Senin, 16 November 2009

HARI PENDIDIKAN NASIONAL (HARDIKNAS)

SUKARELAWAN PEJUANG UNTUK PEMBEBASAN TANAH ARI
(STARTAN)
(LMND; GERSAK; SRMI; GEMA; UNWIRA; UNDANA; UNKRIS)

HARI PENDIDIKAN NASIONAL (HARDIKNAS)

PADA 2 Mei nanti, 64 tahun sudah Negeri ini bebas dari jeratan penjajah (kolonialisme) dan mengikrarkan kata MERDEKA yang bergema seantero Nusantara. Ironisnya sampai hari ini bangsa ini belum mampu menegakkan kejayaan Negeri dan kemakmuran rakyatnya. Negara masih berdiri angkuh tak mempedulikan nasib rakyatnya, dengan keangkuhannya pejabat pemerintah sudah tidak mengedepankan program-program yang merakyat karena berpegang teguh pada “WAHYU” Neoliberalisme.

Demikian pula pada 2 Mei nanti, Dunia Pendidikan Nasional telah berusia 64 tahun. Ironisnya, amanah UUD 1945 yang merupakan mainstream penyelenggaraan pendidikan Nasiaonal yakni “Mencerdasakan Kehidupan Bangsa”, justu didistorsi oleh kekuatan kapitalisme dengan ideologi neoloberalismenya. Implementasi neoliberalisme dalam dunia pendidikan “memanfaatkan” pemerintah, parpol, lembaga pemikir (think thank), cendikiawan dan modal kapital lokal untuk membentuk sikap kolektif rakyat guna menerima resep pembagunan SDM dan SDA demi penyejahteraan bangsa dan daya kompetitif bangsa pada era global. Namun hakekatnya menjerat, eksploitatif dan hegemonik. Implikasinya bagi dunia Pendidikan kita ialah “sekulerisme, materialisme, pragmatisme pendidikan”. Inilah esensi pendidikan bangsa ini dalam cengkraman kapitalisme global.

Pendidikan kehilangan makna filosofisnya sebagai upaya pemanusiaan manusia. Artinya, pendidikan bukan lagi barlangsung sebagai upaya pembebasan manusia dari multi ketertindasan, yang membuatnya hidup secara tidak manusiawi, malainkan pendidikan justru menjadi alat yang efektif dan efisien untuk dipakai sebagai alat penindas manusia (rakyat). Nilai pendidikan kemudian berubah menjadi komoditi yang diperjual-belikan demi memperoleh keuntugan material. Pemikiran ini mengaskan bahwa semangat pendididkan neoliberal yang dijalankan oleh pemerintah ialah semangat mendehumanisasi rakyatnya sendiri atau semagat untuk mereduksi harkat dan martabat bangsanya sendiri. Suatu semangat pendidikan perbudakan dan semangat pendidikan untuk penghancuran bangsa.

Terkait dengan kebijakan publik yakni masalah anggaran pendidikan, realisasi anggaran hanya 8,3 persen (2003) dan 9,1 persen (2006), oleh karena itu anggaran pendidikan nasional kita merupakan yang terendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di lingkup geografis Asia Tenggara. Bila dibandingkan dengan Malaysia yang 25,5 persen, Thailand 24,2 persen, Filipina 16,2 Kamboja 18,3 persen, Timor Leste 24,2 persen. Kebijakan untuk menaikkan anggaran pendidikan secara bertahap menuai kritik dari masyarakat luas. Hal ini dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi negara. Terutama karena Indonesia telah meratifisikasi Ecocos (Dewan Ekonomi dan Sosial di Bawah PBB), yang antara lain menyebutkan perlunya pendidikan gratis. Tidak kurang Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) melakukan uji material UU No.13 tahun 2005 tentang APBN 2006 kepada Mahkamah Konstitusi. UU menyatakan bahwa anggaran pendidikan nasional untuk tahun 2006 sebesar 9,1 persen atau setara dengan sekitar 36,7 Trilyun. Walaupun jumlah ini meningkat, baik secara persentase maupun nominal, tetap saja belum memenuhi amanat konstitusi.

Pada amandemen UUD 1945 yang terbaru, secara gamblang ditegaskan pada bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (Pasal 31 ayat (4)). Namun masalahnya, hingga saat ini nominal anggaran pendidikan di APBN 2006 belum mencapai angka yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pemerintah menyatakan bahwa mereka tetap memiliki komitmen untuk meningkatkan dana pendidikan seperti yang diamanatkan, namun hal ini dilakukan secara bertahap. Anggaran tahun 2005 sebesar 9,3 persen, kemudian dinaikkan 12 persen pada 2006, 14,7 persen pada 2007, 17,4 persen pada 2008 dan 20,1 persen pada 2009.

Wajah Buruk kebijakan anggaran Pendidikan Indonesia yang ninim memiliki akar permasalahan yang signifikan dalam konstelasi politik konomi pendidikan global. Dunia pendidikan Indonesia terjerat dengan Utang Luar Negeri Indonesia (30-40% dari APBN) sehingga mendorong pemerintah untuk terus meminjam dan memprivatisasi pendidikan.

”Dari hari kehari kehidupan rakyat kecil semakin tergusur dengan sistem yang menjerat sampai ke urat nadinya, yakni imperialisme. Sistem yang diagung-agungkan oleh pemimpin Bangsa kita hari ini. Kemakmuran yang diagung-agungkan, justru pengangguran yang dilahirkan dan Kesejahteraan yang digemakan, justru Kemiskinan massal yang terjadi. Bagaimana bisa, Bangsa yang subur dan kaya-raya seperti Indonesia ini bisa “ber-nasib” seperti itu???

Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses dalam memanusiakan manusia dan memajukan peradaban suatu bangsa serta mencerdaskan kehidupan berbangsa seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu pendidikan merupakan media untuk menanamkan nilai-niai, moral dan ajaran agama, alat pembentuk kesadaran bangsa, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi serta media untuk menguak rahasia alam raya da manusia.Akan tetapi keberadaan pendidikan hari ini malah menjadikan manusia tidak manusiawi bahkan proses pembodohan secara struktural yang terjadi.

Sudah jelas kiranya yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 31, ayat 1 bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Yang artinya, setiap anak bangsa mempunyai hak yang sama tanpa harus membedakan si kaya atau si miskin, suku, ras dan agama untuk mengenyam pendidikan pada jenjang apapun mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan dimanapun. Lain dengan kenyataanya, bahwa pendidikan hari ini bukanlah hak setiap anak bangsa karena pendidikan telah menjadi suatu barang mewah yang sulit untuk diraih bagi rakyat, terutama rakyat kecil. Di hadapan lembaga pendidikan yakni sekolahan, rakyat kecil (miskin) hampir tidak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Biaya mahal adalah salah satu penghalangnya.

Merujuk pada UUD Bab XIII pasal 31 ayat 2, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Masuknya globalisasi keranah negara kita, membuat pendidikan menjadi barang dagangan yang cukup prospektif dan mempunyai nilai jual tinggi. Di perdagangkannya pendidikan merupakan kemunduran dunia pendidikan kita. Pendidikan kita telah kembali ke zaman penjajahan, dimana hanya orang yang berduit saja yang bisa mengenyam pendidikan, terutama pendidikan jenjang yang lebih tinggi. Selain itu orang yang berduit banyak bisa memperoleh pendidikan yang berkualitas, sedangkan yang berduit pas-pasan akan mendapat pendidikan yang mempunyai kualitas sedang pula. Secara tidak langsung hal ini telah menimbulkan diskriminasi bagi anak bangsa dalam memperoleh kesempatan untuk mengakses pendidikan atau bersekolah.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi suatu negara, maka dari itu negara harus menciptakan sistem pendidikan yang demokratis, terjangkau dan berkualitas dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Pertama: demokratis, kurikulum pendidian yang tidak hanya mengedepankan siswa didik hanya mampu membaca dan menulis saja. Akan tetapi mengajarkan siswa untuk berbicara. Belum tentu siswa yang pandai mampu berbicara di depan umum secara baik, maka dari itu menjadi tugas negara untuk menciptakan generasi bangsa yang tangguh dalam bidangnya, serta kritis terhadap sekitarnya. Kedua: terjangkau, dengan ditetapkannya subsidi 20% dari APBN untuk pendidikan nasional, seharusnya subsidi ini tidak menimbulkan diskriminasi pendidikan. Di lain sisi, pemerintah menerapkan UU Badan Hukum Pendidikan untuk perguruan tinggi yang mengakibatkan biaya kuliah menjadi semakin tak terjangkau, dengan kata lain generasi bangsa HANYA di siapkan lulus Sekolah Menengah saja. Ketiga: berkualitas, dalam menyiapkan generasi yang tangguh untuk meneruskan tongkat estafet perjalanan negara ini, haruslah dengan sistem pendidikan yang tidak ketinggalan zaman. Artinya kurikulum yang berkualitas dalam segi teori dan praktek.
Keempat: Pada akhirnya pendidikan seyogyanya tidak hanya dimaknai suatu usaha untuk mengentaskan rakyat dari buta huruf dan kebodohan saja, akan tetapi menjadi suatu wadah atau alat yang tepat dan penting untuk menyiapkan amunisi-amunisi penerus bangsa yang tangguh dan handal, yang nantinya ditangan generasi inilah negara kita mau dibawa kemana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar