikian maka, dalam pembahasan pasal-pasal dalam UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan nasional, aspek keagamaan mendominasi rumusan konsideran tersebut. Pasal-pasal yang beraroma khas agama ini dimaksudkan untuk mendeterminasi perumusan PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, di mana ruang intervensi politik pemerintah di buka secara lebar sehingga wilayah dan urusan-urusan keagamaan masyarakat dapat dikendalikan atau diatur. Serta sentimen idealogi dan kekuasaan Islam sebagai agama mayoritas bangsa tetap dominan dan tidak terancam, terdiskriminasi dan dimonopoli oleh pendidikan agama yang sifatnya non-Islam.
Tujuan analisis
Kajian atau analisis ini, bermaksud untuk memberikan gambaran posisional dari kekuatan intervensi negara dalam urusan keagamaan masyarakat melalui wilayah pendidikan agama dan kependidikan agama sehingga intervensi negara menjadi legitimit. Serta, melalui wilayah pendidikan agama dan kependidikan agama kanalisasi idiealogis islam secara dominan terlaksana, secara khusus di sekolah-sekolah berbasisiskan non-islam. Kedua usaha ini dilaksanakan melalui wacana atau perbaikan mutu pendidikan agama dan pluralisme sehingga kepentingan intervensi dan dominasi memiliki wujud yang sifatnya simbolis.

Politik intervensi negara dan kanalisasi dominasi idealogi agama
Kekuasaan simbolik politis bagi legitimasi intevesi negara dalam ranah agama serta kanalisasi dominasi idealogi islam dalam pasal-pasal PP No. 55 Tahun 2007. Yang kami maksudkan sebagai kekuasan simbolik yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal PP 55 Tahun 2007 dapat diidentifikasi melalui beberapa pasal berikut.
1. Kekuatan Intervensi Negara
Menilik kembali bagian-bagian pasal dalam PP No 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan kependidikan keagamaan, maka secara jelas bahwa pemerintah secara terang-terangan memberikan keleluasaan bagi upaya intervensinya terhadap penyelenggaraan pendidkan agama dan kependidkan keagamaan. Sebagaimana tercatat, mulai dari bagian kesatu, Pendidkan agama isalam pasal 14, baik paragraf stu dan dua samapai bagian keenam yakni pendidikan keagamaan Konghucupasal 45, intervensi pemerintah meliputi secara menyeluruh. Bukan hanya pada regulasi peran, kontrol tetapi juga pada bagian isi pendidikan. Hal ini jelas terbaca dalam rumusan setiap pasal dan ayat yang hampir secara seragam dan mengacu pada pasal 5 PP ini, yang mengatur tentang kurikulum perimbagan dalam pelaksanaan pendidikan agama. Kurikulum perimbagan ini ialah mata pelajaran yang secara umum didapat dalam pendidkan formal. Hal tentang pertimbagan pemerintah sehubungan dengan mutu kompetitif dari penyelenggaraan pendidikan dan hasil yang ingin dicapai memang merupakan hal yang cukup positif, mengingat secara umum amanat yang terkandung dari guliran UU Sisdiknas Tahun 2003 menekankan peningkatan mutu pendidkan nasional. Tetapi, ketentuan ini juga bertentangan dengan hakekat jiwa pendidikan agama yang pada dasarnya diselenggarakan oleh masyarakat dan memang jelas dilindungi oleh pemerintah dalam pasal 55 ayat 1 UU Sisdiknas. Intervensi yang berlebihan dari pemerintah dalam hal isi penyelenggaraan pendidkan agama merupakan upaya yang menghilangkan ciri khas dari inisiatif umat beragama tertentu untuk menyelenggarakan pendidikan agamanya (Sairin, 2004:3) .
Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa sikap pemerintah bukannya menghargai dan melindung kepercayaan dari masyarakatnya melaikan pemerintah melakukan hegemoni terhadap lembaga pendidikan dan kebutuhan pendidikan agama dari masyarakat. Hegemoni ini dilancarkan secara simbolik melalui; pertama, posis pemerintah sebagai pelaksana kekuasaan yang menyediakan peran dan sebagai pengontrol terhadap seluruh upaya masyarakat beragama dalam mengembangkan kepercayaan serta kehidupan mereka; kedua, pemerintah berusaha merekonstruksi wacana yang secara rasional dapat diterima sebagai kebutuhan masyarakat keseluruhan, yakni pendidikan agama berfungsi untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan internal dan antar umat beragana. Serta pendidikan agama bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasiakan penguasannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Dengan mempergunakan kedua kuasa simbolik di atas maka, pemerintah memperoleh ruang yang semakin luas dalam menetukan apa yang benar dan salah dalam upaya penyelenggaran pendidikan agama dan kependidikan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat. Inilah yang disebut oleh Pierre Baurdieu sebagai permainan politik simbolik (symbolic political games) bagi atau untuk memperoloh kekuasaan yang riil dari umat beragama.
Strategi hegemoni yang lain dari pemerintah juga dapat dilihat dari target ideal pendidikan agama yang ditetapkan dalam rumusan pasal 5 ayat 7 PP 55, “pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenagkan, menantang, mendorong kreatifitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses”. Walaupun dapat diilustrasikan bahwa idea yang terkandung dalam rumusan pasal ini jelas menunjukan bahwa ini bagaikan “jauh panggang dari api”, tetapi pemerintah toh memberikan sanksi bagi satuan pendidkan yang yang menyalahi dalam ketentuan pasal 3 ayat 1, pasal 4 ayat 2 sampai dengan ayat 7 dan pasal 5 ayat 1. sanksi yang diberikan berbentuk sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan penutupan. Bahkan hegemoni pemerintah semakin luar biasa bermain dalam PP 55 yakni dengan memberikan pengaturan lanjutan tentang hal ini kepada Menteri Agama (Janis Joseph: www.blogsume.com).
Dalam sebuah negara seperti Indonesia yang menganut paham hubungan negara dengan agama atau sebaliknya, Indonesia menganut paham “negara agama” yakni negara menguasai kehidupan agama dari masyarakat dan lembaga agama dan bukan agama yang menguasai negara. Oleh sebab itu, tindakan negara merupakan seatu kekhawatiran bahkan sebuah ketakutan terhadap kuatnya kekuatan agama yang dapat mendiminasi negara. Secara lebih radikal dapat juga hal ini diinterpretasikan sebagai sikap represif negara terhadap agama sehingga agama kehilangan daya politisnya dihadapan negara.

2. Kanalisasi Idealogi Agama (Islam)
PP 55 sebagai kanalisasi idealogi islam dapat ditelusuri dari latar belakang kemunculannya. Kontroversi hubungan antar agama dan secara khusus onflik antara umat kristen dan islam di tanah Jawa merupakan akar dari konsolidasi tokoh-tokoh isalam non-pemerintahan dan yang berdada dalam kedudukan di pemerintahan. Perkembagan umat kristen yang sarat di tanah Jawa telah menjadi keresahan akut bagi umat islam radikal. Sehingga aksi protes dan anarkis dijalankan untuk menghambat laju perkembagan kekristenan. Sampai dipikirkan oleh kelompok radikal islam tentang bagaimana memperoleh suatu ruang sterategis untuk menekan dan mendominasi kembali kekuatan islam di NKRI. Dan salah satu wilayah strategis itu ialah pendidikan. Ketika isu reformasi pendidkan mulai diusung melai wacana nasional yang di ambil-alih oleh media dan institusi pendidikan, kritik tajam kemudian dilancarkan pada UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 2003 karena dianggap tidak dapat memberikan dampak mutu yang diimpikan oleh bangsa kita. Dari perhelatan mutu pendidikan yang rendah dan iklim kompetitif di pasar kerja yang rendah, maka lahirlah RUU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang diharapkan dapat memberikan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan Indonesia.
Secara menyeluruh pasal-pasal dalam RUU Sisdiknas yang baru itu tenggelam dalam pasal-pasal yang berpihak terhadap pendidikan agama. Bahkan dorongan/implus politik agama dan sentimen agama begitu kuat dalam isi RUU. Janis Joseph, (www.blogsume.com), mengemukakan bahwa pendidikan agama islam telah menjadi konteks tersendiri dan dan terutama serta memotivasi, mewarnai serta memperkaya idea pembagunan mutu pendidkan dan rakyat indonesia.
Setelah RUU tersebut ditetapkan secara resmi menjadi UU dan kemudian dikeluarkan PP 55, penerapan pendidikan agama dan kependidikan keagamaan tidak berjalan dengan mengedepankan asas pluralisme dan keseimabagan. Contohkan saja bahwa dalam ketentuan pasal 12 ayat [1] “pemerintah dan atau pemerintah daerah memberikan bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan”. Pada kenyataannya tidak demikian. Pst. Fred Tawaluyan, PR, mengemukakan bahwa dalam implementasi pasal tersebut masih sangat diskriminatif khususnya pada sekolah-sekolah kristen dan katolik. Sebagai sekolah swasta program bantuan dari pemerintah lebih difokuskan pada sekolah-sekolah islam yakni Diniyah formal, Diniyah nonfornal dan Pesantren. Bahkan dalam salah satu ketentuan tentang kekhasan pendidikan keagamaan (pasal 12 ayat 2), sekolah sekolah kristen yang tersebar di tanah Jawa dan daerah mayoritas islam ditekan untuk menyediakan guru-guru islam bagi siswa islam yang bersekolah di situ. Hal ini merupakan gambaran bahwa pemaksaan idealogi islam telah mendegradasi kekhasan lemabaga kristen dan mendominasi wilayah politis lembaga tersebut.
Bertempat diruang sidang PGI, Jakarta diadakan diskusi terbatas mengenai PP 55 Tahun 2007. diskusi yang dihadiri oleh sejumlah pimpinan gereja dan praktisi pendidikan, mengghadirkan pembicara Thomas Edison (Direk Pendidkan Agama kristen Dirjen Bimas Kristen Depak RI). Thomas mengemukakan bahwa lahirnya PP 55 ini dilatar belakangi oleh “ada semacam rasa takut dan resah dikalangan pemimpin agama islam yang anak-anaknya bersekolah di sekolah kristen atau katolik. Kekawatiran akan kristenisasi merupakan dorongan paling fundamental dari lahirnya PP 55. oleh sebab itu dengan lahirnya PP 55 maka paling tidak sekolah-sekolah kristen tidak banyak mempengaruhi atau tidak dapat mempengaruhi anak-anak didik yang beragama islam.
Wacana pluralisme bermakna ambigu dalam PP 55. Pertama, secara politis pluralisme melemahkan ekslusifitas lembaga-lembaga keisten dan berarti pula melunturkan kekhasannya, kedua, wacana pluralisme secara agama berarti pengakuan niscaya dari agama kristen tentang kebenaran setiap ajaran termasuk islam yang memang sifatnya kontroversi dangan keyakinan kristen.
Dari pemaparan singkat tentang politik intervensi negara dan kanalisasi dominasi idealogi agama (islam) maka dapat disimpulkan bahwa PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan adalah perkawinan kepentingan politik negara dan islam untuk menekan, membatasi bahkan mematikan kehidupan dan perkembagan umat non-islam dan lembaga-lembaga pendidikannya dan kependidikannya melalui suatu senjata halus (simbolik) sehingga proses menekan, membatasi dan mamatikan kehidupan dan perkembagan tersebut bejalan secara lamban namun pasti dan tak disadari.

Perumusan Dana Kesra Guru Kota Kupang (Celoteh Oemar Bakhrie : idealisasi pengabdian VS kebutuhan hidup)

James Faot

Perumusan Dana Kesra Guru Kota Kupang
(Celoteh Oemar Bakhrie : idealisasi pengabdian VS kebutuhan hidup)

Pendahuluan
Sebuah analogi yang dapat dideskripsikan untuk memelek dengan lototan mata bahwa relaitas nasib guru di Indonesia bagai tanaman yang tak disiram sehingga menjadi layu bahkan mati. Ada yang bilang—belum tentu ini benar—bahwa sekian lama tugas dan tanggung jawab pengajaran yang dilakukan guru didirikan di atas landasan idealis “guru…..pahlawan tanpa tanda jasa” telah dikoyak-koyak dengan suatu fenomena langka dan asing yakni demontrasi ribuan guru karena kesejahteraan mereka ialah kesengasaraan karena ketidakaladilan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pengabdian mereka sebagai pahlawan.
Tidak ada yang salah dari landasan idil yang di atasnya guru menjalankan tanggungjawab pelayanannya. Yang salah ialah ketidakmampuan pemerintah untuk memeberikan penghargaan atas jasa kepahlawanan mereka sehingga kondisi dan tuntutan hidup yang sedemikian berat guru hadapi akhirnya guru melakukan sebuah reformasi paradikmatik tentang esensinya sebagai pahlawan.
Kajian singkat ini mengambil sudut pandang kontroversi antara gelar “guru pahlawan tanda jasa” kondisi ketidaksejahteraan hidup mereka yang secara merata dialami oleh sebagian besar guru di nusantara ini dan pada semua jenjang pendidikan. Oleh sebab itu kajian ini akan mengantarkan kita pada satu tilikan fundamental tentang landasan ideal diamana guru menjalankan pengabdiannya sebagai pendidikan dan pencerdas dengan konsekwensi ekonomis logis dari profesi tersebut yang tidak adil.

Demonstrasi Sebagai Reformasi Paradigma
Demonstrasi guru secara besar-besaran dan hampir serentak di belahan bangsa ini merupakan suatu fenomena historis yang sarat dengan nilai esensial tentang guru sebagai pahlawan—pahlawan pendidikan—nilai yang terkandung dalam aksi guru ini ialah reformasi paradigmatik. Sebagai reformasi paradigmatik, demo guru demi menegakan keadilan perlakuan pemerintah bagai kesejahteraan mereka sama sekali tidak melunturkan nilai guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebab reformasi paradigmatik ini dilakukan untuk melepaskan belenggu eksploitasi pemerintah atas kepahlawanan guru di dunia pendidikan. Secara riil, gambaran buram dan menyedihkan tentang kesejahteraan guru yang tereksploitasi dapat ditunjukan melalui fakta-fakta berikut. Pertama, nasib guru yang seharusnya diperbaiki kesejahteraannya masih menjadi semacam "sapi perahan". Gaji mereka yang sudah kecil masih dikurangi dengan bermacam potongan. Masih banyak oknum yang tega melihat para guru hidup kembang kempis.
Kebijakan di tengah saratnya beban dan tanggungjawab sang guru, tingkat kesejahteraan mereka masih jauh dari memadai. Hal itu diperburuk oleh tabiat main potong gaji yang dilakukan oleh aparat P dan K sendiri. Kita percaya ada saja alasan untuk melakukan pemotongan gaji guru tersebut. Instansi yang bersangkutan bisa berdalih lewat surat-surat keputusan yang sah. Pimpinan P dan K juga dapat beralasan bahwa anggaran yang tersedia untuk pengembangan pendidikan sangat terbatas. Karena itu hanya kepada guru tambahan dana bisa didapatkan. Harus diakui, kita pun tidak dapat menutup mata terhadap alasan-alasan seperti itu. Anggaran pendidikan untuk sekolah memang terbatas. Sejumlah pemerintah daerah membiarkan Dinas P dan K menyelesaikan kesulitan soal anggaran itu. Padahal sebenarnya Pemda dapat membantu meringankan beban Dinas P dan K melalui pengalokasian sebagian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian tradisi potong memotong gaji guru tak dapat dilepaskan dari mata rantai kebijakan pemerintah terhadap dunia pendidikan. Dan sayang bila pada akhirnya guru yang harus menanggung beban. Salah satu bebannya ialah guru menjadi “kambing hitam” ketika lulusan sekolah rendah, guru menjadi bulan-bulanan kritik baik dari mastarakat, dinas dan pemerintah pusat. Padahal relaistiskah semua beban yang ditanggung guru dapat membuat guru tampil sebagai seorang pengajar profesional? Tentu tidak! Kedua, Dari waktu ke waktu, tuntutan guru masih sama, yaitu kepastian profesi dan kesejahteraan. Penghasilan guru ditingkatkan, disesuaikan dengan laju kenaikan biaya hidup. Status kepegawaian diproyeksikan secara jelas dan definitif. Dalam unjuk rasa di di Alor , GTT dan PTT hanya menuntut surat keputusan tenaga honorer agar dapat masuk daftar tunggu menjadi PNS! Meski demikian, tampaknya pemerintah tidak pernah mau memahami hal itu. Reaksi Pemerintah Indonesia atas tuntutan guru selalu sama. Alasan pemerintah ialah anggaran negara selalu dinyatakan belum cukup untuk menaikkan gaji guru dan proyeksi penetapan status kepegawaian terkendala tuntutan peningkatan kompetensi guru. Ketiga, meski komitmen dalam UU Guru dan Dosen telah amat jelas untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, realitasnya masih jauh panggang dari api. Sebab, target sertifikasi yang terus diulur-ulur tanpa kejelasan pelaksanaan dijadikan alasan pemerintah menolak segera memberikan tunjangan profesi guru. Disamping itu, upaya upgrading para guru ke S-1 sebagai syarat sertifikasi tidak mendorong pemerintah segera menetapkan model pendidikan, kurikulum, dan lembaga pelaksana. Alasannya klasik, dana terbatas. Dan yang paling sial adalah guru honorer, GTT, dan PTT. Meski ada yang bergelar S-1, guru dengan status kepegawaian itu harus menunggu lama untuk dapat ikut sertifikasi dan menuntut tunjangan profesi. Alasan pemerintah, prioritas pemerintah adalah guru-guru S-1 dengan status kepegawaian penuh. Artinya, perjuangan guru honorer serta GTT-PTT masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru dan Dosen.
Dari ketiga fakta yang dipaparkan telah cukup menunjukan bahwa kondisi kesengsaraan (ketidaksejahteraan) guru merupakan pemicu tindakan pembebasan diri mereka terhadap eksploitasi pemerintah terhadap kepahlawanan mereka. Dengan demikian demonstrasi dan berbagai gerkan lain yang dilakukan guru atau kelompok guru janganlah dilihat sebagai tanda lunturnya nilai idealis yang melandasi pelaksanaan tugasnya sebagai pengajar di lembaga-pendidikan karena tergantikan dengan logika ekonomis dan kemapanan, tetapi ini harus dimaknai sebagai suatu tahapan di mana “kesadaran kritis” telah matang dalam sejarah pengabdian guru. Dan inilah yang harus ditanggapi oleh pemerintah dengan mempersiapkan lakngkah-langkah konkrit bagi penyeimbagan pengabdian guru dengan konsekwensi ekonomis dan materiil yang yang harus mereka terima. Semua ini, toh ini juga merupakan awal dari penataan mutu pendidikan Indoneia yang sedang terpuruk, khususnya mutu tenaga pendidik.

Tawaran Langkah Konkrit Bagi Kebijakan Kesra
Kesejahteraan guru, sekali lkagi bukan persolan politis pemerintah tetapi merupakan persoalan kemanusiaan yang harus ditanggulkanggi secara arif. Sebab jikalau pemerintah terus melakukan perherlatan politis dengan berbagai alasan tentang aturan dan anggaran maka, ini akan berdampak pada krisis kemanusiaan dari pendidkian Indonesia dan akan merambat sampai pada penentuan mutu yang jelek dari pelaksaan tugas mereka sebagai pendidik. Beberapa pokok pikiran yang ditawarkan antara lain: Pertama, tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Lupakan idealisme pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan. Kedua, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi. Ketiga, pemerintah perlu melibatkan institusi pendidikan swasta. Pemerintah tampaknya tidak cukup gesit menjabarkan amanat UU Guru dan Dosen karena birokrasi. Harus dibuat kerangka kerja sama pemerintah-swasta.

KEHANCURAN UKAW !!!! SUDAH DIAMBANG PINTU. (Seri Seruan dari Gunung)

KEHANCURAN UKAW !!!! SUDAH DIAMBANG PINTU.
(Seri Seruan dari Gunung)

REFLEKSI 20 TAHUN LEBE UKAW
4 september 1968, Universitas Kristen Artha Wacana sah lahir dari dari rahim STT (SEKOLAH TINGGI TEOLOGI) Kupang. Kehadiran UKAW ini dipicu oleh dua hal utama yakni pertama, pergumulan gereja akan pendidikan masyarakat NTT yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena faktor ekonomi (orang NTT dibawah garis kemiskinan). Kedua, mendekatkan perguruan tinggi kemasyarakat NTT agar masyarakat yang miskin dapat menyekolahkan anaknya keperguruan tinggi. Dari kedua dasar piker ini maka GKS (gereja Kristen Sumba) dan GMIT (gereja masehi injili ditimor) bersepakat untuk membangun sebuah perguruan tinggi yang pada saat ini berdiri dengan nama Universitas Kristen Artha Wacana Kupang.
UKAW perlahan-lahan berkembang menjadi salah satu perguruan tinggi terbesar di NTT, dengan memiliki 6 fakultas dan 12 jurusan pada masing-masing fakultas. Dengan tenaga pendidik dan fasilitas yang hamper cukup memadai. Akan tetapi, sangat mengherankan karena sampai pada saat ini,(selama 20 tahun UKAW berdiri), UKAW tidak mampu membiayai diri sendiri dengan membuka usaha-usaha produktif yang dapat menghasilkan uang demi perkembangan UKAW kedepan. UKAW sama sekali tidak mandiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi sebagian kecil mahasiswa “dimanakah kemampuan orang-orang pintar yang berkumpul dalam lembaga ini”???. Kami malah berpikir jikalau sejak didirikannya UKAW, universitas ini membentuk sebuah media kampus untuk pengembangan ilmu pengetahuan mahasiswa dan dosen maka media ini sudah pasti dapat menolong Kampus untuk membiayai diri sendiri. Itu baru sebuah hal yang sangat kecil dan sederhana.

MASA-MASA SULIT
21 Mei 2008, pemerintah Indonesia dibawah rezim SBY-JK menaikan harga bahan baker minyak setinggi 28,7% dari harga sebelumnya Rp. 4.500. itu berarti harga bahan baker minyak meningkat sebanyak Rp. 1.250 menjadi Rp.6000 per liter pada saat ini. Kenaikan BBM ini membawa dampak krusial bagi masyarakat Indonesia di mana pada semua aspek kehidupan, kebutuhan urgen masyarakat meningkat pula. Bahkan membludak sampai tiga kali lipat dari harga semula. Hal ini sangat menyulitkan masyarakat terutama masyarakat miskin yang berada di NTT. Mata pencaharian orang NTT terbesar adalah di bidang pertanian lahan kering (mencapai 75% penduduk NTT). Penghasilan dari profesi sebagai petanipun cukup untuk kebutuhan makan-minum dalam sebulan, sedikit yang disevkan untuk kebutuhan pendidikan anak (Membeli buku, bolpoin, dan pakaian sekolah anak). Apalagi bagi mereka yang menyekolahkan anaknya hingga keperguruan tinggi!!, kesulitan yang mereka rasakan dalam membiayai perkuliahan anak sangat besar dan membuat mereka harus terus bekerja demi pendidikan anak mereka. Kesulitan ini sudah dirasakan sejak belum adanya kenaikan harga BBM. Bayangkan saja jika pada saat ini, semua harga barang meningkat dengan naiknya harga BBM!! Maka dapat kita temukan orang-orang miskin akan sulit untuk melanjutkan study pada saat ini; Sebagaimana syair lagu “sudah di lubang, merayap lagi; sudah miskin, melarat lagi”. Pujian ini yang dapat kita pikul sebagai symbol bahwa kita memang dalam masa-masa kehidupan yang sangat sulit.

MENUJU KEHANCURAN UKAW
17 juni 2008, rektor UKAW Ir. Gotlief Neonufa, M.T mengeluarkan surat edaran kenaikan biaya study bagi seluruh mahasiswa UKAW. Kenaikan ini dipicu oleh masalah klasik yakni kenaikan BBM. Kenaikan tersebut menyulitkan aktifitas kampus khusunya biaya opersional yang mengalami peningkatan Rp 12 Miliar dari jumlah pemasukan dasar 7 Miliar (biaya operasional mengalami devisit sebanyak Rp. 5 Miliar). Devisit anggaran tersebut mengakibatkan Gaji dosen, karyawan, para dekan bersama pembantu dekan, rector bersama pembantu rektor, yasasan dan stafnya tidak lagi sesuai dengan harga sembako, biaya pembelian kertas, tinta, transport, tidak lagi sesuai dengan kebutuhan maka Yayasan bersama Rektor dan pembantu-pembantu rektor mensiasati untuk menaikan biaya study seluruh mahasiswa tanpa terkecuali sebanyak 20–30% dari harga semula. Maka secara halus (Bagaikan Parfum Amerika), semua biaya sebanyak 5 Miliar ditanggungkan kepada mahasiswa artinya bahwa ”5 miliar untuk kesejahteraan Yayasan, Rektor, Pembantu rektor, Dekan, Pembantu dekan, Dosen, dan Karyawan/I semuanya dibayar oleh Mahasiswa”. Dengan demikian maka seluruh mahasiswa UKAW akan MAMPUS karena beban yang terlalu besar. Mahasiswa sangat diberatkan oleh biaya studi belum lagi biaya kehidupan mahasiswa sehari-hari yang mendapat perlakuan sama dengan para pejabat kampus akibat kenaikan BBM. Maka secara tidak sadar satu persatu mahasiswa yang tidak mampu membayar uang sekolah dan membiayai hidup sehari-hari akan putus kuliah alias guling tikar. Maka, ”dapat ditariik benang merah bahwa dasar pijak dari berdirinya kampus ini telah berubah menjadi kampus untuk anak-anak orang kaya alias elit, dan bukan untuk orang-orang miskin”. Sebuah pembalikan visi yang luhur.

UKAW !!!! BERBALIKLAH KEARAH YANG BENAR
Seruan ini yang patut diteriakan oleh mahasiswa kepada kampus ini, karena segala sesuatu yang berhubungan dengan kesejahteraan mahasiswa sangat tidak diperhatikan. pertama, kalender akademik perkuliahan, tidak pernah disesuaikan dengan waktu kuliah mahasiswa. Artinya bahwa dalam kalender akademik berbicara lain, faktanya berbicara lain. Tetapi hal itu tidak pernah dirubah oleh pihak universitas padahal sangat merugikan pihak mahasiswa. Kerugian tersebut adalah karena kalender akademik tersebut tidak berguna sama sekali bagi mahasiswa. Kedua, Kartu Mahasiswa, pada satu bagian terbelakang, ditempatkan jumlah registrasi persemester namun hal ini dari dulu hanya menjadi hiasan dalam kartu tersebut. Mengapa??? Karena orang yang berhak menaruh jumlah uang, dan menandatanganinya sibuk dengan urusan-urusan lain (urusan diluar kampus). Akibatnya hal sekecilpun diabaikan dan kartu mahasiswa tersebut pada beberapa instansi tidak layak untuk dipakai. Ketiga, Ruangan perkuliahan yang sangat-sangat tidak layak untuk proses belajar mengajar, terus dipertahankan sebagai bagian kemegahan dari UKAW saat menarik simpati mahasiswa baru, sedangkan pembayaran DPP (Dana Pengembangan Pendidikan) terus dilakukan dan bahkan mengalami kenaikan tiap angkatan. Sederhana saja, jika harga Rp. 1.000.000 (satu Juta rupiah) yang ditanggung mahasiswa untuk pembangunan kampus maka secara rasional dapat kita hitung bahwa satu orang saja untuk lempengan kaca nako, bisa untuk lima sampai enam kelas. Bayangkan saja jika tanggungan demikian besar dengan jumlah mahasiswa 6.000 orang tetapi, kampus tidak pernah berkembang, bahkan berubah sedikitpun. Maka pertanyaan sederhana mahasiswa adalah “dikemanakan uang-uang tersebut???”. Seruan untuk berbalik kearah yang benar yang dapat menggugah hati para pejabat kampus agar dapat melayani mahasiswa dengan baik, dan benar untuk satu tujuan “JAYALAH UKAW”.

K-BBM…......Kenaikan Bahan Bakar Minyak Sampai.................... Kuliah Benar-Benar Mahal...!!!

James Faot
K-BBM…......Kenaikan Bahan Bakar Minyak
Sampai....................
Kuliah Benar-Benar Mahal...!!!

Naik, naik dan takmau turun
“Kuliah Benar-Benar Mahal”. Simpulan ini, yang patut ditarik ketika mendengar dan mengetahui bahwa pihak Yayasan Cs Universitas Kristen Artha Wacana akan menetapkan kenaikan biaya perkuliahan bagi mahasiswa-nya.. Alasannya yakni “kenaikan BBM alias kenaikan Bahan Bakar Minyak”. Kita tau, bahwa kenaikan BBM membawa dampak kenaikan diberbagai sektor kehidupan masyarakat. Dari Sembako sampai biaya angkot dan dari kos sampai KAMPUS. Namun, soal kenaikan biaya perkuliahan yang harus ditanggungkan pada MAHASISWA perlu pertimbangkan secara objektif dan proporsional dengan “apa” sudah kampus lakukan sebagai kewajibannya pada mahasiswa. Kenaikan biaya perkuliahan menurut logika kenaikan BBM, seperti suatu trend kanaikan. Sehingga kampus pun ikut-ikutan menaikan biaya perkuliahan bagi mahasiswanya, yang sudah sekarat akibat harus menanggung kemahalan yang diakibatkan kenaikan BBM dan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, kini disambar/ditambahkan lagi dengan suatu beban baru di sektor pendidikan yakni kenaikan biaya kuliah. Fenomena ini, mengambarkan nasib mahasiswa bagaikan pepatah “sudah jatuh, ketimpa tangga.. besi lagi`...!”
Kenaikan seluruh biaya perkuliahan yang akan diberlakukan bagi mahasiswa sebasar 20% samapi 30%, yang meliputi:
1) Kenaikan biaya SKS untuk semua tingkat atau angkatan dipatok per SKS rata Rp. 5000. Katakanlah, angkatan tahun 2002/2003-2003/2004 dengan harga per SKS Rp. 15.000 naik menjadi Rp. 20.000 per SKS atau naik sekitar 33,3%; angkatan 2004/2005, harga per SKS Rp. 17.500 naik menjadi 22.500 per SKS atau 28,57%; angkatan 2005/2006, harga per SKS Rp. 20.000 naik menjadi Rp. 25.000 per SKS atau 25%; angkatan 2006/2007-2007/2008 harga per SKS Rp. 25.000 naik menjadi Rp. 30.000 per SKS atau 20%.
2) Kenaikan SPP untuk seluruh mahasiswa sebesar Rp. 50.000. Katakanlah, angkatan angakatan 2004/2005-2005/2006 harga SPP per semester Rp. 325.000 naik menjadi Rp. 375.000 per semester atau 15,39% atau angkatan 2006/2007-2007/2008 harga SPP per semester Rp. 400.000 naik menjadi Rp. 450.000 per semester atau 12,5%.
3) Kenaikan pos pembayaran mahasiswa yang lain seperti, pembayaran denda keterlambatan SPP, Pembayaran KRS/Kartu NRIM/NIM, uang UNC/KKN/Skripsi, uang Wisuda/Sewa Toga/Ijazah, uang PPL, IKAMA/Kalender Akademik/Kartu Mahasiswa, uang Tas MKU & Fakultas, uang penggunaan laboratorium (selama ini tidak maksimal dimanfaatkan oleh mahasiswa, namun terus saja dipunggut), mungkin juga Kartu Perpustakaan dan dendanya yang terlalu besar, (padahal buku-bukunya sudah ketinggalan akibat terlalu tua dan tidak up to date).
Kontras fakta pelayanan kampus
Ironisnnya, rencana kebijakan Yayasan Cs Unversitas tidak mempertimbangkan kemaksimalan layanan pendidikan pada mahasiswa. Faktannya; pertama, perkuliahan selama ini berjalan secara tidak konsisten dengan kalender akademik yang dikeluarkan yayasan. Yang konsisten cuma waktu pembayaran registrasi dan dendannya. Ini sungguh-sungguh merugikan mahasiswa. Kedua, sarana belajar yang tidak layak bagi penyelenggaraan pembelajaran. Kaca-kaca jendela yang bolong-bolong, kelas yang berantakan & kotor, kursi dan meja yang tidak nyaman, halaman kampus yang tidak terurus, laboraturium yang di bawah standar kelayakan dan hampir sama sekali tidak di pergunakan oleh mahasiswa, sementara itu pungutannya lancar-lancar saja (lab. Computer, lab. Bahasa Inggris, lab. Biologi yang masih dalam bayangan. Kini Biologi cuma ngandeng sama Perikanan. Tapi tidak dipergunakan juga sampai-sampai mahasiswa harus membedah ikan di kelas), rungan dan fasilitas registrasi yang terbatas, sampai-sampai mahasiswa harus antri panjang kayak rel kereta api atau kerumunan massa di pasar atau juga teng kedukaan (soalnnya ada terpal orange di depan loket regis), dll. ketiga, kekurangan/amat sangat kurangnya tenaga dosen di beberapa fakultas dan progdi (contohnya Progdi Biologi) , tatap muka dosen yang tidak jelas. Banyak dosen yang lalai dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Juga banyak dosen kualitasnya pas-pasan.
Masih banyak persoalan lain yang kalau mau dipikir secara logis, rencana kebijakan Yayasan Cs Universitas untuk kenaikan ini, dengan alasan devisit anggaran atau karena dampak kenaikan BBM, sekali lagi...tidak tepat dan oleh karena itu tidak bijaksana kerena keputusan ini justru bukan kebijakan, sebab hakekat kebijakan adalah untuk mendatangkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh civitas akademik bahkan masyarakat secara luas.
Walaupun, kenaikan ini dijanjikan akan diberikan kompensasi-kompensasi sebagaimana yang diminta oleh beberapa fakultas, namun, itu tidak menjamin bahwa setelah dinaikan Yayasan Cs Universitas akan melaksanakan itu. Prosesnya bisa panjang dan tak tentu. Jadi, teman-teman mahasiswa jangan terbawa dengan rekayasa persetujuan bahwa kita lagi devisit karena dampak kenaikan BBM. Dan harus buru-buru menaikan biaya perkuliahan dan sasarannya mahasiswa-mahasiswa yang harus selalu memanggung kesialan serta derita dari keputusan-keputusan yang logikannya melulu ekonomis, bukan moral dan keadilan dan solider. Inilah yang disebut ”bentuk halus dari praktek-praktek kapitalisasi pendidikan kampus”...sebuah ekspolitasi tanpa wujud namun nyata, tanpa aroma namun busuk, irasional namun dianggap rasional dan tidak bijaksana tetapi dibilang kebijakan..
Akhir diskursus ini, hanya diinggat saja pada teman-teman MAHASISWA bahwa, “jika kita secara sadar atau pun tidak sadar, baik ngarti atau tidak, setuju atau malah mencaci pandangan ini, sanggup atau tidak sanggup, berani atau penakut MEMBIARKAN KENAIKAN BIAYA PERKULIAHAN, maka hanya ada satu ucapan bagi kita............................SELAMAT MENDERITA......!!!!!”
Mahasiswa Tolak Kenaikan Biaya Perkuliahan....!!!


K-BBM…......Kenaikan Bahan Bakar Minyak
Sampai....................
Kuliah Benar-Benar Mahal...!!!

Naik, naik dan takmau turun
“Kuliah Benar-Benar Mahal”. Simpulan ini, yang patut ditarik ketika mendengar dan mengetahui bahwa pihak Yayasan Cs Universitas Kristen Artha Wacana akan menetapkan kenaikan biaya perkuliahan bagi mahasiswa-nya.. Alasannya yakni “kenaikan BBM alias kenaikan Bahan Bakar Minyak”. Kita tau, bahwa kenaikan BBM membawa dampak kenaikan diberbagai sektor kehidupan masyarakat. Dari Sembako sampai biaya angkot dan dari kos sampai KAMPUS. Namun, soal kenaikan biaya perkuliahan yang harus ditanggungkan pada MAHASISWA perlu pertimbangkan secara objektif dan proporsional dengan “apa” sudah kampus lakukan sebagai kewajibannya pada mahasiswa. Kenaikan biaya perkuliahan menurut logika kenaikan BBM, seperti suatu trend kanaikan. Sehingga kampus pun ikut-ikutan menaikan biaya perkuliahan bagi mahasiswanya, yang sudah sekarat akibat harus menanggung kemahalan yang diakibatkan kenaikan BBM dan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, kini disambar/ditambahkan lagi dengan suatu beban baru di sektor pendidikan yakni kenaikan biaya kuliah. Fenomena ini, mengambarkan nasib mahasiswa bagaikan pepatah “sudah jatuh, ketimpa tangga.. besi lagi`...!”
Kenaikan seluruh biaya perkuliahan yang akan diberlakukan bagi mahasiswa sebasar 20% samapi 30%, yang meliputi:
1) Kenaikan biaya SKS untuk semua tingkat atau angkatan dipatok per SKS rata Rp. 5000. Katakanlah, angkatan tahun 2002/2003-2003/2004 dengan harga per SKS Rp. 15.000 naik menjadi Rp. 20.000 per SKS atau naik sekitar 33,3%; angkatan 2004/2005, harga per SKS Rp. 17.500 naik menjadi 22.500 per SKS atau 28,57%; angkatan 2005/2006, harga per SKS Rp. 20.000 naik menjadi Rp. 25.000 per SKS atau 25%; angkatan 2006/2007-2007/2008 harga per SKS Rp. 25.000 naik menjadi Rp. 30.000 per SKS atau 20%.
2) Kenaikan SPP untuk seluruh mahasiswa sebesar Rp. 50.000. Katakanlah, angkatan angakatan 2004/2005-2005/2006 harga SPP per semester Rp. 325.000 naik menjadi Rp. 375.000 per semester atau 15,39% atau angkatan 2006/2007-2007/2008 harga SPP per semester Rp. 400.000 naik menjadi Rp. 450.000 per semester atau 12,5%.
3) Kenaikan pos pembayaran mahasiswa yang lain seperti, pembayaran denda keterlambatan SPP, Pembayaran KRS/Kartu NRIM/NIM, uang UNC/KKN/Skripsi, uang Wisuda/Sewa Toga/Ijazah, uang PPL, IKAMA/Kalender Akademik/Kartu Mahasiswa, uang Tas MKU & Fakultas, uang penggunaan laboratorium (selama ini tidak maksimal dimanfaatkan oleh mahasiswa, namun terus saja dipunggut), mungkin juga Kartu Perpustakaan dan dendanya yang terlalu besar, (padahal buku-bukunya sudah ketinggalan akibat terlalu tua dan tidak up to date).
Kontras fakta pelayanan kampus
Ironisnnya, rencana kebijakan Yayasan Cs Unversitas tidak mempertimbangkan kemaksimalan layanan pendidikan pada mahasiswa. Faktannya; pertama, perkuliahan selama ini berjalan secara tidak konsisten dengan kalender akademik yang dikeluarkan yayasan. Yang konsisten cuma waktu pembayaran registrasi dan dendannya. Ini sungguh-sungguh merugikan mahasiswa. Kedua, sarana belajar yang tidak layak bagi penyelenggaraan pembelajaran. Kaca-kaca jendela yang bolong-bolong, kelas yang berantakan & kotor, kursi dan meja yang tidak nyaman, halaman kampus yang tidak terurus, laboraturium yang di bawah standar kelayakan dan hampir sama sekali tidak di pergunakan oleh mahasiswa, sementara itu pungutannya lancar-lancar saja (lab. Computer, lab. Bahasa Inggris, lab. Biologi yang masih dalam bayangan. Kini Biologi cuma ngandeng sama Perikanan. Tapi tidak dipergunakan juga sampai-sampai mahasiswa harus membedah ikan di kelas), rungan dan fasilitas registrasi yang terbatas, sampai-sampai mahasiswa harus antri panjang kayak rel kereta api atau kerumunan massa di pasar atau juga teng kedukaan (soalnnya ada terpal orange di depan loket regis), dll. ketiga, kekurangan/amat sangat kurangnya tenaga dosen di beberapa fakultas dan progdi (contohnya Progdi Biologi) , tatap muka dosen yang tidak jelas. Banyak dosen yang lalai dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Juga banyak dosen kualitasnya pas-pasan.
Masih banyak persoalan lain yang kalau mau dipikir secara logis, rencana kebijakan Yayasan Cs Universitas untuk kenaikan ini, dengan alasan devisit anggaran atau karena dampak kenaikan BBM, sekali lagi...tidak tepat dan oleh karena itu tidak bijaksana kerena keputusan ini justru bukan kebijakan, sebab hakekat kebijakan adalah untuk mendatangkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh civitas akademik bahkan masyarakat secara luas.
Walaupun, kenaikan ini dijanjikan akan diberikan kompensasi-kompensasi sebagaimana yang diminta oleh beberapa fakultas, namun, itu tidak menjamin bahwa setelah dinaikan Yayasan Cs Universitas akan melaksanakan itu. Prosesnya bisa panjang dan tak tentu. Jadi, teman-teman mahasiswa jangan terbawa dengan rekayasa persetujuan bahwa kita lagi devisit karena dampak kenaikan BBM. Dan harus buru-buru menaikan biaya perkuliahan dan sasarannya mahasiswa-mahasiswa yang harus selalu memanggung kesialan serta derita dari keputusan-keputusan yang logikannya melulu ekonomis, bukan moral dan keadilan dan solider. Inilah yang disebut ”bentuk halus dari praktek-praktek kapitalisasi pendidikan kampus”...sebuah ekspolitasi tanpa wujud namun nyata, tanpa aroma namun busuk, irasional namun dianggap rasional dan tidak bijaksana tetapi dibilang kebijakan..
Akhir diskursus ini, hanya diinggat saja pada teman-teman MAHASISWA bahwa, “jika kita secara sadar atau pun tidak sadar, baik ngarti atau tidak, setuju atau malah mencaci pandangan ini, sanggup atau tidak sanggup, berani atau penakut MEMBIARKAN KENAIKAN BIAYA PERKULIAHAN, maka hanya ada satu ucapan bagi kita............................SELAMAT MENDERITA......!!!!!”
Mahasiswa Tolak Kenaikan Biaya Perkuliahan....!!!