Senin, 16 November 2009

Kearifan Lokal, Kemiskinan dan Pembangunan

James Faot

Kearifan Lokal, Kemiskinan dan Pembangunan

Perspektif oreintalisme memposisikan secara arbitrer masyarakat dunia ke-3, sebagai masyarakat inferior. Sementara itu, mereka menenpatkan Barat/Dunia Pertama sebagai masyarakat superior . Diskursus superirotas dan inferioritas oreintalime berlangsung melalui ilmu pengetahuan guna membangun tatanan kekuasaan Barat . Sehingga, hampir tidak bisa dipungkiri bahwa ketika kita membicarakan kemiskinan dan kearifan lokal sebagaimana topik makalah ini, maka kita pun harus membicarakan ‘kearifan global’ yang dibawa oleh kaum neoliberal yakni konsep developmentalisme .
Ideologi neolibaralismelah yang mempropagandakan konsep develomentalisme. Dan konsep ini berawal dari pemikiran Predisiden AS, Truman, pada tahun 1948 . Konsep developmentalisme mendasarkan keyakinannya bahwa ‘pembagunan tidak lain dari sebuah proyek besar pasca zaman penjajahan oleh bangsa asing di negeri-negeri Utara atas negeri-negeri Selatan. Proyek ini ditawarkan sebagai sebuah model yang berlaku universal; bahwa kemajuan Gaya Barat dapat pula dicapai di semua bidang oleh negara-negara berkembang. Hal itu, cukup dengan mengembangkan kaidah-kaidah ekonomi yang dikembangkan di Barat’ . Alhasil dalam penerapan developmentalisme sebagai kebijakan di negara-negara berkembang untuk mngentaskan problem kemiskinan, telah menyebabkan perusahaan-perusahan besar negara kapitalis memiliki kesempatan untuk mengembangkan usahannya di negara berekembang secara bebas, tanpa atau dengan pajak yang kecil, liberalisasi dan privatisasi sektor publik dan deregulasi peran negara. Dan pola penerapan developmentalisme biasanya menggunakan senjata investasi atau hutang asing. Salah satu bentuk nyata dari bentuk investasi ini ialah munculnya MNC; Multinational Corporation dan TNC; Transnational Corporation, yaitu perusahaan besar lintas negara dengan pusat-pusat pengendalian berada di negara kapitalis, yang serentak merupakan eksploitasi SDA dengan Gaya Baru dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang .
Pertanyaan problematik dapat kita ajukan untuk pembahasan ini, menggali realitas kemiskinan dan lunturnya nilai-nilai lokal di Indonesia yakni apa hubungan antara developmentalisme dengan kearifan lokal dan kemiskinan? Hubungannya dapat dianalisa melaui proyek developmentalisme sebagai rumus modern untuk mengentaskan kemiskinan di dunia ke-3, termasuk Indonesia. Penerapan konsep developmentalisme memberikan implikasinya yakni kearifan lokal yang pada prinsipnya berupa pengetahuan dan keterampilan produktif, yang selama ini merupakan warisan dari masyarakat lokal sebelumnya harus ditinggalkan dan mempergunakan rumus baru tadi guna mengentaskan kemiskinan. Namun, fakta penerapan konsep developmentalisme sebagai rumus modern untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat di Dunia Ketiga dinilai gagal, karena hanya membawa ketimpangan sosial ekonomi masyarakat, dimana semangat eksploitasi kapitalisme, justru hanya menyebabkan jurang lebar di antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya, atau developmentalisme justru hanya membangun sebuah pemiskinan terhadap masyarkat global, maka kearifan lokal dalam perkembagan zaman, kemudian lihat, diyakini dan diakui kehandalannya dan kemanfaatannya untuk mengupayakan pembagunan kesejahteraan masyarakat dan keluar dari lingkaran setan kemiskinan, jika diterapkan dalam konteks yang partisipatif, dimana rakyak menjadi subjek utama dari upaya pemberdayaan diri untuk keluar dari kondisi kemiskinannya . Dari penalaran ini, kita dapat menyimpulkan bahwa developmentalisme tidak lebih dari suatu proyek penghancuran tatanan nilai-nilai tradisional demi membagun rezim pemiskinan bagi masyarakat . Inilah kemiskinan terstruktur atau kemiskinan kronis/Chonic Poverty yang dibangun oleh kapitaslisme .
Secara prosentatif, kemiskinan masyarakat dunia mencapai 2/3 dari total 2 milyar manusia. Atau sejumlah 1,3 milyar manusia di bumi berada dalam kondisi miskin atau hidup secara tidak manusuawi . Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data BPS, pada tahun 1999 terdapat 49,5 persen berada di bawah garis kemiskinan dan sekitar 60 persennya atau 29,7 juta jiwa tinggal di daerah pedesaan . Persis sama dengan prosentase di atas, Kompas, melaporkan bahwa pada tahun 2004, sebesar 60 persen penduduk miskin tinggal di daerah pedesaan . Sedangkan, di NTT, secara kuantitatif Badan Pusat Statistik (BPS) NTT menyebutkan jumlah pendududuk NTT yang miskin pada tahun 2002 sebanyak 1,2 juta orang (30,7 %) dari jumlah penduduk 3,9 juta orang. Pada tahun 2003 dan 2004, kabupaten Sumba Barat menempati peringkat pertama jumlah penduduk miskin dengan 11,25 % dan 42,04 %. Sedangkan Kota Kupang menempati nomor buntu dengan 11,25 % dan 10,65%.
Kemiskinan dalam pemahaman sosialisme diartikan sebagai kondisi dimana secara sosial, politik dan ekonomi, masyarakat mengalami imputasi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaannya, yakni hidup secara sederajat dan sejahtera . Imputasi ini bukan faktor yang sifatnya given atau alamiah. Imputasi ini haruslah dipandang sebagai bentuk pemiskinan atau upaya memiskinkan individu atau kolektif yang dilakukan oleh individu atau kolektif lain sehingga mengakibatkan kondisi riil miskin dari mereka yang dimiskinkan. Sindrom peiskinan dan kemiskinan ini, sebenarnya telah berlangsung dalam waktu yang turun temurun dan sangat menampakan wajah ketidakmanusiawian sosial, politik dan ekonomi dari kehidupan manusia.
Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana kita dapat mengupayakan tindakan pemberdayaan masyarakat miskin untuk keluar kungkungan kemiskinan terstruktur atau kemiskinan kronis/ Chonic Poverty ini? Untuk mengatasi kemiskinan di atas, tentu dibutuhkan kesadaran politik masyarakat miskin. Kesadaran dalam kontek ini ialah kondisi dimana masyarakat miskin menyadari posisinya yang tertindas itu sehingga mendorongnya untuk keluar dari kondisi tersaebut. Oleh karena itu, harus ada kekuatan pendorong baik pemerintah, kelompok-kelompok pemikir (think thank) dan lainnya yang dapat membagunkan kesadaran masyarakat miskin dan dapat melepaskan diri dari ketidakberdayaannya.
Stategi alternatif untuk keluar dari kemiskinan kronis, hanya dapat dilakukan dengan menggali kembali akar-akar kekuatan masyarakat lokal dalam suatu wilayah, komunitas, bangsa atau negara sekalipun. Alternatif starategis ini, secara univesal dalam perspektif sosialisme ialah kesadaran sosial rakyat dalam kerangka membagun kesederajatan hidup dan kesejahteraan secara mandiri. Implikasi konkrit dari kearifan lokal ini ialah:

1. Mengidentifikasi akar-akar pemiskinan yang dikontrol secara global oleh kekuatan neolieralisme melalui pembentukan hegemoni kapitalisme. Misalnya, menolak konsep-konsep developmentalisme Barat seperti pembentukan negara kesejahteraan, utang luar negeri, privatisasi aset negara, liberalisasi ekonomi, dll.
2. Membangun kemandirian lokal masyarakat, khususnya dari SDM dengan menggali akar keberhasilan lokal, pengenalan potensi-potensi alam lokal dan kemudian mengarakhkan potensi manusia lokal untuk proaktif dan sinergis melakukan perubahan itu sendri.
3. Membagun daya tahan lokal terhadap arus perubahan baru yang sifatnya pragmatis dan destruktif. Serta melakukan pula proteksi sumber daya lokal secara holistik dan sistem pemberdayaan terpadu, kontinum dan efektif. Hal ini, dimulai dalam langkah yang gradual namun progrsif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar