Selasa, 24 November 2009

Kurikulum Terselubung Sekolah: Pelucutan Privelise Sekolah Sebagai Satu-satunya Lembaga Pendidikan

Kurikulum Terselubung Sekolah:
Pelucutan Privelise Sekolah Sebagai Satu-satunya Lembaga Pendidikan

Oleh: James Faot

Pengantar
Ivan Illich pernah mengatakan bahwa masyarakat harus dibebaskan dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan (the single’s institution of education). Pernyataan ini patut memdapatkan perhatian serius dan kritis oleh siapapun yang masih menganggap bahwa memang sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan di dunia ini.

Menggarisbahwahi kata ”membebaskan”, tentu kata ini memberikan pemahaman tentang adanya kondisi riil penjajahan, penindasan, perbudakan dan pembodohan terhadap kesadaran dan perilaku masyarakat terhadap sekolah sebagai lembaga pendidikan. Atau, dengan perkataan lain hanya sekolah sajalah pendidikan itu; pendidikan berarti sekolah.

Pertanyaan kita atas realitas pemahaman dan perilaku masyarakat modern yang cenderung menganggap bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan adalah mengapa menjadi urgen bagi kita untuk melucuti hak istimewa (privilise) sekolah itu? Dan alternatif apa yang patut kita berikan untuk membebaskan masyarakat dari hegemoni sekolah sebagai institusi pedidikan tunggal?

Dalam cacatan ini, dengan menyelami analisis Ivan Illich tentang setting paradigma sekolah, khususnya berkaitan dengan kurikulum terselubung sekolah (hidden school curiculum), kita akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Dan terlebih penting lagi adalah pendidikan akan memperoleh manfaat besar ketika privilise sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan dilucuti.

Pencampur-adukan Proses dan Substansi Pendidikan
The single’s institution of education sebagaimana telah menghegemoni kesadaran dan praksis masyarakat merupakan kondisi dimana telah terjadinya pencampur-adukan antara proses dan substansi pendidikan (the substantion of education and the colaboration of process). Pencampur-adukan ini mengakibatkan tumpulnya daya kritis masyarakat sehingga turut menyokong status quo sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Masyarakat tidak mampu lagi membedakan manakah yang merupakan proses dan manakah yang merupakan substansi pendidikan. Logika baru pencampur-adukan ini mengkonstruksikan cara berpikir masyarakat bahwa semakin banyak pengajaran, semakin baik hasilnya; atau menambah materi pengetahuan akan menjamin keberhasilan pendidikan.

Implikasi buruk dari konstruksi logika pencampur-adukan antara proses dan substansi pendidikan adalah generalisasi spontan. Maksudnya adalah adanya penyamaan antara pengajaran dan belajar, naik kelas/lulus dan pendidikan, ijazah dan kompetensi, materi pelajaran dengan kebutuhan pasar, kefasihan berceloteh dan kemampuan mengungkapkan ide dan gagasan baru, dll. Singkatnya, yang terjadi di dalam penyelenggaraan pendidikan (baca: sekolah) sekadar apa yang disebut Ivan Illich sebagai ”pelayanan” dan bukannya ”nilai”. Inilah sebentuk pendewaan sekolah dalam realitas masyarakat modern.

Pendewaan sekolah ini merupakan suatu reduksi terhadap hakekat pendidikan. Lembaga sekolah hanya berorientasi pada hasil kerja atau performen (performance) kelembagaan. Lembaga sekolah mengklaim mampu mewujudkan tujuan-tujuan yang kemudian menuntut lagi peningktan performen sekolah sebagai lembaga.

Akibat pendewaan yang melahirkan pelembagaan nilai sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan, maka niscaya akan menimbulkan 3 (tiga) problematika baru dari eksistensi pelembagaan nilai sekolah yakni: pertama, polusi fisik, kedua, polarisasi sosial dan ketiga, ketidakberdayaan psikologis.
Ketiga problem ini disebut Ival Illich sebagai ”dimensi dalam proses degradasi global dan kesengsaraan dalam kemasan baru (modernised misery)”.

Modrnised Misery sendiri adalah proses degradasi yang berlangsung scara cepat ketika kebutuhan-kebutuhan non-material diubah menjadi permintaan akan barang. Tegasnya, modrnised misery terjadi dalam lembaga sekolah ketika pendidikan dijadikan komoditas dan dikomersialkan. Pendidikan berubah menjadi hasil dari ”jasa” atau ”pelayanan” lembaga pendidikan. ...

Senin, 16 November 2009

PP. No. 55 Tahun 2007 (Legitimasi Intervensi Pemerintah dan Kanalisasi Dominasi Ideologi )

James Faot

PP. No. 55 Tahun 2007
(Legitimasi Intervensi Pemerintah dan Kanalisasi Dominasi Ideologi )

Pendahuluan
Implementasi PP No. 55 Tahun 2007 sebagai perangkat yuridis atau regulasi (peraturan) hukum bagi pelaksanaan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan memicu kontroversi berbagai pakar pendidikan dan agama bukan hanya dari segi konsepsi idealnya saja tetapi juga merambah sampai kekuasaan simbolik secara politis dan idealogis yang terkandung di dalamnya.
Bergulirnya PP No. 55 Tahun 2007 dalam artian yuridisnya merupakan realisasi amanah Pasal 20 ayat 4, Pasal 30 ayat 5, dan Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Serta Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasonal (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), dan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1065 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2727.)
Di usung di atas isu reformasi pendidikan, PP 55 Tahun 2007, secara esensial di arakan pada cita-cita “mendasarkan pendidikan agama sebagai basis pendidikan nasional.” Fakta keterpurukan pendidikan nasional tahun 3005, disimpulkan bahwa kegagalan dan kekurangberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional berpangkal pada minimalisme caharakter building atau tipisnya pembangunan etika dan mental bangsa sebagai bangsa yang membangun. Demikian maka, dalam pembahasan pasal-pasal dalam UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan nasional, aspek keagamaan mendominasi rumusan konsideran tersebut. Pasal-pasal yang beraroma khas agama ini dimaksudkan untuk mendeterminasi perumusan PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, di mana ruang intervensi politik pemerintah di buka secara lebar sehingga wilayah dan urusan-urusan keagamaan masyarakat dapat dikendalikan atau diatur. Serta sentimen idealogi dan kekuasaan Islam sebagai agama mayoritas bangsa tetap dominan dan tidak terancam, terdiskriminasi dan dimonopoli oleh pendidikan agama yang sifatnya non-Islam.
Tujuan analisis
Kajian atau analisis ini, bermaksud untuk memberikan gambaran posisional dari kekuatan intervensi negara dalam urusan keagamaan masyarakat melalui wilayah pendidikan agama dan kependidikan agama sehingga intervensi negara menjadi legitimit. Serta, melalui wilayah pendidikan agama dan kependidikan agama kanalisasi idiealogis islam secara dominan terlaksana, secara khusus di sekolah-sekolah berbasisiskan non-islam. Kedua usaha ini dilaksanakan melalui wacana atau perbaikan mutu pendidikan agama dan pluralisme sehingga kepentingan intervensi dan dominasi memiliki wujud yang sifatnya simbolis.

Politik intervensi negara dan kanalisasi dominasi idealogi agama
Kekuasaan simbolik politis bagi legitimasi intevesi negara dalam ranah agama serta kanalisasi dominasi idealogi islam dalam pasal-pasal PP No. 55 Tahun 2007. Yang kami maksudkan sebagai kekuasan simbolik yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal PP 55 Tahun 2007 dapat diidentifikasi melalui beberapa pasal berikut.
1. Kekuatan Intervensi Negara
Menilik kembali bagian-bagian pasal dalam PP No 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan kependidikan keagamaan, maka secara jelas bahwa pemerintah secara terang-terangan memberikan keleluasaan bagi upaya intervensinya terhadap penyelenggaraan pendidkan agama dan kependidkan keagamaan. Sebagaimana tercatat, mulai dari bagian kesatu, Pendidkan agama isalam pasal 14, baik paragraf stu dan dua samapai bagian keenam yakni pendidikan keagamaan Konghucupasal 45, intervensi pemerintah meliputi secara menyeluruh. Bukan hanya pada regulasi peran, kontrol tetapi juga pada bagian isi pendidikan. Hal ini jelas terbaca dalam rumusan setiap pasal dan ayat yang hampir secara seragam dan mengacu pada pasal 5 PP ini, yang mengatur tentang kurikulum perimbagan dalam pelaksanaan pendidikan agama. Kurikulum perimbagan ini ialah mata pelajaran yang secara umum didapat dalam pendidkan formal. Hal tentang pertimbagan pemerintah sehubungan dengan mutu kompetitif dari penyelenggaraan pendidikan dan hasil yang ingin dicapai memang merupakan hal yang cukup positif, mengingat secara umum amanat yang terkandung dari guliran UU Sisdiknas Tahun 2003 menekankan peningkatan mutu pendidkan nasional. Tetapi, ketentuan ini juga bertentangan dengan hakekat jiwa pendidikan agama yang pada dasarnya diselenggarakan oleh masyarakat dan memang jelas dilindungi oleh pemerintah dalam pasal 55 ayat 1 UU Sisdiknas. Intervensi yang berlebihan dari pemerintah dalam hal isi penyelenggaraan pendidkan agama merupakan upaya yang menghilangkan ciri khas dari inisiatif umat beragama tertentu untuk menyelenggarakan pendidikan agamanya (Sairin, 2004:3) .
Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa sikap pemerintah bukannya menghargai dan melindung kepercayaan dari masyarakatnya melaikan pemerintah melakukan hegemoni terhadap lembaga pendidikan dan kebutuhan pendidikan agama dari masyarakat. Hegemoni ini dilancarkan secara simbolik melalui; pertama, posis pemerintah sebagai pelaksana kekuasaan yang menyediakan peran dan sebagai pengontrol terhadap seluruh upaya masyarakat beragama dalam mengembangkan kepercayaan serta kehidupan mereka; kedua, pemerintah berusaha merekonstruksi wacana yang secara rasional dapat diterima sebagai kebutuhan masyarakat keseluruhan, yakni pendidikan agama berfungsi untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan internal dan antar umat beragana. Serta pendidikan agama bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasiakan penguasannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Dengan mempergunakan kedua kuasa simbolik di atas maka, pemerintah memperoleh ruang yang semakin luas dalam menetukan apa yang benar dan salah dalam upaya penyelenggaran pendidikan agama dan kependidikan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat. Inilah yang disebut oleh Pierre Baurdieu sebagai permainan politik simbolik (symbolic political games) bagi atau untuk memperoloh kekuasaan yang riil dari umat beragama.
Strategi hegemoni yang lain dari pemerintah juga dapat dilihat dari target ideal pendidikan agama yang ditetapkan dalam rumusan pasal 5 ayat 7 PP 55, “pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenagkan, menantang, mendorong kreatifitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses”. Walaupun dapat diilustrasikan bahwa idea yang terkandung dalam rumusan pasal ini jelas menunjukan bahwa ini bagaikan “jauh panggang dari api”, tetapi pemerintah toh memberikan sanksi bagi satuan pendidkan yang yang menyalahi dalam ketentuan pasal 3 ayat 1, pasal 4 ayat 2 sampai dengan ayat 7 dan pasal 5 ayat 1. sanksi yang diberikan berbentuk sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan penutupan. Bahkan hegemoni pemerintah semakin luar biasa bermain dalam PP 55 yakni dengan memberikan pengaturan lanjutan tentang hal ini kepada Menteri Agama (Janis Joseph: www.blogsume.com).
Dalam sebuah negara seperti Indonesia yang menganut paham hubungan negara dengan agama atau sebaliknya, Indonesia menganut paham “negara agama” yakni negara menguasai kehidupan agama dari masyarakat dan lembaga agama dan bukan agama yang menguasai negara. Oleh sebab itu, tindakan negara merupakan seatu kekhawatiran bahkan sebuah ketakutan terhadap kuatnya kekuatan agama yang dapat mendiminasi negara. Secara lebih radikal dapat juga hal ini diinterpretasikan sebagai sikap represif negara terhadap agama sehingga agama kehilangan daya politisnya dihadapan negara.

2. Kanalisasi Idealogi Agama (Islam)
PP 55 sebagai kanalisasi idealogi islam dapat ditelusuri dari latar belakang kemunculannya. Kontroversi hubungan antar agama dan secara khusus onflik antara umat kristen dan islam di tanah Jawa merupakan akar dari konsolidasi tokoh-tokoh isalam non-pemerintahan dan yang berdada dalam kedudukan di pemerintahan. Perkembagan umat kristen yang sarat di tanah Jawa telah menjadi keresahan akut bagi umat islam radikal. Sehingga aksi protes dan anarkis dijalankan untuk menghambat laju perkembagan kekristenan. Sampai dipikirkan oleh kelompok radikal islam tentang bagaimana memperoleh suatu ruang sterategis untuk menekan dan mendominasi kembali kekuatan islam di NKRI. Dan salah satu wilayah strategis itu ialah pendidikan. Ketika isu reformasi pendidkan mulai diusung melai wacana nasional yang di ambil-alih oleh media dan institusi pendidikan, kritik tajam kemudian dilancarkan pada UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 2003 karena dianggap tidak dapat memberikan dampak mutu yang diimpikan oleh bangsa kita. Dari perhelatan mutu pendidikan yang rendah dan iklim kompetitif di pasar kerja yang rendah, maka lahirlah RUU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang diharapkan dapat memberikan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan Indonesia.
Secara menyeluruh pasal-pasal dalam RUU Sisdiknas yang baru itu tenggelam dalam pasal-pasal yang berpihak terhadap pendidikan agama. Bahkan dorongan/implus politik agama dan sentimen agama begitu kuat dalam isi RUU. Janis Joseph, (www.blogsume.com), mengemukakan bahwa pendidikan agama islam telah menjadi konteks tersendiri dan dan terutama serta memotivasi, mewarnai serta memperkaya idea pembagunan mutu pendidkan dan rakyat indonesia.
Setelah RUU tersebut ditetapkan secara resmi menjadi UU dan kemudian dikeluarkan PP 55, penerapan pendidikan agama dan kependidikan keagamaan tidak berjalan dengan mengedepankan asas pluralisme dan keseimabagan. Contohkan saja bahwa dalam ketentuan pasal 12 ayat [1] “pemerintah dan atau pemerintah daerah memberikan bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan”. Pada kenyataannya tidak demikian. Pst. Fred Tawaluyan, PR, mengemukakan bahwa dalam implementasi pasal tersebut masih sangat diskriminatif khususnya pada sekolah-sekolah kristen dan katolik. Sebagai sekolah swasta program bantuan dari pemerintah lebih difokuskan pada sekolah-sekolah islam yakni Diniyah formal, Diniyah nonfornal dan Pesantren. Bahkan dalam salah satu ketentuan tentang kekhasan pendidikan keagamaan (pasal 12 ayat 2), sekolah sekolah kristen yang tersebar di tanah Jawa dan daerah mayoritas islam ditekan untuk menyediakan guru-guru islam bagi siswa islam yang bersekolah di situ. Hal ini merupakan gambaran bahwa pemaksaan idealogi islam telah mendegradasi kekhasan lemabaga kristen dan mendominasi wilayah politis lembaga tersebut.
Bertempat diruang sidang PGI, Jakarta diadakan diskusi terbatas mengenai PP 55 Tahun 2007. diskusi yang dihadiri oleh sejumlah pimpinan gereja dan praktisi pendidikan, mengghadirkan pembicara Thomas Edison (Direk Pendidkan Agama kristen Dirjen Bimas Kristen Depak RI). Thomas mengemukakan bahwa lahirnya PP 55 ini dilatar belakangi oleh “ada semacam rasa takut dan resah dikalangan pemimpin agama islam yang anak-anaknya bersekolah di sekolah kristen atau katolik. Kekawatiran akan kristenisasi merupakan dorongan paling fundamental dari lahirnya PP 55. oleh sebab itu dengan lahirnya PP 55 maka paling tidak sekolah-sekolah kristen tidak banyak mempengaruhi atau tidak dapat mempengaruhi anak-anak didik yang beragama islam.
Wacana pluralisme bermakna ambigu dalam PP 55. Pertama, secara politis pluralisme melemahkan ekslusifitas lembaga-lembaga keisten dan berarti pula melunturkan kekhasannya, kedua, wacana pluralisme secara agama berarti pengakuan niscaya dari agama kristen tentang kebenaran setiap ajaran termasuk islam yang memang sifatnya kontroversi dangan keyakinan kristen.
Dari pemaparan singkat tentang politik intervensi negara dan kanalisasi dominasi idealogi agama (islam) maka dapat disimpulkan bahwa PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan adalah perkawinan kepentingan politik negara dan islam untuk menekan, membatasi bahkan mematikan kehidupan dan perkembagan umat non-islam dan lembaga-lembaga pendidikannya dan kependidikannya melalui suatu senjata halus (simbolik) sehingga proses menekan, membatasi dan mamatikan kehidupan dan perkembagan tersebut bejalan secara lamban namun pasti dan tak disadari.

Perumusan Dana Kesra Guru Kota Kupang (Celoteh Oemar Bakhrie : idealisasi pengabdian VS kebutuhan hidup)

James Faot

Perumusan Dana Kesra Guru Kota Kupang
(Celoteh Oemar Bakhrie : idealisasi pengabdian VS kebutuhan hidup)

Pendahuluan
Sebuah analogi yang dapat dideskripsikan untuk memelek dengan lototan mata bahwa relaitas nasib guru di Indonesia bagai tanaman yang tak disiram sehingga menjadi layu bahkan mati. Ada yang bilang—belum tentu ini benar—bahwa sekian lama tugas dan tanggung jawab pengajaran yang dilakukan guru didirikan di atas landasan idealis “guru…..pahlawan tanpa tanda jasa” telah dikoyak-koyak dengan suatu fenomena langka dan asing yakni demontrasi ribuan guru karena kesejahteraan mereka ialah kesengasaraan karena ketidakaladilan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pengabdian mereka sebagai pahlawan.
Tidak ada yang salah dari landasan idil yang di atasnya guru menjalankan tanggungjawab pelayanannya. Yang salah ialah ketidakmampuan pemerintah untuk memeberikan penghargaan atas jasa kepahlawanan mereka sehingga kondisi dan tuntutan hidup yang sedemikian berat guru hadapi akhirnya guru melakukan sebuah reformasi paradikmatik tentang esensinya sebagai pahlawan.
Kajian singkat ini mengambil sudut pandang kontroversi antara gelar “guru pahlawan tanda jasa” kondisi ketidaksejahteraan hidup mereka yang secara merata dialami oleh sebagian besar guru di nusantara ini dan pada semua jenjang pendidikan. Oleh sebab itu kajian ini akan mengantarkan kita pada satu tilikan fundamental tentang landasan ideal diamana guru menjalankan pengabdiannya sebagai pendidikan dan pencerdas dengan konsekwensi ekonomis logis dari profesi tersebut yang tidak adil.

Demonstrasi Sebagai Reformasi Paradigma
Demonstrasi guru secara besar-besaran dan hampir serentak di belahan bangsa ini merupakan suatu fenomena historis yang sarat dengan nilai esensial tentang guru sebagai pahlawan—pahlawan pendidikan—nilai yang terkandung dalam aksi guru ini ialah reformasi paradigmatik. Sebagai reformasi paradigmatik, demo guru demi menegakan keadilan perlakuan pemerintah bagai kesejahteraan mereka sama sekali tidak melunturkan nilai guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebab reformasi paradigmatik ini dilakukan untuk melepaskan belenggu eksploitasi pemerintah atas kepahlawanan guru di dunia pendidikan. Secara riil, gambaran buram dan menyedihkan tentang kesejahteraan guru yang tereksploitasi dapat ditunjukan melalui fakta-fakta berikut. Pertama, nasib guru yang seharusnya diperbaiki kesejahteraannya masih menjadi semacam "sapi perahan". Gaji mereka yang sudah kecil masih dikurangi dengan bermacam potongan. Masih banyak oknum yang tega melihat para guru hidup kembang kempis.
Kebijakan di tengah saratnya beban dan tanggungjawab sang guru, tingkat kesejahteraan mereka masih jauh dari memadai. Hal itu diperburuk oleh tabiat main potong gaji yang dilakukan oleh aparat P dan K sendiri. Kita percaya ada saja alasan untuk melakukan pemotongan gaji guru tersebut. Instansi yang bersangkutan bisa berdalih lewat surat-surat keputusan yang sah. Pimpinan P dan K juga dapat beralasan bahwa anggaran yang tersedia untuk pengembangan pendidikan sangat terbatas. Karena itu hanya kepada guru tambahan dana bisa didapatkan. Harus diakui, kita pun tidak dapat menutup mata terhadap alasan-alasan seperti itu. Anggaran pendidikan untuk sekolah memang terbatas. Sejumlah pemerintah daerah membiarkan Dinas P dan K menyelesaikan kesulitan soal anggaran itu. Padahal sebenarnya Pemda dapat membantu meringankan beban Dinas P dan K melalui pengalokasian sebagian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian tradisi potong memotong gaji guru tak dapat dilepaskan dari mata rantai kebijakan pemerintah terhadap dunia pendidikan. Dan sayang bila pada akhirnya guru yang harus menanggung beban. Salah satu bebannya ialah guru menjadi “kambing hitam” ketika lulusan sekolah rendah, guru menjadi bulan-bulanan kritik baik dari mastarakat, dinas dan pemerintah pusat. Padahal relaistiskah semua beban yang ditanggung guru dapat membuat guru tampil sebagai seorang pengajar profesional? Tentu tidak! Kedua, Dari waktu ke waktu, tuntutan guru masih sama, yaitu kepastian profesi dan kesejahteraan. Penghasilan guru ditingkatkan, disesuaikan dengan laju kenaikan biaya hidup. Status kepegawaian diproyeksikan secara jelas dan definitif. Dalam unjuk rasa di di Alor , GTT dan PTT hanya menuntut surat keputusan tenaga honorer agar dapat masuk daftar tunggu menjadi PNS! Meski demikian, tampaknya pemerintah tidak pernah mau memahami hal itu. Reaksi Pemerintah Indonesia atas tuntutan guru selalu sama. Alasan pemerintah ialah anggaran negara selalu dinyatakan belum cukup untuk menaikkan gaji guru dan proyeksi penetapan status kepegawaian terkendala tuntutan peningkatan kompetensi guru. Ketiga, meski komitmen dalam UU Guru dan Dosen telah amat jelas untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, realitasnya masih jauh panggang dari api. Sebab, target sertifikasi yang terus diulur-ulur tanpa kejelasan pelaksanaan dijadikan alasan pemerintah menolak segera memberikan tunjangan profesi guru. Disamping itu, upaya upgrading para guru ke S-1 sebagai syarat sertifikasi tidak mendorong pemerintah segera menetapkan model pendidikan, kurikulum, dan lembaga pelaksana. Alasannya klasik, dana terbatas. Dan yang paling sial adalah guru honorer, GTT, dan PTT. Meski ada yang bergelar S-1, guru dengan status kepegawaian itu harus menunggu lama untuk dapat ikut sertifikasi dan menuntut tunjangan profesi. Alasan pemerintah, prioritas pemerintah adalah guru-guru S-1 dengan status kepegawaian penuh. Artinya, perjuangan guru honorer serta GTT-PTT masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru dan Dosen.
Dari ketiga fakta yang dipaparkan telah cukup menunjukan bahwa kondisi kesengsaraan (ketidaksejahteraan) guru merupakan pemicu tindakan pembebasan diri mereka terhadap eksploitasi pemerintah terhadap kepahlawanan mereka. Dengan demikian demonstrasi dan berbagai gerkan lain yang dilakukan guru atau kelompok guru janganlah dilihat sebagai tanda lunturnya nilai idealis yang melandasi pelaksanaan tugasnya sebagai pengajar di lembaga-pendidikan karena tergantikan dengan logika ekonomis dan kemapanan, tetapi ini harus dimaknai sebagai suatu tahapan di mana “kesadaran kritis” telah matang dalam sejarah pengabdian guru. Dan inilah yang harus ditanggapi oleh pemerintah dengan mempersiapkan lakngkah-langkah konkrit bagi penyeimbagan pengabdian guru dengan konsekwensi ekonomis dan materiil yang yang harus mereka terima. Semua ini, toh ini juga merupakan awal dari penataan mutu pendidikan Indoneia yang sedang terpuruk, khususnya mutu tenaga pendidik.

Tawaran Langkah Konkrit Bagi Kebijakan Kesra
Kesejahteraan guru, sekali lkagi bukan persolan politis pemerintah tetapi merupakan persoalan kemanusiaan yang harus ditanggulkanggi secara arif. Sebab jikalau pemerintah terus melakukan perherlatan politis dengan berbagai alasan tentang aturan dan anggaran maka, ini akan berdampak pada krisis kemanusiaan dari pendidkian Indonesia dan akan merambat sampai pada penentuan mutu yang jelek dari pelaksaan tugas mereka sebagai pendidik. Beberapa pokok pikiran yang ditawarkan antara lain: Pertama, tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Lupakan idealisme pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan. Kedua, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi. Ketiga, pemerintah perlu melibatkan institusi pendidikan swasta. Pemerintah tampaknya tidak cukup gesit menjabarkan amanat UU Guru dan Dosen karena birokrasi. Harus dibuat kerangka kerja sama pemerintah-swasta.

KEHANCURAN UKAW !!!! SUDAH DIAMBANG PINTU. (Seri Seruan dari Gunung)

KEHANCURAN UKAW !!!! SUDAH DIAMBANG PINTU.
(Seri Seruan dari Gunung)

REFLEKSI 20 TAHUN LEBE UKAW
4 september 1968, Universitas Kristen Artha Wacana sah lahir dari dari rahim STT (SEKOLAH TINGGI TEOLOGI) Kupang. Kehadiran UKAW ini dipicu oleh dua hal utama yakni pertama, pergumulan gereja akan pendidikan masyarakat NTT yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena faktor ekonomi (orang NTT dibawah garis kemiskinan). Kedua, mendekatkan perguruan tinggi kemasyarakat NTT agar masyarakat yang miskin dapat menyekolahkan anaknya keperguruan tinggi. Dari kedua dasar piker ini maka GKS (gereja Kristen Sumba) dan GMIT (gereja masehi injili ditimor) bersepakat untuk membangun sebuah perguruan tinggi yang pada saat ini berdiri dengan nama Universitas Kristen Artha Wacana Kupang.
UKAW perlahan-lahan berkembang menjadi salah satu perguruan tinggi terbesar di NTT, dengan memiliki 6 fakultas dan 12 jurusan pada masing-masing fakultas. Dengan tenaga pendidik dan fasilitas yang hamper cukup memadai. Akan tetapi, sangat mengherankan karena sampai pada saat ini,(selama 20 tahun UKAW berdiri), UKAW tidak mampu membiayai diri sendiri dengan membuka usaha-usaha produktif yang dapat menghasilkan uang demi perkembangan UKAW kedepan. UKAW sama sekali tidak mandiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi sebagian kecil mahasiswa “dimanakah kemampuan orang-orang pintar yang berkumpul dalam lembaga ini”???. Kami malah berpikir jikalau sejak didirikannya UKAW, universitas ini membentuk sebuah media kampus untuk pengembangan ilmu pengetahuan mahasiswa dan dosen maka media ini sudah pasti dapat menolong Kampus untuk membiayai diri sendiri. Itu baru sebuah hal yang sangat kecil dan sederhana.

MASA-MASA SULIT
21 Mei 2008, pemerintah Indonesia dibawah rezim SBY-JK menaikan harga bahan baker minyak setinggi 28,7% dari harga sebelumnya Rp. 4.500. itu berarti harga bahan baker minyak meningkat sebanyak Rp. 1.250 menjadi Rp.6000 per liter pada saat ini. Kenaikan BBM ini membawa dampak krusial bagi masyarakat Indonesia di mana pada semua aspek kehidupan, kebutuhan urgen masyarakat meningkat pula. Bahkan membludak sampai tiga kali lipat dari harga semula. Hal ini sangat menyulitkan masyarakat terutama masyarakat miskin yang berada di NTT. Mata pencaharian orang NTT terbesar adalah di bidang pertanian lahan kering (mencapai 75% penduduk NTT). Penghasilan dari profesi sebagai petanipun cukup untuk kebutuhan makan-minum dalam sebulan, sedikit yang disevkan untuk kebutuhan pendidikan anak (Membeli buku, bolpoin, dan pakaian sekolah anak). Apalagi bagi mereka yang menyekolahkan anaknya hingga keperguruan tinggi!!, kesulitan yang mereka rasakan dalam membiayai perkuliahan anak sangat besar dan membuat mereka harus terus bekerja demi pendidikan anak mereka. Kesulitan ini sudah dirasakan sejak belum adanya kenaikan harga BBM. Bayangkan saja jika pada saat ini, semua harga barang meningkat dengan naiknya harga BBM!! Maka dapat kita temukan orang-orang miskin akan sulit untuk melanjutkan study pada saat ini; Sebagaimana syair lagu “sudah di lubang, merayap lagi; sudah miskin, melarat lagi”. Pujian ini yang dapat kita pikul sebagai symbol bahwa kita memang dalam masa-masa kehidupan yang sangat sulit.

MENUJU KEHANCURAN UKAW
17 juni 2008, rektor UKAW Ir. Gotlief Neonufa, M.T mengeluarkan surat edaran kenaikan biaya study bagi seluruh mahasiswa UKAW. Kenaikan ini dipicu oleh masalah klasik yakni kenaikan BBM. Kenaikan tersebut menyulitkan aktifitas kampus khusunya biaya opersional yang mengalami peningkatan Rp 12 Miliar dari jumlah pemasukan dasar 7 Miliar (biaya operasional mengalami devisit sebanyak Rp. 5 Miliar). Devisit anggaran tersebut mengakibatkan Gaji dosen, karyawan, para dekan bersama pembantu dekan, rector bersama pembantu rektor, yasasan dan stafnya tidak lagi sesuai dengan harga sembako, biaya pembelian kertas, tinta, transport, tidak lagi sesuai dengan kebutuhan maka Yayasan bersama Rektor dan pembantu-pembantu rektor mensiasati untuk menaikan biaya study seluruh mahasiswa tanpa terkecuali sebanyak 20–30% dari harga semula. Maka secara halus (Bagaikan Parfum Amerika), semua biaya sebanyak 5 Miliar ditanggungkan kepada mahasiswa artinya bahwa ”5 miliar untuk kesejahteraan Yayasan, Rektor, Pembantu rektor, Dekan, Pembantu dekan, Dosen, dan Karyawan/I semuanya dibayar oleh Mahasiswa”. Dengan demikian maka seluruh mahasiswa UKAW akan MAMPUS karena beban yang terlalu besar. Mahasiswa sangat diberatkan oleh biaya studi belum lagi biaya kehidupan mahasiswa sehari-hari yang mendapat perlakuan sama dengan para pejabat kampus akibat kenaikan BBM. Maka secara tidak sadar satu persatu mahasiswa yang tidak mampu membayar uang sekolah dan membiayai hidup sehari-hari akan putus kuliah alias guling tikar. Maka, ”dapat ditariik benang merah bahwa dasar pijak dari berdirinya kampus ini telah berubah menjadi kampus untuk anak-anak orang kaya alias elit, dan bukan untuk orang-orang miskin”. Sebuah pembalikan visi yang luhur.

UKAW !!!! BERBALIKLAH KEARAH YANG BENAR
Seruan ini yang patut diteriakan oleh mahasiswa kepada kampus ini, karena segala sesuatu yang berhubungan dengan kesejahteraan mahasiswa sangat tidak diperhatikan. pertama, kalender akademik perkuliahan, tidak pernah disesuaikan dengan waktu kuliah mahasiswa. Artinya bahwa dalam kalender akademik berbicara lain, faktanya berbicara lain. Tetapi hal itu tidak pernah dirubah oleh pihak universitas padahal sangat merugikan pihak mahasiswa. Kerugian tersebut adalah karena kalender akademik tersebut tidak berguna sama sekali bagi mahasiswa. Kedua, Kartu Mahasiswa, pada satu bagian terbelakang, ditempatkan jumlah registrasi persemester namun hal ini dari dulu hanya menjadi hiasan dalam kartu tersebut. Mengapa??? Karena orang yang berhak menaruh jumlah uang, dan menandatanganinya sibuk dengan urusan-urusan lain (urusan diluar kampus). Akibatnya hal sekecilpun diabaikan dan kartu mahasiswa tersebut pada beberapa instansi tidak layak untuk dipakai. Ketiga, Ruangan perkuliahan yang sangat-sangat tidak layak untuk proses belajar mengajar, terus dipertahankan sebagai bagian kemegahan dari UKAW saat menarik simpati mahasiswa baru, sedangkan pembayaran DPP (Dana Pengembangan Pendidikan) terus dilakukan dan bahkan mengalami kenaikan tiap angkatan. Sederhana saja, jika harga Rp. 1.000.000 (satu Juta rupiah) yang ditanggung mahasiswa untuk pembangunan kampus maka secara rasional dapat kita hitung bahwa satu orang saja untuk lempengan kaca nako, bisa untuk lima sampai enam kelas. Bayangkan saja jika tanggungan demikian besar dengan jumlah mahasiswa 6.000 orang tetapi, kampus tidak pernah berkembang, bahkan berubah sedikitpun. Maka pertanyaan sederhana mahasiswa adalah “dikemanakan uang-uang tersebut???”. Seruan untuk berbalik kearah yang benar yang dapat menggugah hati para pejabat kampus agar dapat melayani mahasiswa dengan baik, dan benar untuk satu tujuan “JAYALAH UKAW”.

K-BBM…......Kenaikan Bahan Bakar Minyak Sampai.................... Kuliah Benar-Benar Mahal...!!!

James Faot
K-BBM…......Kenaikan Bahan Bakar Minyak
Sampai....................
Kuliah Benar-Benar Mahal...!!!

Naik, naik dan takmau turun
“Kuliah Benar-Benar Mahal”. Simpulan ini, yang patut ditarik ketika mendengar dan mengetahui bahwa pihak Yayasan Cs Universitas Kristen Artha Wacana akan menetapkan kenaikan biaya perkuliahan bagi mahasiswa-nya.. Alasannya yakni “kenaikan BBM alias kenaikan Bahan Bakar Minyak”. Kita tau, bahwa kenaikan BBM membawa dampak kenaikan diberbagai sektor kehidupan masyarakat. Dari Sembako sampai biaya angkot dan dari kos sampai KAMPUS. Namun, soal kenaikan biaya perkuliahan yang harus ditanggungkan pada MAHASISWA perlu pertimbangkan secara objektif dan proporsional dengan “apa” sudah kampus lakukan sebagai kewajibannya pada mahasiswa. Kenaikan biaya perkuliahan menurut logika kenaikan BBM, seperti suatu trend kanaikan. Sehingga kampus pun ikut-ikutan menaikan biaya perkuliahan bagi mahasiswanya, yang sudah sekarat akibat harus menanggung kemahalan yang diakibatkan kenaikan BBM dan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, kini disambar/ditambahkan lagi dengan suatu beban baru di sektor pendidikan yakni kenaikan biaya kuliah. Fenomena ini, mengambarkan nasib mahasiswa bagaikan pepatah “sudah jatuh, ketimpa tangga.. besi lagi`...!”
Kenaikan seluruh biaya perkuliahan yang akan diberlakukan bagi mahasiswa sebasar 20% samapi 30%, yang meliputi:
1) Kenaikan biaya SKS untuk semua tingkat atau angkatan dipatok per SKS rata Rp. 5000. Katakanlah, angkatan tahun 2002/2003-2003/2004 dengan harga per SKS Rp. 15.000 naik menjadi Rp. 20.000 per SKS atau naik sekitar 33,3%; angkatan 2004/2005, harga per SKS Rp. 17.500 naik menjadi 22.500 per SKS atau 28,57%; angkatan 2005/2006, harga per SKS Rp. 20.000 naik menjadi Rp. 25.000 per SKS atau 25%; angkatan 2006/2007-2007/2008 harga per SKS Rp. 25.000 naik menjadi Rp. 30.000 per SKS atau 20%.
2) Kenaikan SPP untuk seluruh mahasiswa sebesar Rp. 50.000. Katakanlah, angkatan angakatan 2004/2005-2005/2006 harga SPP per semester Rp. 325.000 naik menjadi Rp. 375.000 per semester atau 15,39% atau angkatan 2006/2007-2007/2008 harga SPP per semester Rp. 400.000 naik menjadi Rp. 450.000 per semester atau 12,5%.
3) Kenaikan pos pembayaran mahasiswa yang lain seperti, pembayaran denda keterlambatan SPP, Pembayaran KRS/Kartu NRIM/NIM, uang UNC/KKN/Skripsi, uang Wisuda/Sewa Toga/Ijazah, uang PPL, IKAMA/Kalender Akademik/Kartu Mahasiswa, uang Tas MKU & Fakultas, uang penggunaan laboratorium (selama ini tidak maksimal dimanfaatkan oleh mahasiswa, namun terus saja dipunggut), mungkin juga Kartu Perpustakaan dan dendanya yang terlalu besar, (padahal buku-bukunya sudah ketinggalan akibat terlalu tua dan tidak up to date).
Kontras fakta pelayanan kampus
Ironisnnya, rencana kebijakan Yayasan Cs Unversitas tidak mempertimbangkan kemaksimalan layanan pendidikan pada mahasiswa. Faktannya; pertama, perkuliahan selama ini berjalan secara tidak konsisten dengan kalender akademik yang dikeluarkan yayasan. Yang konsisten cuma waktu pembayaran registrasi dan dendannya. Ini sungguh-sungguh merugikan mahasiswa. Kedua, sarana belajar yang tidak layak bagi penyelenggaraan pembelajaran. Kaca-kaca jendela yang bolong-bolong, kelas yang berantakan & kotor, kursi dan meja yang tidak nyaman, halaman kampus yang tidak terurus, laboraturium yang di bawah standar kelayakan dan hampir sama sekali tidak di pergunakan oleh mahasiswa, sementara itu pungutannya lancar-lancar saja (lab. Computer, lab. Bahasa Inggris, lab. Biologi yang masih dalam bayangan. Kini Biologi cuma ngandeng sama Perikanan. Tapi tidak dipergunakan juga sampai-sampai mahasiswa harus membedah ikan di kelas), rungan dan fasilitas registrasi yang terbatas, sampai-sampai mahasiswa harus antri panjang kayak rel kereta api atau kerumunan massa di pasar atau juga teng kedukaan (soalnnya ada terpal orange di depan loket regis), dll. ketiga, kekurangan/amat sangat kurangnya tenaga dosen di beberapa fakultas dan progdi (contohnya Progdi Biologi) , tatap muka dosen yang tidak jelas. Banyak dosen yang lalai dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Juga banyak dosen kualitasnya pas-pasan.
Masih banyak persoalan lain yang kalau mau dipikir secara logis, rencana kebijakan Yayasan Cs Universitas untuk kenaikan ini, dengan alasan devisit anggaran atau karena dampak kenaikan BBM, sekali lagi...tidak tepat dan oleh karena itu tidak bijaksana kerena keputusan ini justru bukan kebijakan, sebab hakekat kebijakan adalah untuk mendatangkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh civitas akademik bahkan masyarakat secara luas.
Walaupun, kenaikan ini dijanjikan akan diberikan kompensasi-kompensasi sebagaimana yang diminta oleh beberapa fakultas, namun, itu tidak menjamin bahwa setelah dinaikan Yayasan Cs Universitas akan melaksanakan itu. Prosesnya bisa panjang dan tak tentu. Jadi, teman-teman mahasiswa jangan terbawa dengan rekayasa persetujuan bahwa kita lagi devisit karena dampak kenaikan BBM. Dan harus buru-buru menaikan biaya perkuliahan dan sasarannya mahasiswa-mahasiswa yang harus selalu memanggung kesialan serta derita dari keputusan-keputusan yang logikannya melulu ekonomis, bukan moral dan keadilan dan solider. Inilah yang disebut ”bentuk halus dari praktek-praktek kapitalisasi pendidikan kampus”...sebuah ekspolitasi tanpa wujud namun nyata, tanpa aroma namun busuk, irasional namun dianggap rasional dan tidak bijaksana tetapi dibilang kebijakan..
Akhir diskursus ini, hanya diinggat saja pada teman-teman MAHASISWA bahwa, “jika kita secara sadar atau pun tidak sadar, baik ngarti atau tidak, setuju atau malah mencaci pandangan ini, sanggup atau tidak sanggup, berani atau penakut MEMBIARKAN KENAIKAN BIAYA PERKULIAHAN, maka hanya ada satu ucapan bagi kita............................SELAMAT MENDERITA......!!!!!”
Mahasiswa Tolak Kenaikan Biaya Perkuliahan....!!!


K-BBM…......Kenaikan Bahan Bakar Minyak
Sampai....................
Kuliah Benar-Benar Mahal...!!!

Naik, naik dan takmau turun
“Kuliah Benar-Benar Mahal”. Simpulan ini, yang patut ditarik ketika mendengar dan mengetahui bahwa pihak Yayasan Cs Universitas Kristen Artha Wacana akan menetapkan kenaikan biaya perkuliahan bagi mahasiswa-nya.. Alasannya yakni “kenaikan BBM alias kenaikan Bahan Bakar Minyak”. Kita tau, bahwa kenaikan BBM membawa dampak kenaikan diberbagai sektor kehidupan masyarakat. Dari Sembako sampai biaya angkot dan dari kos sampai KAMPUS. Namun, soal kenaikan biaya perkuliahan yang harus ditanggungkan pada MAHASISWA perlu pertimbangkan secara objektif dan proporsional dengan “apa” sudah kampus lakukan sebagai kewajibannya pada mahasiswa. Kenaikan biaya perkuliahan menurut logika kenaikan BBM, seperti suatu trend kanaikan. Sehingga kampus pun ikut-ikutan menaikan biaya perkuliahan bagi mahasiswanya, yang sudah sekarat akibat harus menanggung kemahalan yang diakibatkan kenaikan BBM dan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, kini disambar/ditambahkan lagi dengan suatu beban baru di sektor pendidikan yakni kenaikan biaya kuliah. Fenomena ini, mengambarkan nasib mahasiswa bagaikan pepatah “sudah jatuh, ketimpa tangga.. besi lagi`...!”
Kenaikan seluruh biaya perkuliahan yang akan diberlakukan bagi mahasiswa sebasar 20% samapi 30%, yang meliputi:
1) Kenaikan biaya SKS untuk semua tingkat atau angkatan dipatok per SKS rata Rp. 5000. Katakanlah, angkatan tahun 2002/2003-2003/2004 dengan harga per SKS Rp. 15.000 naik menjadi Rp. 20.000 per SKS atau naik sekitar 33,3%; angkatan 2004/2005, harga per SKS Rp. 17.500 naik menjadi 22.500 per SKS atau 28,57%; angkatan 2005/2006, harga per SKS Rp. 20.000 naik menjadi Rp. 25.000 per SKS atau 25%; angkatan 2006/2007-2007/2008 harga per SKS Rp. 25.000 naik menjadi Rp. 30.000 per SKS atau 20%.
2) Kenaikan SPP untuk seluruh mahasiswa sebesar Rp. 50.000. Katakanlah, angkatan angakatan 2004/2005-2005/2006 harga SPP per semester Rp. 325.000 naik menjadi Rp. 375.000 per semester atau 15,39% atau angkatan 2006/2007-2007/2008 harga SPP per semester Rp. 400.000 naik menjadi Rp. 450.000 per semester atau 12,5%.
3) Kenaikan pos pembayaran mahasiswa yang lain seperti, pembayaran denda keterlambatan SPP, Pembayaran KRS/Kartu NRIM/NIM, uang UNC/KKN/Skripsi, uang Wisuda/Sewa Toga/Ijazah, uang PPL, IKAMA/Kalender Akademik/Kartu Mahasiswa, uang Tas MKU & Fakultas, uang penggunaan laboratorium (selama ini tidak maksimal dimanfaatkan oleh mahasiswa, namun terus saja dipunggut), mungkin juga Kartu Perpustakaan dan dendanya yang terlalu besar, (padahal buku-bukunya sudah ketinggalan akibat terlalu tua dan tidak up to date).
Kontras fakta pelayanan kampus
Ironisnnya, rencana kebijakan Yayasan Cs Unversitas tidak mempertimbangkan kemaksimalan layanan pendidikan pada mahasiswa. Faktannya; pertama, perkuliahan selama ini berjalan secara tidak konsisten dengan kalender akademik yang dikeluarkan yayasan. Yang konsisten cuma waktu pembayaran registrasi dan dendannya. Ini sungguh-sungguh merugikan mahasiswa. Kedua, sarana belajar yang tidak layak bagi penyelenggaraan pembelajaran. Kaca-kaca jendela yang bolong-bolong, kelas yang berantakan & kotor, kursi dan meja yang tidak nyaman, halaman kampus yang tidak terurus, laboraturium yang di bawah standar kelayakan dan hampir sama sekali tidak di pergunakan oleh mahasiswa, sementara itu pungutannya lancar-lancar saja (lab. Computer, lab. Bahasa Inggris, lab. Biologi yang masih dalam bayangan. Kini Biologi cuma ngandeng sama Perikanan. Tapi tidak dipergunakan juga sampai-sampai mahasiswa harus membedah ikan di kelas), rungan dan fasilitas registrasi yang terbatas, sampai-sampai mahasiswa harus antri panjang kayak rel kereta api atau kerumunan massa di pasar atau juga teng kedukaan (soalnnya ada terpal orange di depan loket regis), dll. ketiga, kekurangan/amat sangat kurangnya tenaga dosen di beberapa fakultas dan progdi (contohnya Progdi Biologi) , tatap muka dosen yang tidak jelas. Banyak dosen yang lalai dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Juga banyak dosen kualitasnya pas-pasan.
Masih banyak persoalan lain yang kalau mau dipikir secara logis, rencana kebijakan Yayasan Cs Universitas untuk kenaikan ini, dengan alasan devisit anggaran atau karena dampak kenaikan BBM, sekali lagi...tidak tepat dan oleh karena itu tidak bijaksana kerena keputusan ini justru bukan kebijakan, sebab hakekat kebijakan adalah untuk mendatangkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh civitas akademik bahkan masyarakat secara luas.
Walaupun, kenaikan ini dijanjikan akan diberikan kompensasi-kompensasi sebagaimana yang diminta oleh beberapa fakultas, namun, itu tidak menjamin bahwa setelah dinaikan Yayasan Cs Universitas akan melaksanakan itu. Prosesnya bisa panjang dan tak tentu. Jadi, teman-teman mahasiswa jangan terbawa dengan rekayasa persetujuan bahwa kita lagi devisit karena dampak kenaikan BBM. Dan harus buru-buru menaikan biaya perkuliahan dan sasarannya mahasiswa-mahasiswa yang harus selalu memanggung kesialan serta derita dari keputusan-keputusan yang logikannya melulu ekonomis, bukan moral dan keadilan dan solider. Inilah yang disebut ”bentuk halus dari praktek-praktek kapitalisasi pendidikan kampus”...sebuah ekspolitasi tanpa wujud namun nyata, tanpa aroma namun busuk, irasional namun dianggap rasional dan tidak bijaksana tetapi dibilang kebijakan..
Akhir diskursus ini, hanya diinggat saja pada teman-teman MAHASISWA bahwa, “jika kita secara sadar atau pun tidak sadar, baik ngarti atau tidak, setuju atau malah mencaci pandangan ini, sanggup atau tidak sanggup, berani atau penakut MEMBIARKAN KENAIKAN BIAYA PERKULIAHAN, maka hanya ada satu ucapan bagi kita............................SELAMAT MENDERITA......!!!!!”
Mahasiswa Tolak Kenaikan Biaya Perkuliahan....!!!

HARI PENDIDIKAN NASIONAL (HARDIKNAS)

SUKARELAWAN PEJUANG UNTUK PEMBEBASAN TANAH ARI
(STARTAN)
(LMND; GERSAK; SRMI; GEMA; UNWIRA; UNDANA; UNKRIS)

HARI PENDIDIKAN NASIONAL (HARDIKNAS)

PADA 2 Mei nanti, 64 tahun sudah Negeri ini bebas dari jeratan penjajah (kolonialisme) dan mengikrarkan kata MERDEKA yang bergema seantero Nusantara. Ironisnya sampai hari ini bangsa ini belum mampu menegakkan kejayaan Negeri dan kemakmuran rakyatnya. Negara masih berdiri angkuh tak mempedulikan nasib rakyatnya, dengan keangkuhannya pejabat pemerintah sudah tidak mengedepankan program-program yang merakyat karena berpegang teguh pada “WAHYU” Neoliberalisme.

Demikian pula pada 2 Mei nanti, Dunia Pendidikan Nasional telah berusia 64 tahun. Ironisnya, amanah UUD 1945 yang merupakan mainstream penyelenggaraan pendidikan Nasiaonal yakni “Mencerdasakan Kehidupan Bangsa”, justu didistorsi oleh kekuatan kapitalisme dengan ideologi neoloberalismenya. Implementasi neoliberalisme dalam dunia pendidikan “memanfaatkan” pemerintah, parpol, lembaga pemikir (think thank), cendikiawan dan modal kapital lokal untuk membentuk sikap kolektif rakyat guna menerima resep pembagunan SDM dan SDA demi penyejahteraan bangsa dan daya kompetitif bangsa pada era global. Namun hakekatnya menjerat, eksploitatif dan hegemonik. Implikasinya bagi dunia Pendidikan kita ialah “sekulerisme, materialisme, pragmatisme pendidikan”. Inilah esensi pendidikan bangsa ini dalam cengkraman kapitalisme global.

Pendidikan kehilangan makna filosofisnya sebagai upaya pemanusiaan manusia. Artinya, pendidikan bukan lagi barlangsung sebagai upaya pembebasan manusia dari multi ketertindasan, yang membuatnya hidup secara tidak manusiawi, malainkan pendidikan justru menjadi alat yang efektif dan efisien untuk dipakai sebagai alat penindas manusia (rakyat). Nilai pendidikan kemudian berubah menjadi komoditi yang diperjual-belikan demi memperoleh keuntugan material. Pemikiran ini mengaskan bahwa semangat pendididkan neoliberal yang dijalankan oleh pemerintah ialah semangat mendehumanisasi rakyatnya sendiri atau semagat untuk mereduksi harkat dan martabat bangsanya sendiri. Suatu semangat pendidikan perbudakan dan semangat pendidikan untuk penghancuran bangsa.

Terkait dengan kebijakan publik yakni masalah anggaran pendidikan, realisasi anggaran hanya 8,3 persen (2003) dan 9,1 persen (2006), oleh karena itu anggaran pendidikan nasional kita merupakan yang terendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di lingkup geografis Asia Tenggara. Bila dibandingkan dengan Malaysia yang 25,5 persen, Thailand 24,2 persen, Filipina 16,2 Kamboja 18,3 persen, Timor Leste 24,2 persen. Kebijakan untuk menaikkan anggaran pendidikan secara bertahap menuai kritik dari masyarakat luas. Hal ini dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi negara. Terutama karena Indonesia telah meratifisikasi Ecocos (Dewan Ekonomi dan Sosial di Bawah PBB), yang antara lain menyebutkan perlunya pendidikan gratis. Tidak kurang Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) melakukan uji material UU No.13 tahun 2005 tentang APBN 2006 kepada Mahkamah Konstitusi. UU menyatakan bahwa anggaran pendidikan nasional untuk tahun 2006 sebesar 9,1 persen atau setara dengan sekitar 36,7 Trilyun. Walaupun jumlah ini meningkat, baik secara persentase maupun nominal, tetap saja belum memenuhi amanat konstitusi.

Pada amandemen UUD 1945 yang terbaru, secara gamblang ditegaskan pada bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (Pasal 31 ayat (4)). Namun masalahnya, hingga saat ini nominal anggaran pendidikan di APBN 2006 belum mencapai angka yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pemerintah menyatakan bahwa mereka tetap memiliki komitmen untuk meningkatkan dana pendidikan seperti yang diamanatkan, namun hal ini dilakukan secara bertahap. Anggaran tahun 2005 sebesar 9,3 persen, kemudian dinaikkan 12 persen pada 2006, 14,7 persen pada 2007, 17,4 persen pada 2008 dan 20,1 persen pada 2009.

Wajah Buruk kebijakan anggaran Pendidikan Indonesia yang ninim memiliki akar permasalahan yang signifikan dalam konstelasi politik konomi pendidikan global. Dunia pendidikan Indonesia terjerat dengan Utang Luar Negeri Indonesia (30-40% dari APBN) sehingga mendorong pemerintah untuk terus meminjam dan memprivatisasi pendidikan.

”Dari hari kehari kehidupan rakyat kecil semakin tergusur dengan sistem yang menjerat sampai ke urat nadinya, yakni imperialisme. Sistem yang diagung-agungkan oleh pemimpin Bangsa kita hari ini. Kemakmuran yang diagung-agungkan, justru pengangguran yang dilahirkan dan Kesejahteraan yang digemakan, justru Kemiskinan massal yang terjadi. Bagaimana bisa, Bangsa yang subur dan kaya-raya seperti Indonesia ini bisa “ber-nasib” seperti itu???

Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses dalam memanusiakan manusia dan memajukan peradaban suatu bangsa serta mencerdaskan kehidupan berbangsa seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu pendidikan merupakan media untuk menanamkan nilai-niai, moral dan ajaran agama, alat pembentuk kesadaran bangsa, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi serta media untuk menguak rahasia alam raya da manusia.Akan tetapi keberadaan pendidikan hari ini malah menjadikan manusia tidak manusiawi bahkan proses pembodohan secara struktural yang terjadi.

Sudah jelas kiranya yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 31, ayat 1 bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Yang artinya, setiap anak bangsa mempunyai hak yang sama tanpa harus membedakan si kaya atau si miskin, suku, ras dan agama untuk mengenyam pendidikan pada jenjang apapun mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan dimanapun. Lain dengan kenyataanya, bahwa pendidikan hari ini bukanlah hak setiap anak bangsa karena pendidikan telah menjadi suatu barang mewah yang sulit untuk diraih bagi rakyat, terutama rakyat kecil. Di hadapan lembaga pendidikan yakni sekolahan, rakyat kecil (miskin) hampir tidak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Biaya mahal adalah salah satu penghalangnya.

Merujuk pada UUD Bab XIII pasal 31 ayat 2, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Masuknya globalisasi keranah negara kita, membuat pendidikan menjadi barang dagangan yang cukup prospektif dan mempunyai nilai jual tinggi. Di perdagangkannya pendidikan merupakan kemunduran dunia pendidikan kita. Pendidikan kita telah kembali ke zaman penjajahan, dimana hanya orang yang berduit saja yang bisa mengenyam pendidikan, terutama pendidikan jenjang yang lebih tinggi. Selain itu orang yang berduit banyak bisa memperoleh pendidikan yang berkualitas, sedangkan yang berduit pas-pasan akan mendapat pendidikan yang mempunyai kualitas sedang pula. Secara tidak langsung hal ini telah menimbulkan diskriminasi bagi anak bangsa dalam memperoleh kesempatan untuk mengakses pendidikan atau bersekolah.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi suatu negara, maka dari itu negara harus menciptakan sistem pendidikan yang demokratis, terjangkau dan berkualitas dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Pertama: demokratis, kurikulum pendidian yang tidak hanya mengedepankan siswa didik hanya mampu membaca dan menulis saja. Akan tetapi mengajarkan siswa untuk berbicara. Belum tentu siswa yang pandai mampu berbicara di depan umum secara baik, maka dari itu menjadi tugas negara untuk menciptakan generasi bangsa yang tangguh dalam bidangnya, serta kritis terhadap sekitarnya. Kedua: terjangkau, dengan ditetapkannya subsidi 20% dari APBN untuk pendidikan nasional, seharusnya subsidi ini tidak menimbulkan diskriminasi pendidikan. Di lain sisi, pemerintah menerapkan UU Badan Hukum Pendidikan untuk perguruan tinggi yang mengakibatkan biaya kuliah menjadi semakin tak terjangkau, dengan kata lain generasi bangsa HANYA di siapkan lulus Sekolah Menengah saja. Ketiga: berkualitas, dalam menyiapkan generasi yang tangguh untuk meneruskan tongkat estafet perjalanan negara ini, haruslah dengan sistem pendidikan yang tidak ketinggalan zaman. Artinya kurikulum yang berkualitas dalam segi teori dan praktek.
Keempat: Pada akhirnya pendidikan seyogyanya tidak hanya dimaknai suatu usaha untuk mengentaskan rakyat dari buta huruf dan kebodohan saja, akan tetapi menjadi suatu wadah atau alat yang tepat dan penting untuk menyiapkan amunisi-amunisi penerus bangsa yang tangguh dan handal, yang nantinya ditangan generasi inilah negara kita mau dibawa kemana.

Quo Vadis Pendidikan Indonesia

james Faot
Quo Vadis Pendidikan Indonesia
Bangsa Indonesia telah memasuki usia KEMERDEKAAN yang ke-64 tahun. Ironisnya, mayoritas rakyat masih hidup dalam kondisi yang kontradiktif dari suatu bangsa yang MERDEKA. Fenomena problematik riil dari rakyat seperti kebodohan, kemiskinan, kesehatan, pengganguran, dll. masih merupakan potret buram seperti era KOLONIALISME. Ini berarti, kemerdekaan kita hanyalah era metamormosa penjajahan dengan wajah baru yakni NEOLIBERALISME. Bertepatan dengan momentum Hari Pekerja atau May Dai (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional atau HARDIKNAS (2 Mei), patutlah kita sebagai kaum yang progresif yang memperjuangkan perubahan fundamental tatanan bangsa dan nasib rakyat yang berada di bawah hegemoni kapitalisme. Berefleksi secara kritis untuk menetukan langkah strategis sebagai agenda perjuangan rakyat, dimana rakyat menjadi subjek penentu perubahan dan pelaksana perubahan itu sendiri. Sebab, hanya rakyat yang telah mengalami kesadaran tranformatid sekaligus memiliki tindakan revolusionerlah yang dapat merealisasikan perubahan kondisi bangsa secara hakiki. Permasalahan Kaum Buruh
Momentum May Day sebagai peringatan (commemorates) atas sebuah perjuagan kelas pekerja terhadap eksploitasi kapitalisme, merupakan hal yang urgen dan relevan serta memiliki arti yang signifikan guna memperkuat posisi tawar (bergaining position) kelas pekerja yang sampai saat ini masih tereksploitasi oleh kekuatan kapitalisme, baik global global dan nasional. Krisis kapitalisme ini secara panjang & terstruktur, karena merupakan kombinasi dari krisis besar financial (great financial crisis) & stagnasi ekonomi, krisis ekologi, dan krisis ideologi neoliberal. Dampak krisis bagi sektor pekerja di Indonesiaialah jutaan orang bakal kehilangan pekerjaan tahun ini. Berhadapan dengan krisis ini, para kapitalis akan berupaya menjaga profitabilitas dengan menekan upah dan komponen yang berhubungan dengan pengeluaran untuk pekerja. Ironisnya, pemerpintah berkonspirasi dgn pengusaha u/ tidak jatuh tingkat keuntungannya dengan memaksakan pemberlakuan SKB 4 menteri. Bagi pengusaha, kebijakan ini bermanfaat untuk menahan laju kenaikan upah pekerja. Perjalanan krisis (sejak september 2008) kaum pekerja bertada dalam kondisi kesulitan; (1), ancaman PHK massal. Prediksi jumlah PHK mencapai 2-3 jutaan pekerja (Apindo daera: sampai Maret sudah ada 240.000 orang yang kena PHK. (2), pekerja mengalami tekanan drastis pada upah dan jaminan sosial. Kenaikan UMR tahun 2009 tidak melebih 10%, padahal kenaikan harga kebutuhan pokok lebih tinggi dari angka tersebut. (3), neoliberalisme sungguh menjatuhkan standar hidup rakyat Indonesia, termasuk kelas pekerja. Penelitian Roy Morgan Research, 59% penduduk Indonesia yang harus menghabiskan 20-30% anggaran bulannya hanya untuk membeli bahan makanan. Permasalahan Pendidikan Nasional
Pada 2 Mei nanti, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Dimana, Dunia Pendidikan Nasional telah berusia 64 tahun. Ironisnya, amanah UUD 1945 yang merupakan mainstream penyelenggaraan pendidikan Nasional yakni “Mencerdasakan Kehidupan Bangsa”, justu didistorsi oleh kekuatan kapitalisme dengan ideologi neoloberalismenya yang menjerat, eksploitatif dan hegemonik. Implikasinya bagi dunia Pendidikan kita ialah “sekulerisme, materialisme, pragmatisme pendidikan”. Terkait dengan kebijakan publik yakni masalah anggaran pendidikan, realisasi anggaran hanya 8,3 persen (2003) dan 9,1 persen (2006), oleh karena itu anggaran pendidikan nasional kita merupakan yang terendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di lingkup geografis Asia Tenggara. Bila dibandingkan dengan Malaysia yang 25,5 persen, Thailand 24,2 persen, Filipina 16,2 Kamboja 18,3 persen, Timor Leste 24,2 persen. Kebijakan untuk menaikkan anggaran pendidikan secara bertahap menuai kritik dari masyarakat luas. Hal ini dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi negara. Terutama karena Indonesia telah meratifisikasi Ecocos (Dewan Ekonomi dan Sosial di Bawah PBB), yang antara lain menyebutkan perlunya pendidikan gratis. Wajah Buruk kebijakan anggaran Pendidikan Indonesia yang ninim memiliki akar permasalahan yang signifikan dalam konstelasi politik ekonomi pendidikan global. Dunia pendidikan Indonesia terjerat dengan Utang Luar Negeri Indonesia (30-40% dari APBN) sehingga mendorong pemerintah untuk terus meminjam dan memprivatisasi pendidikan. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa pemerintah Indonesia, dengan mengikuti saran Bank Dunia (Word Bank) telah menandatangini kontrak kerja sama pendidikan dengan UNESCO dan Bank Dunia (Word Bank). Misi liberalisasi atau privatisasi dunia pendidikan di Indonesia telah dipersiapkan sejak lama. Salah satu agenda liberalisasi dunia pendidikan Indonesia telah dibahas di Perancis dalam pertemuan GATS di Perncis pada tahun 1998. Pada tahun itu pula (1998) Presiden Habibi menandatangani Surat Perjanjian Hutang atau Leters of intens (LOI) dengan IMF International Moneyter Found (IMF) isi salah satu point (point ke-4) yakni meliberalisasi dunia pendidikan nasional. Agenda liberalisasi pendidikan nasional terus berjalan secara bertahap di Indobnesia. Pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan UU Badan hukum Milik Negara (BHMN). Inviltasi ideologi neoliberal dalam kebijakan pendidikan Indonesia memiliki implikasi langsung dengan interes kapitalisme global. Liberalisasi dunia pendidikan mengaharuskan pemerintah melepas tanggung jawab dari penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya pendidikan diserahkan pada swasta untuk mengelolanya selayaknya mereka menjalankan manajemen perusahaan berorentasi provit. Pendidikan kemudian direduksi menjadi sebatas komoditi yang bebas diperjual-belikan kepada rakyat. Ciri utama lain pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Kurikulum berorentasi pasar atau dunia produksi. Pertanyaannya ialah “Benarkah Pendidikan Berkualitas Mahal?” Jerman, Perancis, Belanda, Swedia, Kuba dan beberapa negara berkembang lainnya, banyak PT bermutu namun biaya pendidikannya rendah bahkan gratis. Sudah jelas kiranya yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 31, ayat 1 bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Yang artinya, setiap anak bangsa mempunyai hak yang sama tanpa harus membedakan si kaya atau si miskin, suku, ras dan agama untuk mengenyam pendidikan pada jenjang apapun mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan dimanapun. Lain dengan kenyataanya, bahwa pendidikan hari ini bukanlah hak setiap anak bangsa karena pendidikan telah menjadi suatu barang mewah yang sulit untuk diraih bagi rakyat, terutama rakyat kecil. Di hadapan lembaga pendidikan yakni sekolahan, rakyat kecil (miskin) hampir tidak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Biaya mahal adalah salah satu penghalangnya.
Merujuk pada UUD Bab XIII pasal 31 ayat 2, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya dengan demikian wajib bagi pemerintah Indonesia untuk mentaati hukum. Atau dengan kata lain, pemerintah harus mencadi teladan pertama dalam hal kepatuhan hukum. Amandemen UUD 1945 yang disahkan 2002, merupakan hukum tertinggi negara, seharusnya menjadi patokan. Anggaran menjadi bukti komitmen pemerintah. Ini menjadi kredit tersendiri bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan di mata rakyat. Ada dua alasan kontekstual mengapa faktor anggaran menjadi penting bagi dunia pendidikan Indonesia. Pertama, keterpurukan pendidikan Indonesia sudah pada taraf mengkhawatirkan. Contoh, pendidikan dasar (universal education) yang menjadi moral obligation setiap pemerintahan, belum juga tuntas meski Indonesia telah 64 tahun merdeka. berdasarkan data pada tahun 2005, masih ada satu juta anak usia SD belum mempunyai sekolah maupun guru tetap, dan 2,7 juta anak usia SMP yang sama sekali tidak mempunyai sekolah atau guru. Dengan dana yang besar, sekolah-sekolah yang rusak saat ini di seluruh Indonesia dapat diperbaiki serta dapat dipenuhi kebutuhan fasilitas dasarnya seperti laboratorium praktik dan Laboratorium bahasa. Dengan anggaran yang lebih besar pula, pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan gratis. Dengan pendidikan gratis—yang disubsidi pemerintah—kita dapat menyelamatkan jutaan anak-anak negeri yang terancam putus sekolah.
Baca & Lawan

SOSIALISME : HARAPAN LAHIRNYA MASYARAKAT EGALITARIAN SOSIALISME ABAD 21 (Jalan Alternatif Atas Neolibarisasi)

SOSIALISME :
HARAPAN LAHIRNYA MASYARAKAT EGALITARIAN

SOSIALISME ABAD 21
(Jalan Alternatif Atas Neolibarisasi)
James Faot

I. Pengantar
Buku Sosialisme Abad 21 karya Michael Newman, menawarkan jalan alternatife bagi perjuangan kaum sosialis terhadap hegemoni kapitalis yang telah di tancapkan di atas dunia dan masyarakat global. Melalui ideologinya Neoliberalisas, kekuasaan kapitalis semakin kokoh. Namun Sosialisme pun tidak mati, sebab sosialisme sesuangguhnya tidak tunggal (plural) dan memang abadi—Sosialism never die. Buku ini di terbitkan oleh Resist Book [Seri Ideologi] yang diterjemahkan oleh Eko Prasetyo Darmawan serta editoring oleh Dian Purwadi. Isi buku ini setebal 294 halaman.
Dalam Seri Ideologi, buku Sosialisme Abad 21, Newman menguak pemahaman yang lebih kritis atas ideolog-ideologi dunia, baik tentang kelaliman kuasa yang diciptakannya (baca: Ideologi) maupun kekuatan-kekuatan perubahan (The Powers Transformation) yang didemonstrasikan. Perhelatan Ideologis dalam diskursus kekuasaan baik itu Sosialisme serta Neoliberalisme merupakan sebuah perang yang takkan pernah usai baik saat ini maupun di masa depan.
Dalam diskursus kekuasaan, suara kelompok besar dominan dan suara dogmatis yang meliputi “reputasi sejarah” ideologi-ideologi tersebut, Newman mengamati kembali, menganalisis, melakukan komparasi. Sehingga menawarkan pemikiran sosialis yang kritis dan relevan dengan kondisi masyarakat abad 21.
Pikiran dan praktek tokoh-tokoh gerakan sosialis dan komunis melawan Neoliberalisme dapat kita temukan diantaranya seperti tokoh-tokoh peletak doktrin sosislaisme dalam periode awal abad 19. Mereka merupakan tokoh yang mewariskan tradisi serta memberi kontribusi yang signifikan dalam membangun sosialisme. Kaum Sosialis Utopia seperti Cabet (1788-1856), Charles Fourier (1772-1837), Robert Owen (1771-1858); kaum sosialis anarkis seperti Pierre Joseph Proudhon (1809-1865) dan Mikhail Bakunin (1814-1876); Kolaborasi Marx (1818-1883) dan Engels (1820-1895) adalah tokoh paling penting sekaligus pencetus Marxisme; tokoh dari kaum sosialis demokrasi Karl Kautsky (1854-1938) dan Rosa Luxemburg (1871-1919). Dan yang terakhir kaum Komunis modern seperti Vladimir Lenin (1870-1924). Namun tokoh-tokoh gerakan sosialis yang paling dominan adalah yang berasala dari kaum sosialis demokt serta komunis.
Pemikiran dan praktek tokoh-tokoh Sosial Demokrasi Swedia (Social Demokratika Arbetarpartein_SAP) seperti Hjalamar Branting, Per Albin Hanson yang menjadi perdana menteri SAP yang pertama pada tahun 1932. yang dari padanya pemahaman ‘Kunci’ tentang Sosialis Demokrasi Swedia diutarakan yaitu folkhemmet, atau “konsepsi masyarakat dan negara sebagai ‘rumah masyarakat` (people`s home)”. Juga Komunisme Kuba seperti Fidel Castro (1927-) dan Ernesto ‘Che’ Guevara (1928-1967) yang mendorong penduduk untuk bekerja lebih kepada insentif moral dari pada insentif material dalam tahap awal pembagunan ekonomi sosialis.
Newman, juga mengemukakan pemikiran dan praktik tokoh-tokoh Kiri Baru (New Left) seperti Sosialisme Feminis dan Sosialisme Hijau . Tokoh Sisoalisme Feminis yang terkenal adalah Alexandra Kolontai (1872-1952) dan Simone de Beauvoir (1908-1986). Dari Sosialisme Hijau, tokohnya yang terkenal adalah A.J. Penty (1875-1937), yang memperkenalkan istilah “masyarakat post-industri” dan Rudolf Bahro (1935-) serta Andre Dobson yang terkenal dengan istilahnya ekologilisme yang berati sebuah kehidupan yang berkelanjutan dan makmur mensyaratkan adanya perubahan radikal dalam relasi kita (baca: manusia) dengan dunia alam yang non-manusia dan dalam modus kehidupan sosial dan politik kita.
Teori dan praksis tokoh-tokoh sosialisme inilah yang kemudian dikritisi Newman. Ia memberikan alternatif-alternatif paradigmatik yang fundamen bagi posisi strategis dan taktis sosialisme untuk melawan hegemoni neoliberasasi yang menindas masyarakat global secara terstruktur dan sistimatis. Serta membawa arah perjuangan itu pada tujuan akhir (ultimate goals) dan esensial yakni menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian (sederajat) diatas landasan nilai kerja sama dan solidaritas.

II. Gerbang Buku
Michael Newman_ Buku Sosialisme Abad 21 (Jalan Alternatif Atas Neiliberalisasi), memaparkan sebuah fakta anti-tesia atas ramalan (tesis) ‘nabi’ sosialis yakni Karl Marx. Dalam buku Das Kapital yang dikeluarkan pada tahun 1867, Marx meramalkan bahwa kapitalisme akan runtuh dan digantikan oleh sosialisme. Inilah deklarasi monumental kematian kapitalisme, dan Marx menuliskan bahwa: Ketika kapitalisme akan hancur berkeping-keping, dan saat itu: “LONCENG KEMATIAN HAK MILIK PRIBADI KAPITALIS BERDENTANG. PARA PENJARAH AKAN DIJARAH”. Dan ternyata bahwa ramalan ini berubah 180 derajat. Lebih dari seratus tahun ramalan itu dinantikan oleh pengikut-pengikut sosialis ternyata harus diperhadapkan dengan runtuhnya Blok Soviet antara tahun 1989 dan tahun 1991. Saat itu kapitalisme kembali menancapkan kekusaanya dengan spirit neoliberalisasi.
Perang dingin kedua kekuatan idealogi ini, melahirkan anggapan bahwa keyakinan para kelompok lawan sosialisme kini bagai sebuah situs idealogi dalam sejarah dunia. Bagi Newman anggapan dan keyakinan ini hanya merupakan sebuah pandangan subjektif lawan-lawan sosialisme yang diwacanakan secara global dalam masyarakat dunia. Dan inilah yang dijadikan Klimaks dan konklusi tamatnya sosialisme, yangkemudian dipakai Newnan dalam buku Sosialisme Abad 21 (Jalan Alternatif Atas Noliberalisasi) untuk menarik sebuah anti-tesis berupa rumusan hipotesis bahkan keyakinan yang niscaya yakni: “Proses perjalanan sosialisme menujukan bahwa ia (sosialisme) betapa terus relevan, baik masa kini dan masa depan”.

III. Pendekatan dan Sifat Sosialisme
Newman mengajukan pertanyaan “Apa itu Sosialisme?”. Argumentasi Newman sebagai jawaban atas pertanyaan di atas dijelaskannya melalai pengidentifikasian sifat-sifat sosialisme. Secara umum sosialisme bersifat sentrlaitik maupun lokal, terorganisir dari atas sekaligus terbagun dari bawah, visioner sekalugus pragmatis, revolusioner sekaligus reformis, anti negara sekaligus berpaham kenegaraan, internasiolais sekaligus nasional, membutuhkan partai sekaligus menolak partai, tumbuh dari serikat buruh sekaligus independen dirinya, merupakan cir sebuah negara industri negara yang kaya sekaligus merupakan ciri-ciri dari masyarakat yang berbasis petani miskin, berwatak seksis sekaligu feminis dan memiliki komitmen pertumbuhan sekaligus ekologis.
Sifat-sifat sosialisme seperti ini bukanlah sebuah ia (sosialisme) berwatak ambigu atau paradoks, melaikan sosialisme pada hakekatnya beragam (plural). Oleh karena itu, metode pendekatan yang dapat dipakai untuk menjawab apa itu Sosialisme harus secara kritis mempertimbagkan 2 (dua) kutub ekstrim esensi dari pluralisitas sifat sosialisme. Kutub ekstrim pertama, adalah sifat plural sosialisme jika dikaji berdasarkan analisis esensial atau interpretasi esensial secara komprehensif pada sifat-sitat sosialisme di atas akan membawa penurunan hakekat sosialisme yakni sosialisme menjadi ungkapan-ungkapan dogmatis yang akan dipakai sebagai sejata melawan kelompok-kelompok yang mentelewenga atau berbeda darinya. Kutub ekstrim kedua, upaya pendefenisial yang terlalu luas atau pluralitas sifat sosilaisme hanya akan menghasilkan pemaknaan yang dangkal (banal) dan kehilangan makna. Oleh seba itu, Newman dalam pendekatan penulisannya ia menghindari kedua pendekatan tersebut untuk menghindari analisiss dan pemaknaan yang kontradiktif. Ia lebih memilih pendekatan berdasarkan defenisi-defenisi minimal mengenai sosialisme sebagai pemandu dalam penelusuranya terhadap eksistensi sosialisme yang sejati.

Dengan demikian, Newman berusaha mendefenisikan 4 (empat) karakteristik paling fundamental atau esensial dari sosialisme, yakni: Pertama, Sosilaisme memiliki komitmen yang kokoh terhadap terciptanya masyarakat egalitarian. Asumsi kaum sosialisme adalah bahwa kepemilikan kapital dan kemakmuran secara turun-temurun telah menciptakan hak-hak istimewa (privilese) dan kesempatan-kesempatan yang sangat besar di satu ujung kutub sosial, dan adanya siklus kemelaratan yang membatasi kesempatan-kesempatan dan daya pengaruh pada ujung kutub yang lainnya. Kaum sosialisme menentang hak milik (pribadi) yang merupakan fundamen bagi kapitalisme. Kaum sosialisme bercita-cita untuk membangun sebuah masyarakat di mana setiap orang di dalamnya memiliki kesempatan untuk mencapai kepenuhan diri tanpa harus berhaapan dengan rintangan-rintangan yang diakibatkan oleh adanya ketimpangan struktur.
Kedua, kaum sosialisme memiliki kepercayaan “kemungkinan” dibangunnya sebuah sistim egalitarian alternatif yang di dasarkan pada nilai-nilai solidaritas dan kerja sama. Ketiga, kaum sosialisme memiliki pandangan yang relatif optimistik mengenai manusia dan kemampuannya untuk bekerja sama satu sama lainnya. Egoisme individual dan kompetisi negatif sebagai satu-satunya faktor yang memotivasi perilaku manusia dan masyarakat dalam kehidupan hanyalah merupakan suatu “produk” dalam masyarakat tertentu ketimbang “fakta” yang tak mungkin terhapuskan. Keempat, kaum sosialisme memilki keyakinan bahwa adalah mungkin untuk menciptakan perubahan-perubahan yang signifikan di dunia melalui perantara manusia (human agent) yang sadar.
Dari keempat karakteristik fundamental sosialisme maka, Newman berkesimpulan bahwa sosialisme sebagai produk dari era modern, memiliki pandangan yang sangat substansial tentang keagenan manusia yakni secara sederajat, bertindak sebagai subjek sejarah, demi tranformasi strukstur sosial dan politis, ekonomi yang lebih manusiawi ketimbang bersikap fatalis yakni menyerahkan nasibnya pada takdir, adat kebiasaan bahkan agama.


Kaum sosialisme modern muncul dalam sejarah Eropa pada awal abad 19 di Eropa. Kemunculan mereka dipecu oleh 2 (dua) faktor utama yakni perubahan ekonomi dan perubahan sosial yang sangat cepat. Dari pranata ekonomi perubahan berhubungan dengan bangkitnya kekuatan industri sedangkan dari pranata sosial berhubungan dengan gerak urbanisasi. Dampak dari kedua perubahan pranata kehidupan di atas, sektor ekonomi pedesaan mengalami keruntuhan begitu pula keruntuhan norma dan nilai tradisoanal.
Fonomena perubahan pranata kehidupan masyarakat Eropa ditanggapi secara berbeda oleh 2 (dua) kelompok yang berseberangan secara idealogis dan praksisnya. Kaum liberal menyambut gembira dan menganggapnya sebagai usaha kapitalis dan individualisme serta sebagai pengejewantahan kemajuan dan kebebasan. Sedangkan, kaum sosialis secara berbeda bahkan kontradiktif. Pertama, kaum sosialis lebih menekankan pada komunitas (lawan individualisme), kerja sama, dan paguyuban (assosiation) berkualitas yang mereka nilai telah dirusakan oleh gerak perkembagan kontemporer. Kedua, kaum sosialis melihat hasil perubahan ini bukan kemajuan sebagaimana dipahami kaum kapitalis, melainkan sebagai suatu ketimpangan massif yang diusahakan kaum kapitalis. Sebab mereka yang dulunya adalah petani-petani dan tukang-tukang terhisap kedalam kekuatan urbanisasi sehingga kini bertumpuk di kota-kota yang padat dan bekerja dengan upah yang rendah. Secara ringkas dapat dilihat pada bagan munculnya gerakan sosialisme modern.










Bagan Munculnya Gerakan Sosialis Modern

Perbedaan dan kontradisi paradigma tentang perubahan di dunia Eropa dari kedua kelompok ini mempengaruhi seluruh strategi dan taktik mereka dalam upaya pencapaiaan tujuan masing-masing. Konteks sosial, politik, ekonomi dan lainnya merupakan medium pertarungan mereka. Pertarungan ini melahirkan kutub ekstrim pertentang antara kaum sosialisme dan liberalisme (baca: kapitalisme). Kaum sosilais berusaha untuk menciptakan suatu tatanan hidup yang sederajat di atas kerja sama dan solidaritas sedangkan kaum kapitalis berupaya untuk memperkuat dan memperluas kepemilikan pribadi, eksploitasi massa serta sikap individualisme. Singkatnya bahwa ranah perhelatan kekusaan antara kaum sosialis dan kaum kapitalis adalah bagaiman memdominasi ranah politik dan ekonomi sebagai sektor terpenting yang dapat mengantarkan mereka pada dominasi kekuasaan
Lihat bagan pertarungan kekuasaan kaum sosialis dan kapitalis.

















Bagan Pertarungan kekuasaan kaum sosialis dan kapitalis

Menilik kemabali fakta keruntuhan Blok Soviet antara tahun 1989 dan tahun 1991, keruntuhan ini merupakan sebuah keberhasilan kapitalis untuk menghancurkan kaum sosialis dalam memperjuangkan cita-citanya yakni menciptakan suatu masyarakat yang egaliter di atas landasan kerja sama dan solidaritas. Namun Newman mengingatkan dan menegaskan bahwa kekuatan sosialis tidak semudah itu hancur dan tamat riwayatnya dari panggung pertarungan idealogi. Setelah keruntuhan Blok Soviet kaum sosialis mengalami perkembagan yang luar biasa cepat sehingga melahirkan keragaman gerakan perlawan terhadap kapitalisme serta kekuasaannya.
Kaum sosialis tradisional terdiri dari Sosialis Utopia, Anarkisme, Marxisme dan Sosialis demokrat. Sosialis utopia, janganlah diartkan sebagai suatu gerakan sosialis yang gagasannya tidak mengakar pada analisis sosial, ekonomi dan politis atau suatu “utopiansme” yang dianggap tidak realistis dan khayal. Tetapi, makna sosialis “utopia” di sini adalah suatu pandangan esensial dalam proyek kaum sosialis yang diproyeksikan kedepan untuk membagun suatu tatanan masyarakat yang didasarkan pada harmoni, paguyuban (assosiation) dan kerja sama secara komunal.
Tokoh sosialis utopia yang paling berpengaruh gagasannya adalah Henri Saint Simon (1788-1856); Charles Foorier (1772-1837) dan Robert Owen (1771-1858). Pokok analisis Saint Simon adalah kelas-kelas masyarakat. Baginya sejarah dunia didasarkan pada bangkit dan runtuhnya kelas produktif dan tak produktif sepanjang masa. Mereka yang merupakan kelas produktif adalah sebagaian besar masyarakat mulai dari buruh pabrik sampai dengan pemilik pabrik. Sedangkan mereka yang merupakan kelas tak produktif terdiri dari sekelompok minoritas ‘ongkang-ongkang kaki’ (idlers)—borjuis besar—kaum ningrat dan pendeta. Sebagai demikian maka, perubahan datang dari mereka yang termasuk kelas produktif. Di mana relasi kelas industri/saitifik didasarkan pada kerja sama dan persaingan yang damai. Bukan datang dari kelompok tak produktif yang relasinya didasarkan pada kekuasaan. Dia juga berusaha mengkombinasikan moralitas sekuler dengan ajaran kristen yang segar. Baginya tugas utama agama adalah memberantas kemiskinan dan menjamin supaya semua orang dapat memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak. Dari gagasanya maka lahirlah komunitas Saint-Simonian yang terus berkembang menjadi kurang lebih 40.000 pengikut mulai dari tahun 1830-1848. dalam proyek-proyek sosialis utopia Saint-Simonian aspek industrialisme dan efisiensi administrasi merupakn kunci kemajuan dan keadilan sosial.
Fourier memiliki keyakinan fundamental bahwa masyarakat tidak harus berubah: yang menjadi problem ialah tidak berfungsinya (disfungsi) sistim sosial yang pada akhirnya melumpuhkan masyarakat. Inilah sebab dari penderitaan manusia. Ia juga mengutuk penindasan kaum wanita. Ketimpangan sosial dan ekonomi tidak dianggapnya sebagai pemicu fundamental konflik antara hasrat dan cara masyarakat berfungsi.
Robert Owen sebagai tokoh sosialis utopia yakin bahwa masyarakatlah--bukan individu--yang harus bertanggung jawab atas penderitaan manusia dan penyakit-penyakit sosial (patologi). Ketercapaiaan perubahan hanya bisa terjadi apabila lingkungan sebagai determinasi perilaku masyarakat diubahkan. Kunci perubahan lingkungan harus didasarkan pada prinsip-prisip rasionalitas dan kerja sama. Owen menulis:
“...para anggota dari setiap komunitas secara bertahapa diatih untuk hidup tanpa ongkang-ongkang kaki, tanpa kemiskinan, tanpa kejahatan dan tanpa hukuman; karena semuaa itu merupakan efek dari kekeliruan dari berbagai sistim yang ada sebelum dunia. senmua keburukan itu merupakan konsewensi dari niscaya kebodohan”
Tipikal entrepreuner bijak menjelma dalam strategi kerja produktif demi peningkatan-peningkatan keuntungan yang lebih besar dari armada kerja. Pendekatan paternalistik dan kepatronan secara terfokus dirahkan pada ‘lapisan-lapisan bawah (lower orders). Namun, gagasannya tentang kesempurnaan manusia dianggap bertentangan dengan gereja serta penekanannya pada tanggung jawab sosial para majikan terhadap para pekerja mereka sungguh bertentangan dari pendekatan laissez-faire kapitalisme. Oleh sebab itu, tumbuh pertentangan antara Owen dan para majikan serta gereja.
Konsolidasi kekuatan baru dilakukan Owen dengan mengkombinasikan produksi industri dan pertanian. Dari konsilodasi ini kekuatan-kekuatan komunitas tumbuh demi mengawal perjuangan mereka. Bahkan Owen yakin bahwa uang dapat digantikan dengan ‘bon-bon kerja’ (labour notes) yang merepresentasikan jumlah waktu dalam kerja yang bisa dipertukarkan dengan barang-barang. Gagasan ini, memeng cukup berhasil. Komunita kerja-sama London (London Co-operative Sosiety) didirikan untuk memajukan gagasan Owen dan ‘Pasar Barter’ (Exchanges). Sebagai seorang sosialis uptopia Owen mendapat dukungan politis dari partai buruh namun itu pun tidak lama. Setelah pemisahan dirinya dari partai buruh Owen gencar melakukan kritik terhdap intitusi-institusi, sistim ekonomi serta nilai kontemporer Inggris yang egoistik dan destruktif yang tidak sesuai dengan prinsip kerja sama rasional. Bahkan ia juga mengkritik kaum buruh yang percaya bahwa tekanan dan konflik merupakan kunci menciptakan perubahan, sehingga gaung perlawanan terhadap kapitalisme menjadi lemah. Kendati itu, Ia menempatkan signifikansi dan urgensitas pendidikan (narture) sebagai sebagai kekuatan yang dapat memanifestasi perubahan.
Newman menilai bahwa dari segi diferensiasi gagasan, landasan perjuangan kaum sosialis utopia--Saint-Simon, Fourier maupun Robert Owen—hanya memberikan kritik parsial pada masyarakat. Saint-Simon mempergunakan pisau analisis evolusi historis melalui kategori kelas produktif, Fourier dengan keyakinan bahwa diperlukannya represi-represi sosial guna memfungsikan kemabali sistim sosial dan Owen menekankan determinisme lingkungan terhadap perilaku masyarakat ,terasa berjalan sendiri-sendiri sehingga gerak perubahan berlangsung secara kurang komprehensif dan massif. Tetapi secara umum ketiga tokoh sosialis utopia telah memberikan sumbagan yang besar terutama ide-ide mereka tentang harmoni masyarakat egalitarian, kerja sama, komune-komune, hak-hak wanita, jaminan nasib buruh, kepedulian ekologis serta yang terutama adalah pencerdasan masyarakat. Oleh sebab itu perjuangan kaum sosialis utopia harus lebih mengandalkan kekuatan tranformatif dari keragaman ide-ide perjuangan dan bukannya mengandalkan kritik parsial terhadap struktur sosial. Diakui pula bahwa warisan ketiga tokoh ini telah memberikan jalan alternatif bagi perjuangan generasi sosiali baru/kelak.
Bersambung

Refleksi Hari Pendidikan Nasional (2 Mei)

SUKARELAWAN PEJUANG RAKYAT UNTUK PEMBEBASAN TANAH AIR
LMND, GERSAK, SRMI, GEMA- KUPANG , SENAT UKAW, SENAT FKIP UNWIRA, PERMASNA, FOSMAB, PERMATA, IPELMEN, K.P. GARDA, PERMATA ALOR, IKATAN RAG, SENAT FKIP UKAW, KMK UKAW, HIMARASI, HIMAR, ITAKANRAI, KEMA & IKMABAN

Refleksi Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) dan Bangsa “KITA” yang masih Terjajah
Bangsa Indonesia belum merdeka sepenuhnya. Bangsa Indonesia masih dijajah. Dijajah secara ekonomi, dijajah secara sosial, didijajah dalam bidang kesehatan, dijajah dalam bidang pertanian, dan di jajah dalam bidang pendidikan. Kita dijajah untuk tidak cerdas dan menjadi mandiri untuk membagun bangsa yang kuuat dan maju. Penjajah itu bernama neolibelaisme serta birokratisisme. Yang tidak lain, adalah para kapitalis asing dan borjuasi lokal serta dan elit-elit pemerintah. Kampanye pendidikan gratis hanyalah bualan mereka bagi rakyat, dan tidak lebih merupakan komoditas politik yang disuapkan kepada rakyat demi perampasan kekuasaan dari rakyat.
2 Mei 2009 bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Dimana, Dunia Pendidikan Nasional telah berusia 64 tahun. Ironisnya, amanah UUD 1945 yang merupakan mainstream penyelenggaraan pendidikan Nasional yakni “Mencerdasakan Kehidupan Bangsa”, justu didistorsi oleh kekuatan kapitalisme menjerat & eksploitatif. Implikasinya bagi dunia Pendidikan kita ialah “sekulerisme, materialisme, pragmatisme pendidikan”. Pendidikan menjadi komoditi yang diperjual-belikan kepada rakyat demi meraup keuntungan. Untuk melegitimasi perdagan pendidikan kepada rakyat, pemerintah menyepakati dan meluncurkan Surat Perjanjian Hutang/Leters of intens (LOI) dengan IMF dengan tuuntutan liberalisasi pendidikan, UU BHMN 1999, UU SISDIKNAS 2003, PP76, 77 dimana pendidikan negeri terbuka bagi investasi asing (49% penguasaan saham), dan UU BHP No. 9/2009. Ini sama dengan pemerintah melepas tanggung jawabnya membiayai pendidikan bagi rakyat secara gratis dan bermutu sekaligus merupakan bentuk merampas hak rakyat atas pendidikan demi pencerdasan diri. Terkait dengan kebijakan publik yakni masalah anggaran pendidikan, realisasi anggaran hanya 8,3 persen (2003) dan 9,1 persen (2006), oleh karena itu anggaran pendidikan nasional kita merupakan yang terendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di lingkup geografis Asia Tenggara. Bila dibandingkan dengan Malaysia yang 25,5 persen, Thailand 24,2 persen, Filipina 16,2 Kamboja 18,3 persen, Timor Leste 24,2 persen. SBY-JK justru mengalokasikan dana APBN yang bisa dipakai untuk pembiayaan dunia pendidikan Indonesia dengan membayar Utang Luar Negeri Indonesia (30-40% dari APBN). Alasan ketiadaan dana pendidikan, banyak rakyat yang miskin dan buta huruf, tidak dapat bersekolah. Pada akhirnya, bangsa ini ditangan pemimpin berwatak penjarah konsitusi ini akam menghancurkan bangsa dan rakyatnya sendiri. untuk mengatasi permasalahan dunia pendidikan indonesia maka kita bersepakan untuk mengambil kembali hak-hak pendidikan kita, deng
an cara menolak pembayaran hutang luar negeri dan peminjaman kembali, nasionaloisasi industri pertambagan bagi pembiayan pendidikan, bangun industri nasional dan daerhar. Gratiskan pendidikan yang bermutu, tolak liberalisasi pendidikan (UU BHP), bangun sekolah dan Perguruan Tinggi bagi rakyat di tiap daerah, tingkatkan kesejahteraan guru dan profesionalismenya.
Baca & Lawan

PROPOSAL PENGUSULAN PROGRAM TAMAN BACA MASYARAKAT (TBM)

James Faot

PROPOSAL
PENGUSULAN PROGRAM TAMAN BACA MASYARAKAT (TBM)


A. DASAR PEMIKIRAN

Membangun sebuah komunitas masyarakat yang kuat tak akan dapat lepas dari kebiasaan komunitas itu dalam berusaha membekali diri dengan ilmu pengetahunan. Terlalu naïf jika semua hal yang bersinggungan dengan peningkatan sumber daya manusia hanya dititikberatkan pada kegiatan pembelajaran formal belaka. Pemerintah harus sudah mulai dengan kesungguhan untuk memberikan solusi tepat agar masyarakat dapat mencari ilmu diluar pendidikan formal. Salah satunya adalah Perpustakaan.
Membangun sebuah perpustakaan tentunya bukan merupakan hal yang mudah jika kita meninjau dari segi pendanaan. Apalagi, tantangan tersebut diperparah dengan kesadaran gemar membaca masyarakat yang basih rendah. Hal ini terbukti dengan Human Development Index Indonesia yang kurang memuaskan.
Secara nasional, dibeberapa wilayah propinsi yang maju, konsep perpustakaan sudah mulai bergeser dari perpustakaan konvesional ke perpustakaan modern yang menumpukan inovasinya pada digitalisasi perpustakaan. Bahkan perkemmbangan ini telah mencapai wilayah-wilayah pedesaan. Hal ini tentunya merupakan upaya cerdas pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan citat-cita pembangunan SDM masyarakat Indonesia secara menyeluruh dan berimbang.
Perpustakaan memberikan sumbangsih besar dan signifikan dalam merangsang pencapaian tujuan SDM tidak hanya di wilayah perkotaan melaikan juga di pedesaan. Manfaat perpustakaan diyakini akan menjadi sarana transformatif bagi masyarakat desa apabila strategi yang penuh dengan stimulasi edukatif perpustakaan, masyarakat yang giat membaca bebar-benar akan bergerak menuju pembangunan SDM yang handal di era otonomi daerah. Dengan demikian, peran serta masyarakat dalam membangun, menuntut, mencerdaskan bangsa, yang tak terpisahkan dengan menggapai cita-cita masa depan SDM yang berkualitas, berfikir kritis dan mandiri.
Salah satu pilar pemerintahan yang dapat berperan dalam merealisasikan tujuan di atas adalah pemerintah. Sebagaimana amanah UUD 1945 pasal 31, 32 setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan. Oleh karenanya, pemerintah wajib membiayaai wajib memenuhi amanah ini. Dengan demikian untuk memberikan kesempatan belajar pemerintah wajib menyediakan perpustakaan bagi masyarakat. Mengingat pula bahwa dewasa ini masalah pendidikan menempati posisi yang amat penting. Karenanya, penyelengarakan dan atau pembangunan bidang pendidikan rasanya bukan hal yang perlu ditawar-tawar lagi.
Kehadiran perpustakaan melalui di wilayah desa merupakan wujud pendekatan pembangunan dari akar bangsa yaitu desa atau tepatnya masyarakat desa. Sebagaiman yang telah dan masih sedang dijalankan oleh pemerintah melalui program Taman Baca Masyarakat (TBM), pendekatan ini dinilai strategis, sebab melalui kehadiran perpustakaan desa, stimulasi terhadap niat baca masyarakat pedesaan membentuk sikap dan kesadaran bahwa membaca adalah kebutuhan hidup. Selain itu, keberadaan perpustakaan di wilayah pedesaan juga merupakan upaya memasyarakatkan membaca atau membudayakan membaca menjadi budaya masyarakat desa. Dengan begitu, masyarakat desa tidak akan terus termarjinalisasi dalam proses peningkatan SDM serta dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Didasarkan pada untaian pemikiran di atas, maka perlu diwujudkan keberadaan perpustakaan di pedesaan. Melalui keberadaan perpustakaan di desa, dukungan pembangunan manusia dan masyarakat desa yang berkualitas dengan menyediakan sumber-sumber buku yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan pengembangan desa akan benar-benar memberikan bukti terselenggarannya pembangunan bukan hanya dari segi material malainkan juga pada segi manusianya. Sebab, perpustakaan adalah jantung, urat nadi di pembangunan SDM.

B. LANDASAN

Adapun landasan pembuatan proposal usualan ini antara lain:
1. Hasil keputusan program kelompok mahasiswa Kegiatan Belajar dan Pendampingan Masyarakat/KBPM Desa Binaus Tentang Pengajuan Proposal Usulankan Pengadaan Taman Baca Masyarakat (TBM) kepada Sub Bidang Pendidikan Kemasyarakat atau Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2. Kerja sama kelompok mahasiswa KBPM Desa Binaus dengan Pemerintah Desa Binaus untuk pengupayaan pengadaan Taman Baca Masyarakat.
3. Hasil koordinasi perwakilan kelompok mahasiswa KBPM desa Binaus dengan Kepala Sub Bidang Pendidikan Kemasyarakatan atau Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Selatan.

C. PROGRAM
Nama program yang diusulkan ini ialah “Pengadaan Taman Baca Masyarakat”

D. TUJUAN
Adapun tujuan pengadaan Taman Baca Masyarakat ini antara lain:
1. Membangun Sumber Daya Manusia masyarakat pedesaan.
2. Membudayakan dan memasyarakatkan membaca dikalangan masyarakat desa.
3. Membekali masyarakat desa dengan sumber-sumber informasi mutakhir yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan wilayah pedesaan.
4. Mengupayakan pemerataan dan peningkatan kualitas pengetahuan dan keterampilan masyarakat desa dalam berinovasi dan berkreasi.
E. MANFAAT
Adapun tujuan pengadaan Taman Baca Masyarakat ini antara lain:
1. Masyarakat desa memperoleh keluasan akses terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui sumber-sumber bacaan yang tersedia di TBM.
2. Masyarakat desa memiliki kebiasaan terpola hidupnya dengan membaca.
3. Meningkatnya pengetahuan, kecerdasan, keritisan dan kemandirian masyarakat desa.
4. Meningkatnya memiliki daya inovasi dan kreatifitas pengembangan keterampilan (live skill) yang dapat menolong mereka hidup secara produktif.
5. Masyarakat dan pemerintah mengalami sinergitas dalam penyelenggaraan pembangunan desa di segala bidang.
F. SASARAN
Adapun sasaran dari program ini ialah seluruh lapisan masyarakat desa Binaus, terkhusunya bagi kategori anak usia sekolah dan pemuda desa.
G. PENGORGANISASIAN
Pengorganisasia program Taman Baca Masyarakakat ini, memberikan gambaran rinci tentang hal-hal yang dipertimbangkan perlu diatur dalam operasionalisasi TBM sebagai perpustakaan yang diperuntukan bagi masyarakat guna membangun SDM-nya. Adapun hal-hal yang diatur dalam pengorganisasian antara lain:
1. Pengelola:
Pada prinsipnya pengelola TBM adalah mereka yang diberikan tanggung jawab untuk mengurus keseluruhan pengelolaan atau operasi TBM. Keberadaan mereka sebagai pengelola lebih bersifat relawan yang siap mengawalan pembangunan SDM masyarakat di wilayah pedesaan. Para pengelola ini diambil dari para pemuda dan pemudi desa yang menyatakan komitmennya untuk melaksanakan tugas pembangunan SDM di desa mereka yang terbentuk dalam “Relawan Muda Bangun Desa”. Agar pengelolaan dapat berlajalan secara baik, maka pengelola TBM dibentuk dalam struktur pengelola sehingga dapat melaksanakan tugas mereka secara efektif. Adapun struktur pengelola TBM, sebagai berikut:
Ketua : Bertugas mengordinasi keseluruhan operasi dan upaya pengembangan TBM
Sektertaris : Bertugas melakukan inventarisasi inventaris TBM
Wakil Secretaris : Bertugas dalam melukan katalogisasi dan klasifikasi
Bendahara : Bertugas dalam mengelola keuangan yang berkaitan dengan kepentingan TBM
Koordinator Umum
dan anggota-anggota :
Mengelola peminjaman buku dan pengembalian buku dan keperluan teknis lainnya

2. Sumber Daya Manusia:
1. Pengadaan (Pemesanan, Penerimaan)
2. Pengolahan (Katalogisasi, Klasifikasi)
3. Pelayanan (Peminjaman, Referensi)
4. Kebersihan (Perapihan)
3. Sistem , Jam dan Jenis Pelayanan :
Sistem pelayanan menerapkan sistem terbuka, dimana setiap pengguna dapat memilih bahan pustakan yang dibaca di tempat atau akan dipinjam pengguna dengan batas waktu peminjaman 1 (satu) minggu maksimal 2 (dua) buku dan tidak boleh judul yang sama.
4. Jam Kerja :
Senin s.d Jumat : 09.00 s.d 14.00 wita
Istirahat : 12.00 s.d 13.00 wib
5. Koleksi Bahan Pustaka :
1. Buku ajar dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi
2. Buku umum
3. Buku Keagamaan
4. Majalah, karya ilmiah, Koran
Bahan pustaka, diperoleh dari pemerintah, swadaya masyarakat, hibah, yang dikelola secara profesional.
6. Fasilitas :
1. Ruang buku dan tata letak petunjuk sesuai koleksi buku
2. Ruang baca
3. Ruang Tata usaha
Prasarana, diperoleh dari pemerintah, pengguna, donatur tetap.
7. Keanggotaan
1. Para pelajar
2. Umum
Setiap pengguna dibuatkan kartu anggota, dan dikenakan biaya keanggotaan
Dibebani sanksi denda atas keterlambatan pengembalian bahan pustaka atas kelalaian sengaja merusak, menghilangkan fisik bahan pustaka.

8. Pengolahan Bahan :
1. Penyusunan koleksi bahan berdasarkan nomor registrasi dan nomor panggil
2. Berdasarkan abjad judul
3. Berdasarkan pengarang
9. Perawatan :
Kondisi bahan pustaka tetap utuh dan baik, semua pengguna menjaga dengan baik sebagai barang milik sendiri, secara kontinu dilakukan perbaikan dan kebersihan, biaya operasional diperoleh dari pemerintah, anggota.
10. Prosedur peminjaman :
1. Menunjukkan kartu anggota yang berlaku.
2. Mengisi formulir peminjaman.
3. Buku yang sedang dipinjam tidak boleh dipindah tangankan.
Sebagai pengguna perpustakaan, dikenakan biaya kartu anggota, denda keterlambatan pengembalian bahan pustaka.
11. Tata tertib dan sanksi :
1. Setiap pengguna perpustakaan harus mengisi buku tamu
2. Tidak merusak, menyobek halaman
3. Tidak boleh mencoret-coret bahan pustaka
4. Menjaga keamanan, tetertiban
5. Tidak diperkenankan meminjamkan kartu anggota kepada oran lain
6. Tidak boleh merusak kode bahan pustaka.
12. Sanksi :
1. Keterlambatan pengembalian bahan pustaka dikenakan denda Rp. 500/hari;
2. Menghilangkan buku berkewajiban mengganti buku yang sama.
H. PENUTUP
Demikian proposal usulan Pengadaan Taman Baca Masyarakat di desa Binaus ini kami sampaikan kepada Sub Bidang Pendidikan Kemasyarakatan atau Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Besar harapan kami bahwa usulan apa yang kami usulkan ini akan memperoleh respons positif dari pemerintah, sehingga terciptanya kerja sama antar pemerintah dan masyarakat dalam upaya pencaian masyrakat pedesaan yang gemar membaca, cerdas, kritis dan mandiri yang merupakan kunci kesejahteraan. Perjuangan masih panjang, dan tidak semudah membalik telapak tangan. Perpustakaan memang layak dan perlu, yang tak terpisahkan dari masyarakat. Serta meningkatkan SDM. Adanya otonomi daerah akan berpengaruh pembiayaan, terhadap pembinaan, pengembangan. Karena TBM merupakan wujud perpustakaan masyarakat, maka salah satu faktor yang signifikan dalam meningkatkan SDM ditentukan oleh keberadaan dan pemanfaatan perpustakaan sebagai layanan informasi mayarakat menuju pendidikan seumur hidup (long live education) yang diselenggarakan secara terprogram dan berkelanjutan, terkhususnya bagi masyarakat di wilayah Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Teriring ucapan terima kasih serta salam “Muda Bangun Desa”.





Mengetahui



Mahasiswa KBPM
Desa Binaus, Kec Mollo Tengah, Kab TTS



Relawan Muda Bangun Desa



James Faot
Ketua Edison Sanam, A.Md
Ketua



Menyetujui




Nahor Tasekeb
Kepala Desa Binaus




























KEGIATAN BELAJARAR DAN PENDAMPINGAN MASYARAKAT (KBPM)
UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA KUPANG
KELOMPOK MAHASISWA DESA BINAUS, KECATAN MOLLO TENGAH, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN
Secteretariat: Kantor Desa Binaus (Sakteo) Mollo Tengah - TTS

Binaus, 28 Agustus 2009
Nomor : Istimewa
Lampiran : 1 Jilid Proposal
Perihal : Permohonan Bantuan Pengadaan Taman Baca Masyarakat (TBM)

Kepada
Yth. Kadis Sub Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) TTS
Di
Tempat

Salam Sejahtera,
Penguatan kapasitas Sumber Daya Manusia (Human Capital) merupakan kunci dari pembanguan. Banyak kali, pembangunan fisik dalam rangka membangun kesejateraan masyarakat gagal atau kurang berhasil karena disebabkan oleh ketidaktersediaan SDM masyarakat. Demikian, maka penguatan kapasitas SDM masyarakat harus dilihat sebagai investasi paling strategis dan potensial yang pada akhirnya bisa menjadi landasan pembangunan, pengelolaan dan pemanfaatan segala ketersediaan sumber daya alam atau fisik yang adalah dalam masyarakat. Dalam konteks membangun SDM masyarakat pedesaan, pemerintah harus sudah mulai dengan kesungguhan untuk memberikan solusi tepat agar masyarakat dapat mencari ilmu di luar pendidikan formal. Dan salah satunya adalah Perpustakaan.
Didasarkan pada landasan pikir di atas, maka kami Mahasiswa KBPM-UKAW Kupang, Angkatan 2009/2010, yang di tugaskan untuk belajar dan mendampingi masyarakat di desa Binaus, kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), berupaya untuk melakukan kerja sama dengan pihak Pemerintah Desa serta Relawan Muda Bangun Desa melalui program “Pengadaan Taman Baca Masyarakat” yang juga merupakan agenda program Sub Bidang Pendidikan Luar Sekolah P dan K TTS. Demikian surat ini kami sampaikan dan atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.



Mengetahui

Mahasiswa KBPM
Desa Binaus, Kec Mollo Tengah, Kab TTS


James Faot
Ketua
Relawan Muda Bangun Desa



Edison Sanam, A.Md
Ketua





Menyetujui
Kepala desa Binaus


Nahor Tasekeb

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA May Day & Hardiknas 2009

SUKARELAWAN PEJUANG RAKYAT untuk PEMBEBASAN TANAH AIR
LMND, SENAT FKIP & EKONOMI UNWIRA GERSAK, SRMI, GEMA- KUPANG ,SENAT UKAW
Secretariat: Flamboyan, Nomor: 10 Naikolan;
HP: 081237940075 (James Faot); 081236485267 (Joao D.J. Mota)

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA
May Day & Hardiknas 2009

Lagi-lagi aparat kepolisian melakukan tindakan koersif terhadap aksi damai mahasiswa dan dan organ pemuda pro demokrasi hak-hak rakyat. Sudah 64 tahun bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari tangan kolonialisme yang kental dengan watak koersif. Demikian pula berkat gerakan reformasi bangsa Indonesia dibawa keluar dari hegemoni Orde Baru yang dikomandani Soeharto yang menjalankan kekuasaannya dengan mengandalkan kekuatan militer (militerisme). Oleh karena itu, di era reformasi dapat kita katakan bahwa penyumbatan kanal-kanal demokrasi di negeri ini oleh rezim Soeharto terlah terbuka. Dan keterbukaan ruang demokratisasi tersebut itu ditandai dengan salah satunya yakni dilahirkannya kebijakan negara dalam bentuk UU RI Nomor: 9 TAHUN 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.


Bangsa Indonesia telah memasuki usia KEMERDEKAAN yang ke-64 tahun. Ironisnya, mayoritas rakyat masih hidup dalam kondisi yang kontradiktif dari suatu bangsa yang MERDEKA. Fenomena problematik riil dari rakyat seperti kebodohan, kemiskinan, kesehatan, pengganguran, dll. masih merupakan potret buram dari negeri yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Ditengah keprihatinan kondisi rakyat yang memprihatinkan ini, pemerintah justru dengan arogannya mengawal secara loyal resep-resep modern kapitalisme untuk membagun bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, sejahtera dan kompetitif di panggung persaingan global. Namun, kondisi objektif rakyatlah yang patut dipakai sebagai indikator dalam menilai sejauh mana bangsa yang MERDEKA ini, telah berhasil melaksanakan pembangunan dan mencapai kemajuannya. Simpulannya, kondisi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang MERDEKA dan BERDAULAT justru tidak berbeda dengan kondisinya sebelum ketika berada di bawah kekuasaan KOLONIALISME, sebab ere kemerdekaan kita hanyalah era metamormosa penjajahan dengan wajah baru yakni NEOLIBERALISME.
Bertepatan dengan momentum Hari Pekerja atau May Dai (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional atau HARDIKNAS (2 Mei), patutlah kita sebagai kaum yang progresif yang memperjuangkan perubahan fundamental tatanan bangsa dan nasib rakyat yang berada di bawah hegemoni kapitalisme, berefleksi secara kritis untuk menetukan langkah-langkah strategis sebagai agenda perjuangan rakyat, dimana rakyat menjadi subjek penentu perubahan dan pelasana perubahan itu sendiri. Sebab, hanya rakyat yang telah mengalami kesadaran tranformatid sekaligus memiliki tindakan revolusionerlah yang dapat merealisasikan perubahan kondisi bangsa secara hakiki.

Permasalahan Kaum Buruh

Momentum May Day sebagai peringatan (commemorates) atas sebuah perjuagan kelas pekerja terhadap eksploitasi kapitalisme, merupakan hal yang urgen dan relevan serta memiliki arti yang signifikan guna memperkuat posisi tawar (bergaining position) kelas pekerja yang sampai saat ini masih terekploitasi oleh kekuatan kapitalisme, baik global global dan lokal.
Krisis kapitalisme atau tepatnya krisis finansial korporasi-korporasi basar di Amerika dan Eropa, memiliki korelasi langsung degnan jatuhnya standar hidup Kaum Buruh (Departemen Agitasi dan Propoganda DPP-PAPERNAS). Krisis ini akan berlansung panjang dan bersifat mendalam (struktural), karena merupakan kombinasi dari krisis besar financial (great financial crisis) dan stagnasi ekonomi, krisis ekologi, dan krisis ideologi neoliberal. Mengarahkan focus perhatian kita kepada dampak krisis bagi sektor pekerja di Indonesia, analisi dan sejumlah asosiasi industri sudah memberikan peringatan akan adanya jutaan orang bakal kehilangan pekerjaan tahun ini, karena dampak krisis kapitalisme. Penyebabnya, kegiatan ekspor yang terus menurun. Menteri perdagangan SBY, Marie Elka Pangestu, memprediksikan ekspor Indonesia akan turun berkisar 20-30%, tetapi banyak pengamat memprediksi lebih tinggi dari angka itu (Departemen Agitasi dan Propoganda DPP-PAPERNAS).
Berhadapan dengan krisis ini, para kapitalis akan berupaya menjaga profitabilitas dengan menekan upah dan komponen-komponen yang berhubungan dengan pengeluaran untuk pekerja. Sebagai misal, tahun lalu, ketika pemerintah bereaksi untuk menolong pengusaha dari kejatuhan tingkat keuntungan dengan memaksakan pemberlakuan SKB 4 menteri. Bagi pengusaha, kebijakan ini bermanfaat untuk menahan laju kenaikan upah pekerja.
Perjalanan krisis, setidaknya sejak september 2008 lalu, telah mengarahkan kaum pekerja pada kesulitan luar biasa, antara lain; pertama, ancaman PHK massal. Berdasarkan perkiraan, setidaknya 2-3 jutaan pekerja terancam kehilangan pekerjaan. data Apindo daerah menyatakan, sampai Maret sudah ada 240.000 orang yang kena PHK. Repotnya, itu terjadi pada sektor-sektor usaha yang penting dan bersifat padat karya, seperti tekstil dan garmen sebanyak 100.000 orang, sepatu (14.000), mobil dan komponen (40.000), konstruksi (30.000), kelapa sawit (50.000), serta pulp and paper (3.500).
Kedua, selain ancaman PHK, pekerja mengalami tekanan secara drastis pada upah dan jaminan sosial. Kenaikan UMR pada tahun 2009 tidak melebih 10%, padahal kenaikan harga kebutuhan pokok lebih tinggi dari angka tersebut. Sebagai contoh, UMR DKI hanya ditetapkan Rp. 1.096.865, sementara hasil penelitian sejumlah lembaga memperlihatkan kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja lajang adalah Rp. 1,5 juta keatas. Hasil penelitian Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) juga menunjukkan bahwa tingkat upah sekarang ini menyulitkan pekerja memenuhi kebutuhan dasarnya.
Ketiga, neoliberalisme benar-benar menjatuhkan standar hidup rakyat Indonesia, termasuk kelas pekerja. Berdasarkan penelitian Roy Morgan Research, terdapat 59% penduduk Indonesia yang tidak lagi regular menyimpan uang. Kemudian, 59% penduduk Indonesia yang harus menghabiskan 20-30% anggaran bulannya hanya untuk membeli bahan makanan. Dengan kondisi demikian, dapat dipastikan bahwa sekitar 60% populasi Indonesia kesulitan dalam mengakses tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan (Departemen Agitasi dan Propoganda DPP-PAPERNAS).
Pada konteks regional khususnya di NTT, krisis kapitalisme turut berpengaruh secara signifikan terhadap menurunnya standar hidup layak buruh. Misalnya, berdasarkan standar Upah Minimum Regional (UMR) buruh di NTT RP.650.000, standar ini tidak akan mencukupi buruh untuk menuhi kebutuhan dasarnya, apalagi untuk menikmati kesejahteraan. Akibat krisis ini, harga kebutuhan pokok dan kebutuhan komplementer lainnya melambung tinggi. Pertanyaannya, bagaimana dengan standar UMR yang rendah ini, para buruh dapat menikmati kesejahteraan hidup jika untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja tidak cukup? Pada sisi yang lain dan menjadi persoalan yang cukup prinsip terkait dengan uapah buruh NTT ialah walaupun pemerintah telah menetapakan UMR bagi buruh di NTT akan tetapi pembayaran gaji buruh tidak sesuai dengan standar UMR yang ada.
Catatan pertama, cukup banyak buruh di NTT, khususnya di Kota Kupang sebagai barometer pembayaran UMR buruh, terdapat varietas pembayaran gaji buruh yang dibayar dibawas satandar UMR. Pembayaran gaji buruh berada pada kisaran RP. 200.000-250.000 untuk buruh dengan spesifikasi kerja seperti Pembantu Rumah Tangga, Rp. 300.000 untuk buruh dengan spesifikasi kerja seperti Tukang Parkir dan Penjaga Toko serta Rp. 400.000-450.000 untuk buruh Toko Swalayan dan buruh Mall. Fakta ini mengambarkan menunjukan bahwa alangkah menderitannya nasib buruh di NTT.
Kedua, dengan pembayaran UMR yang lebih rendah, para buruh juga harus bekerja sampai melewati batasan jam kerja yang ada. Standar kerja buruh yang ditetapkan pemerintah adalah 8 jam, irinisnya, untuk beberapa kasus buruh yang bekerja di luar jam kerja yang ada, misalnya Pembantu Rumah Tangga, mereka harus bekerja dari pukul 04.00 subuh samapai 22.00 malam. Para kondektur yang biasanya berkerja sejak pukul 04.00/05.00 subuh samapai pukul 20.00/21.00. Demikian pula jam kerja para buruh toko yang bekerja sejak pukul pukul 04.00 subuh sampai 22.00 malam. Dari catatan jam kerja ini, rata-rata buruh bekerja dengan kelebihan kerja 8-10 jam. Atau bisa dikatakan bahwa buruh bekerja dengan 2 kali lipat jam kerja, namun dibayar untuk 1 kali jam kerja plus pembayaran di bawah standar UMR. Padhal pemambahan jam kerja harusnya diikuti dengan pembayaran gaji lembur yang dihitung berdasarkan jam kerja lembur yang dipakai. (Advokasi LMND tentang pendapatan Buruh di Kota Kupang).
Ketiga, selain pembayaran gaji yang jauh di bawah standar UMR yang ada dan eksploitasi jam kerja, buruh juga mengalami penambahan jenis pekerjaan. Misalnya, buruh angkutan jasa (kondektur) juga turut merangkap kerja lainnya di rumah pengusaha angkutan dimana mereka bekerja. Demikian pula, ini terjadi pada Pembantu Rumah Tangga dan buruh toko.
Keempat, ketiadaan perlindungan hak-hak buruh dan ketidakpastian sandaran hukum yang memperkuat posisi tawar (bergaining position) buruh di mata pengusaha dan majikan-majikan. Masih saja terjadi kekerasan dan ancaman dan pelecehan terhadap martabat buruh sebagai manusia. Misalnya, tidak adanya jaminan sosial berupa jaminan kesehatan, pesangon, THR, asuransi jiwa dan pensiun bagi buruh. Masalah ini dipicu oleh ketiadaan regulasi yang mengatur tentang kontark kerja antar buruh dan pengusaha atau majikan. Kontrak kerja diantara mereka lebih didasarkan pada kondisi kesepakatan verbal atau tanpa kesepakan apapun dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Selain itu, tekanan ekomomi yang mencekik masyarakat dan keterbatasan lapangan kerja turut menjadi faktor penentu buruh rela menerima atau melaksanakan pekerjaan yang tidak menguntungankan dirinya.
Dari keempat catatan di atas, secara eksplisit menunjukan bahwa, pertama, posisi buruh sangat lemah baik secara politis, ekonomi dan sosial. Kelemahan ini membuat posisi tawar (bergaining position) buruh menjadi sangat rendah bahkan dianggap tidak berharga di mata pengusaha dan majikan. Rendahnya posisi tawar (bergaining position) menjadikan buruh tidak lebih dari objek ekspolitasi pengusaha dan majikan bahkan pemerintah. Buruh dibutuhkan tenaganya, namun hak-hak dan kesejahteraannya tidak mendapat perhatian yang berarti. Sialnya, ketika buruh menuntut haknya secara kritis, mereka justru PHK begitu saja tanpa ada jaminan apapun bagi mereka.
Kedua, rendahnya perhatian pemerintah terhadap nasib buruh dan kesejahteraannya. Indikasinya jelas yakni pemerintah seharusnya mengawal dan mengontrol sejauhmana para pengusaha dan majikan memperlakukan para buruh. Apakah telah sesuai dengan regualasi yang ada atau tidak. Minimnya kinerja pemerintah dalam mengontrol praktek-praktek eksploitatif terhadap buruh telah memberikan sumbagsih dalam hal peluangatau kesempatan eksploitasi pengusaha dan majikan terhadap buruh. bukankah ini justru menunjukan bahwa secara tidak langsung pemerintah turut mengeksploitasi buruh. Selain itu, pemerintah juga tidak peka terhadap dinamika dan tuntutan perubahan kondisi politik, ekonomi dan sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Misalnya, dengan krisis finansial ini, maka pemerintah harus paham bahwa ada telah terjadi ketidakseimbagan antara pendapatan buruh dengan mahalnya kebutuhan-kebutuhan buruh, baik yang sifatnya mendasar dan komplementer. Selain itu, praktek-praktek eksploitasi yang merugikan buruh karena harus menerima upah jauh di bawah standar UMR, penambahan jam kerja tanpa bayaran upah lembur dan banyaknya kerja atau rangkap kerja buruh yang hanya dibayar untuk satu tugas pekerjaan. Atau juga kondisi buruh-buruh di NTT yang mengalami eksploitasi akibat ketiadaan regulasi yang dapat menjamin hak-hak mereka. Pantasnya, pemerintah sigap dengan masalah-masalah ini sehingga dapat bersikap secara proaktif dan adil dalam mengatur hubungan antara pengusaha dan majikan dengan buruh-buruh.
Ketiga, bagian ini merupakan hal yang prinsip dalam konteks tanggung jawab pemerintah yakni menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa tekanan ekonomi dan keterbatasan lapangan kerja merupakan faktor yang turut memicu praktek eksploitasi pengusaha dan majikan terhadap buruh. Oleh karena itu, wajib bagi pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja yang luas bagi rakyat, sehingga buruh tidak diperlakukan secara semena-mena oleh pengusaha dan majikan karena memanfaatkan kondisi ekonomi yang mendesak dan keterbatasan lapangan kerja.
Terkait dengan bagian terakhir di atas, salah satu permasalahan buruh di NTT ialah persoalan stagnannya bahkan matinya produksi PT. Semen Kupang. Sebagai industri daerah, eksistensi PT. Semen Kupang memiliki peran yang sangat signifikan bagi terbagunnya kekuatan ekonomi NTT. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti beroperasinya TP. Semen Kupang telah menyerap tenaga kerja lokal, bahan baku pokok produksi semen kupang yang diambil dari SDA di daerah sendiri, hasil produksi Semen Kupang memiliki basis konsumen yang pasti di daerah sendiri. Dengan memanfaatkan faktor-faktor di atas, tentunya PT. Semen Kupang merupakan salah satu instrumen pembagunan kesejahteraan dan ketahanan ekonomi dareh dan rakyatnya.
Akan tetapi, pasca stagnannya PT. Semen Kupang, pasokan semen untuk memenuhi kebutuhan konstrusi di NTT pemerintah harus menyediakan semen dari luar daerah. Kebijakan ini tentunya menghancurkan proses pembangunan kekuatan ekonomi dan kesejahteraan serta kemajuan daerah NTT dan masyarakatnya. Belum lagi, pasca stagnasi PT. Semen Kupang, sejumlah permasalahan tentang nasib buruhnya menjadi persoalan tersendiri dan rumit untuk diurai hingga saat ini oleh pemerintah, pengusaha dan buruh. Sebab, hal ini turut dipengaruhi oleh manuver-manuver politik ekonomi perusahaan-perushaan semen luar daerah, hilangakalnya pemerintah menentukan nasib PT. Semen Kupang dan para pemilik saham yang merugi akibat ketidakjelasan manajeman perusahaan. Implikasi dari permasalahan panjang dan gawat dari PT. Semen Kupang, harga semen yang didatangkan dari luar melonjak harganya sampai 2 kali lipat. Demikian malangnya nasib PT. Semen Kupang hingga pemerintah mengambil langkah untuk memprivarisasi industri daerah ini kepada inverstor asing. Tentunya, harganya lego PT. Semen Kupang akan dilepas oleh pemerintah semurah-murahnya, tanpa berpikir panjang tentang nasib dan masa depan daerah serta rakyatnya.
Ironisnya, di tengah-tengah upaya daerah-daerah di Indonesia memperkuat kekuatan dan ketahan ekonomi daerah, pemerintah justru tanpa beban melepaskan aset daerah ketangan investor Asing. Ini artinya, bahwa pemerintah dan rakyat NTT bersiap-siap untuk menjadi tuan rumah yang disingkirkan oleh orang asing. Dan kondisi kita adalah kehilangan aset-aset penentu bangitnya ekonomi daerah. Bukannya, pemerintah memikirkan upaya menyehatkan PT. Semen Kupang dengan dana APBD, sehingga industri ini tetap menjadi milik rakyat NTT demi kesejahteraan rakyat NTT pula. Bukankah ini menunjukan bahwa watak kapitalisme telah terkooptasi dalam cara berpikir pemerintah sehingga kebijakan-kebijakan mereka menjauh dan justru akan menindas rakyat, terutama kaum buruh.


Permasalahan Pendidikan Nasional

Pada 2 Mei nanti, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Dimana, Dunia Pendidikan Nasional telah berusia 64 tahun. Ironisnya, amanah UUD 1945 yang merupakan mainstream penyelenggaraan pendidikan Nasional yakni “Mencerdasakan Kehidupan Bangsa”, justu didistorsi oleh kekuatan kapitalisme dengan ideologi neoloberalismenya. Implementasi neoliberalisme dalam dunia pendidikan “memanfaatkan” pemerintah, parpol, lembaga pemikir (think thank), cendikiawan dan modal kapital lokal untuk membentuk sikap kolektif rakyat guna menerima resep pembagunan SDM dan SDA demi penyejahteraan bangsa dan daya kompetitif bangsa pada era global. Namun hakekatnya menjerat, eksploitatif dan hegemonik. Implikasinya bagi dunia Pendidikan kita ialah “sekulerisme, materialisme, pragmatisme pendidikan”. Inilah esensi pendidikan bangsa ini dalam cengkraman kapitalisme global.
Pendidikan kehilangan makna filosofisnya sebagai upaya pemanusiaan manusia. Artinya, pendidikan bukan lagi barlangsung sebagai upaya pembebasan manusia dari multi ketertindasan, yang membuatnya hidup secara tidak manusiawi, malainkan pendidikan justru menjadi alat yang efektif dan efisien untuk dipakai sebagai alat penindas manusia (rakyat). Nilai pendidikan kemudian berubah menjadi komoditi yang diperjual-belikan demi memperoleh keuntugan material. Pemikiran ini mengaskan bahwa semangat pendididkan neoliberal yang dijalankan oleh pemerintah ialah semangat mendehumanisasi rakyatnya sendiri atau semagat untuk mereduksi harkat dan martabat bangsanya sendiri. Suatu semangat pendidikan perbudakan dan semangat pendidikan untuk penghancuran bangsa.
Terkait dengan kebijakan publik yakni masalah anggaran pendidikan, realisasi anggaran hanya 8,3 persen (2003) dan 9,1 persen (2006), oleh karena itu anggaran pendidikan nasional kita merupakan yang terendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di lingkup geografis Asia Tenggara. Bila dibandingkan dengan Malaysia yang 25,5 persen, Thailand 24,2 persen, Filipina 16,2 Kamboja 18,3 persen, Timor Leste 24,2 persen. Kebijakan untuk menaikkan anggaran pendidikan secara bertahap menuai kritik dari masyarakat luas. Hal ini dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi negara. Terutama karena Indonesia telah meratifisikasi Ecocos (Dewan Ekonomi dan Sosial di Bawah PBB), yang antara lain menyebutkan perlunya pendidikan gratis. Tidak kurang Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) melakukan uji material UU No.13 tahun 2005 tentang APBN 2006 kepada Mahkamah Konstitusi. UU menyatakan bahwa anggaran pendidikan nasional untuk tahun 2006 sebesar 9,1 persen atau setara dengan sekitar 36,7 Trilyun. Walaupun jumlah ini meningkat, baik secara persentase maupun nominal, tetap saja belum memenuhi amanat konstitusi.
Pada amandemen UUD 1945 yang terbaru, secara gamblang ditegaskan pada bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (Pasal 31 ayat (4)). Namun masalahnya, hingga saat ini nominal anggaran pendidikan di APBN 2006 belum mencapai angka yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pemerintah menyatakan bahwa mereka tetap memiliki komitmen untuk meningkatkan dana pendidikan seperti yang diamanatkan, namun hal ini dilakukan secara bertahap. Anggaran tahun 2005 sebesar 9,3 persen, kemudian dinaikkan 12 persen pada 2006, 14,7 persen pada 2007, 17,4 persen pada 2008 dan 20,1 persen pada 2009.
Wajah Buruk kebijakan anggaran Pendidikan Indonesia yang ninim memiliki akar permasalahan yang signifikan dalam konstelasi politik ekonomi pendidikan global. Dunia pendidikan Indonesia terjerat dengan Utang Luar Negeri Indonesia (30-40% dari APBN) sehingga mendorong pemerintah untuk terus meminjam dan memprivatisasi pendidikan.
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa pemerintah Indonesia, dengan mengikuti saran Bank Dunia (Word Bank) telah menandatangini kontrak kerja sama pendidikan dengan UNESCO dan Bank Dunia (Word Bank) melalui program IMHERE yang katanya akan membawa dunia pendidikan indonesia maju dari sisi kualitas dan akan mampu bersaing dipentas global dengan out put pendidikan nehgara-negara maju. Program ini telah berjalan sejak tahun 2003 sampai tahun 2025 nanti dengan pembiayaan yang berasal dari hutang atau pinjaman pemerintah pada Bank Dunia (Word Bank). Sangat ironis, bahawa logika pemerintah Rezim SBY-JK dan kroni-kroninya mempergunakan akal sehat (comun sence) dengan cara yang sepeti apa, sehingg dunia pendidikan Indonesia hendak dibangun dengan mempergunakan biaya dari hutang luar negeri yang pada prinsipnya merupakan instrumen kapitalime untuk menundukan dan mengendalikan pemerintahan di negara-negara berkembang.
Memang bukan baru pertama kali pemerintah membiayai pendidikan Indonesia dengan biaya pinjaman atau hutang luar negeri. Sejak rezim Orde Lama pemerintah telah berhutang kepada lembaga donor asing untuk memenuhi kebutuhan negara, termasuk kebutuhan dunia pendidikan. Akan tetapi, hutang-hutang ini pun tidak dirasakan oleh pemerintah karena watak dan tabiat korup Suharto dan kroni-kroninya serta para pemodal lokal. Selain itu, pemdiayaan pendidikan dengan modal hutang luar nereri merupakan bagian dari upaya kapitalisme menancapkan kekuasaannya dalam dunia pendidikan Indonesia. Dengan dominasinya atas dunia pendidikan nasional maka semakin besar pula kesempatannya untuk mengeksploitasi bangsa dan rakyat Indonesia dengan cara menjual pendidikan.
Misi liberalisasi atau privatisasi dunia pendidikan di Indonesia telah dipersiapkan sejak lama. Salah satu agenda liberalisasi dunia pendidikan Indonesia telah dibahas di Perancis dalam pertemuan GATS di Perncis pada tahun 1998. Pada tahun itu pula (1998) Presiden Habibi menandatangani Surat Perjanjian Hutang atau Leters of intens (LOI) dengan IMF International Moneyter Found (IMF) isi salah satu point (point ke-4) yakni meliberalisasi dunia pendidikan nasional. Agenda liberalisasi pendidikan nasional terus berjalan secara bertahap di Indobnesia. Pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan UU Badan hukum Milik Negara (BHMN) dimana 5 Perguruan Tinggi Negeri ternama di Indonesia dijadikan sebagai uji coba liberalisasi. Hanya saja, BHMN sebagai upaya liberalisasi pendidikan diperhalus dengan konsep otonomi Perguruan Tinggi atau otonomi Kampus. Pada perkembangannya, BHMN kemudian dilaksanakan oleh 7 Kampus negeri di Indonesia antara lain: Universitas Indonesia; Unversitas Gajah Mada, Universitas Sumatra Utara, Unversitas Airlangga, Universitas Hasanudin, Institut Teknologi Bandung dan Institut Pertanian Bogor.
Agenda-agenda Liberalisasi dunia pendidikan terus berjalan. Pada tahun 2003 pemerintah mengesahkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang menurut kata pemerintah bahwa UU ini merupakan bagian dari reformasi pendidikan indonesia yang dilandaskan pada paradigma baru pendidikan yakni daya saing global dan demokratisasi pendidikan. Pada pasal 53 ayat 3 UU Sisdiknas mengamanatkan dilahirkannya UU BHP. Pada tahun 2007, SBY mengeluarkan Peraturan Persiden Untuk mencapai kemandirian universitas dalam rangka otonomi, universitas harus membuka kerjasama dengan berbagai pihak. Kerjasama dengan investor baik asing maupun domestik pun pada akhirnya bisa saja terjadi. Anggapan ini dipicu oleh Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 tentang Penanaman Modal Asing dalam Bidang Pendidikan dan kebijakan pemerintah yang mencantumkan pendidikan sebagai bidang usaha terbuka dengan persyaratan yang membuka peluang modal asing untuk masuk. Dalam Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 Tahun 2007 disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal sebagai bidang usaha dapat dimasuki modal asing dengan batas kepemilikan maksimal 49 persen. Hal ini juga menjadi sarana bagi pihak asing (khususnya Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara maju lainnya) untuk melakukan intervensi pendidikan melalui senjata utang langsung ke lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Dan pada 18 Desember 2008 Sidang Paripurna DPR RI mengesahkan UU BHP dan telah dimasukan dalam Lembaran Negara dengan Nomor 9 atau UU BHP Nomor 9 Tahun 2009.
Inviltasi ideologi neoliberal dalam kebijakan pendidikan Indonesia memiliki implikasi langsung dengan interes kapitalisme global. Liberalisasi dunia pendidikan mengaharuskan pemerintah melepas tanggung jawab dari penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya pendidikan diserahkan pada swasta untuk mengelolanya selayaknya mereka menjalankan manajemen perusahaan berorentasi provit. Pendidikan kemudian direduksi menjadi sebatas komoditi yang bebas diperjual-belikan kepada rakyat. Inilah bentuk deregulasi pendidikan dalam hukum neoliberalisme. Ciri utama lain pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian kurkulum baru kita. Kurikulum berorentasi pasar atau dunia produksi. Kenyataan lainnya dari liberalisme ini adalah mahalnya sekolah dan kuliah. UGM yang dulu dikenal kampus rakyat sekarang tidak lagi. Rencana menjadikan universitas negeri sebagai PTBHP sebagai langkah awal privatisasi pendidikan juga nyata sebagai langkah liberalisasi. Di level sekolah, elitisme pendidikan mengancam kesempatan rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan memadai. Materialisme yang melingkupi liberalisme menjadikan reformasi yang dilakukan pun sebatas fisik saja seperti pemenuhan fasilitas baru dan gedung baru; kapitalisme pun mengarahkan bagaimana agar pembelajaran dapat lebih efektif-efisien, dan dihitung dalam bentuk untung rugi serta balikan investasinya karena mengandaikan education as human investment.
Birokrasi perguruan tinggi yang mulai menerapkan prinsip enterpreuneurial university yang salah satunya adalah mengelola aset, baik tangible maupun intangible, dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat. Tanah, bangunan, dan SDM semuanya adalah aset yang bila dikelola dengan baik dan terpadu akan produktif. Akan tetapi, hal ini dikhawatirkan akan berakibat pada ketidakfokusan universitas untuk melakukan kegiatan pelayanan pendidikan. Perhatiannya terpecah kepada urusan-urusan yang bersifat profit dan bisnis sehingga ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2003 Institut Pertanian Bogor membutuhkan dana Rp 450 milyar. Untuk menutupi kebutuhan dana tersebut, IPB hanya dapat mengandalkan hibah pemerintah pusat sebesar Rp 64,35 milyar (14,3%), sementara kenaikkan biaya pendidikan yang dilakukan IPB hanya dapat menutupi 6,5% (Rp 29,25 milyar) kebutuhan anggaran. Untuk membiayai operasionalnya, IPB melakukan komersialisasi sarana-sarana pendidikannya seperti didirikannya Ekalökasari Plaza, Bogor Agribusiness Center, IPB International Convention Center, Kampus Gunung Gede dan Politeknik. Dari komersialisasi aset-aset IPB ini diperoleh pendapatan Rp 255,6 milyar (56,8%). (BHP, solusi masalah pendidikan kita, google.com) Bagi pihak pembuat kebijakan, BHP diyakini dapat memberi kebebasan bagi tiap-tiap instansi perguruan tinggi untuk mengelola satuan pendidikan secara otonom. Hal ini bertentangan dengan UU No. 20/2003. Tentang Sisdiknas yang menempatkan pemerintah sebagai fasilitator dan bukan sebagai pengendali tunggal segala kebijakan proses pendidikan. Dari hasil pengkajian di beberapa negara yang maju pendidikannya, ternyata peran negara dalam pendidikan sangat besar.
Benarkah Pendidikan Berkualitas Mahal ? Jerman, Perancis, Belanda, Swedia, Kuba dan beberapa negara berkembang lainnya, banyak PT bermutu namun biaya pendidikannya rendah bahkan gratis. Sudah jelas kiranya yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 31, ayat 1 bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Yang artinya, setiap anak bangsa mempunyai hak yang sama tanpa harus membedakan si kaya atau si miskin, suku, ras dan agama untuk mengenyam pendidikan pada jenjang apapun mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan dimanapun. Lain dengan kenyataanya, bahwa pendidikan hari ini bukanlah hak setiap anak bangsa karena pendidikan telah menjadi suatu barang mewah yang sulit untuk diraih bagi rakyat, terutama rakyat kecil. Di hadapan lembaga pendidikan yakni sekolahan, rakyat kecil (miskin) hampir tidak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Biaya mahal adalah salah satu penghalangnya.
Merujuk pada UUD Bab XIII pasal 31 ayat 2, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya dengan demikian wajib bagi pemerintah Indonesia untuk mentaati hukum. Atau dengan kata lain, pemerintah harus mencadi teladan pertama dalam hal kepatuhan hukum. Amandemen UUD 1945 yang disahkan 2002, merupakan hukum tertinggi negara, seharusnya menjadi patokan, referensi semua hukum yang pernah ada dan yang akan dibuat. Masuknya globalisasi keranah negara kita, membuat pendidikan menjadi barang dagangan yang cukup prospektif dan mempunyai nilai jual tinggi. Di perdagangkannya pendidikan merupakan kemunduran dunia pendidikan kita. Pendidikan kita telah kembali ke zaman penjajahan, dimana hanya orang yang berduit saja yang bisa mengenyam pendidikan, terutama pendidikan jenjang yang lebih tinggi. Selain itu orang yang berduit banyak bisa memperoleh pendidikan yang berkualitas, sedangkan yang berduit pas-pasan akan mendapat pendidikan yang mempunyai kualitas sedang pula. Secara tidak langsung hal ini telah menimbulkan diskriminasi bagi anak bangsa dalam memperoleh kesempatan untuk mengakses pendidikan atau bersekolah.Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi suatu negara, maka dari itu negara harus menciptakan sistem pendidikan yang demokratis, terjangkau dan berkualitas dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Anggaran menjadi bukti komitmen pemerintah. Ini menjadi kredit tersendiri bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan di mata rakyat. Ada dua alasan kontekstual mengapa faktor anggaran menjadi penting bagi dunia pendidikan Indonesia. Pertama, keterpurukan pendidikan Indonesia sudah pada taraf mengkhawatirkan. Contoh, pendidikan dasar (universal education) yang menjadi moral obligation setiap pemerintahan, belum juga tuntas meski Indonesia telah 64 tahun merdeka. berdasarkan data pada tahun 2005, masih ada satu juta anak usia SD belum mempunyai sekolah maupun guru tetap, dan 2,7 juta anak usia SMP yang sama sekali tidak mempunyai sekolah atau guru. Dengan dana yang besar, sekolah-sekolah yang rusak saat ini di seluruh Indonesia dapat diperbaiki serta dapat dipenuhi kebutuhan fasilitas dasarnya seperti laboratorium praktik dan Laboratorium bahasa. Dengan anggaran yang lebih besar pula, pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan gratis. Dengan pendidikan gratis—yang disubsidi pemerintah—kita dapat menyelamatkan jutaan anak-anak negeri yang terancma putus sekolah.

Deskripsi reflektif problem-problem buruh dan pendidikan di atas membawa implikasi bagi perjuagan kaum progresif bagi kesejahteraan kaum buruh dan nasib seluruh masyarakat indonesia serta masa depannya sebagai bangsa yang merdeka berdaulat dan sejahtera. Beberapa rumusan pemikiran strategis kita ajukan dalam kesempatan ini sebagai agenda perjuangan bersama demi merealisasikan peningkatan kesejahteraan kaum buruh dan mayoritas rakyat Indonesia yang termarjinalisasi secara sosial, ekonomi dan politik. Rumusan pemikiran itu, antara lain:

Tuntutan Untuk Kepentingan Gerakan Kaum Buruh

1. Mendesak pemerintah segera menaikan upah buruh UMR secara Nasional sesuai standar kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja lajang yakni Rp. 1,5 juta keatas.
2. Mendesak Pemerintah Daerah untuk melakukan kontrol secara ketat terhadap pengusaha dan majikan dimana buruh bekarja agar sesuai dengan regulasi yang berlaku. Serta memberikan sanksi hukum yang tegas bagi pengusahan dan majikan yang tidak mentaati dan melaksanakan regulasi tersebut. Usaha ini dilakukan dengan melegalkan hadirnya Lembaga Independent yang melindungi dan memperjuangkan Hak-Hak Buruh.
3. Mendesak pemerintah segera menggodok dan mengimplementasi PERDA yang mengatur secara jelas dan adil serta demi menyejahterahkan dan melindungi hak-hak buruh sehingga tidak terus menerus menjadi korban eksploitasi dan penindasan pengusaha. Hal-hal yang prioritas dan perlua diakomodir di dalam regulasi tersebut ialah:
a. Mengembangkan sistim jaminan sosial yang komprehensif kepada pekerja, berupa; Asuran Kesehatan, Pensiun, Jaminan Bagi Penganggur, dan sebagainya;
b. Menghapus pajak penghasilan bagi buruh dengan pendapatan 1,5 juta ke bawah.
c. Membangun dan menjamin perumahan massal dan layak bagi buruh, dengan prioritas buruh yang ber-upah 1,5 juta ke bawah.
d. Meminta penambahan anggaran Bantuan Keuangan Pemutusan Hubungan Kerja (BKPHK) dari program Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP) Jamsostek. Saat ini, anggaran BKPHK nilainya sangat kecil, yaitu Rp. 350 ribu/orang, sehingga tidak dapat dimanfaatkan menjadi modal usaha.
4. Mendesak PEMDA Propinsi NTT untuk tidak memprivatisasi PT. Semen Kupang dan segera melakukan penyehatan terhadap manajemen PT. Semen Kupang.
5. Mendorong Negara menyediakan kredit untuk pembangunan unit usaha kerakyatan, seperti koperasi-koperasi, home industri, dan Usaha Kecil menengah, terutama korban PHK. Dana dapat diserahkan kepada setiap serikat buru/ serikat pekerja, dan dikontrol dan diaudit oleh publik.
6. Mendesak pemerintah untuk mencabut sistem kerja kontrak (out suorcing).
7. Mendesak pemerintah untuk segera mencabut kebijakan SKB4 Menteri.
Mendorong misi “pendidikan” untuk kaum buruh berdasarkan tingkatan
(pemberantasan buta huruf, sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas,
dan universitas).

Tuntutan Untuk Kepentingan Pendidikan Nasional

1. Menolak pembayaran hutang luar negeri serta peminjaman atau penghutangan kembali.
2. Menasionalisasi industri pertambagan nasional yang dikuasai kapitalisme asing dan lokal untuk membiayai kebutuhan bangsa.
3. Bangun industri nasional.
4. Menolak praktek liberalisasi dunia pendidikan, dengan mencabut regulasi-regulasi dalam bidang pendidikan seperti UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 tentang Penanaman Modal Asing dalam Bidang Pendidikan dan kebijakan pemerintah yang mencantumkan pendidikan sebagai bidang usaha terbuka dengan persyaratan yang membuka peluang modal asing untuk masuk, serta UU Badan Hukum pendidikan Nomor 9 Tahun 2009.
5. Mendesak pemerintah untuk segera realisasikan anggaran pendidikan miniman 20% sebagaiman diamanatkan dalam UUD 1945.
6. Mendesak pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan gratis dan bermutu sesuai hasil ratifisikasi Ecocos (Dewan Ekonomi dan Sosial di Bawah PBB).
7. Mendesak pemerintah untuk membuka sekolah-sekolah negeri mulai dari tingkat Dasar, Menengah dan Atas disetiap Desa, Kecamatan dan membuka Perguruan Tinggi Negeri di setiap Kebupaten guna memenuhi kebutuhan pendidikan bagi rakyat.
8. Mendesak pemerintah untuk melakukan penggodokan kurikulum pendidikan nasional berdasarkan kondisi dan kebutuhan riil bangsa guna mempersiapkan SDM yang kritis dan mandiri.
9. Mendesak pemerintah memfasilitasi tenaga-tenaga kependidikan dalam upaya peningkatan kompetensi profesionalismenya.
10. Mendesak pemerintah untuk segera meningkatkan mutu proses pendidikan disekolah. (Jangan hanya meningkatkan mutu hasilnya saja).









SPARTAN
Kupang 1 Mey 2009


James Faot
Kordum Joao Motta
Korlap