Senin, 09 November 2009

Korupsi adalah Musuh Bangsa

James Faot
Korupsi adalah Musuh Bangsa

Korupsi adalah Musuh Bangsa
Masih segar dalam ingatan rakyat Indonesia tentang janji rezim yang berkuasa kiniSBY-Boedionoyang dalam kampanyenya menempatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean governance) merupakan salah satu pilar pembangunan. Disini, pembangunan mensyaratkan adanya pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Alhasil, mereka terpilih dan rakyat Indonesia pun menanti realisasi janji-janji ini, bukannya menunggu rasionalisasi.
Wujud jangka pendek penyelenggaraan pemerintahan SBY-Boediono dan komitmen mereka memberantas bahkan mencegah korupsi dapat kita ukur dalam program 100 Hari. Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinari crime). Korupsi seharusnya menjadi “lawan” pertama dan terutama dari pemerintah. Sebab, korupsi adalah “biang” penindasan, penghisapan dan pemiskinan rakyat dan bangsa. Tidak peduli, apakah korupsi itu terjadi dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan dilakukan oleh aparatur pemerintah, atau terjadi mulai dari tingkat RT sampai dengan Istana, korupsi harus diperangi dan para koruptor harus dihukum. Hal ini tentu dilandasi oleh kesadaran esensial yakni korupsi adalah musuh rakyat dan pemerintahmusuh bangsamusuh kita semua.
Namun, dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan SBY-Beodiono, sederet kasus korupsi yang melibatkan bermacam-macam elemen pemerintahan, korupsi dan koruptor tidak dapat diberantas. Politik koruptif nampak tumbuh subur karena pemerintah mengalami disfungsi dan bahkan menjadi bagian dalam praktek politik koruptif. Dan dalam hubungannya dengan agenda utama pemberantasan korupsi sebagaimana dijanjikan rezim SBY-Boediono, penghadapan terhadap politik koruptif akan cerminan dari sejauh mana mereka sejati terhadap komitmennya.
Polemik yang terkuak melalui apa yang disebut masyarakat Indonesia sebagai “Kriminalisasi KPK” telah menjadi jendela untuk rakyat melihat, memantau dan menilai betapa busuknya perilaku lembaga-lembaga dan aparatur negara berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi. Mengurai benang kusut korupsi sebagaiman terus-menerus dipublikasikan media, mulai dari skandal Bank Century, pencekalan dua pimpinan KPK yakni Bibit-Chandra oleh pihak Kepolisian, sosok Anggoro yang misterius dan kebal hukum, keterkaitan pejabat-pejabat Kepolisian dan Kejagung, lambatnya dan tidak tegasnya Presiden SBY, absurditas peran DPR, polemik RUU Tipikor, dan lain-lain, telah mengakibatkan munculnya reaksi protes dan perlawanan keras oleh rakyat di seluruh belahan nusantara. Ini patut dimaklumi, sebab selain rakyat telah menarik kepercayaannya dari para pejabat negara dan lembaga-lembaga hukum dan peradilan yang selama ini tidak sanggup memberantas korupsi serta mendapati bahwa baik lembaga dan aparatur negara tidak lebih sekadar “sarang” dan koruptor itu sendiri, rakyat menangkap indikasi adanya lingkar-lingkar konspiratif yang hendak “mematikan” upaya perang terhadap politik koruptif.
Fenomena ini harus tidak boleh dipandang sepele. Ia harus dibaca sebagai momentum telah terjadinya delegitimasi terhadap upaya memberantas korupsi di Indonesia, baik kepada pemimpin negara, lembaga-lembaga hukum dan aparaturnya dalam memberantas korupsi. Delegitimasi ini pun, menandai telah matinya supremasi hukum. Delegitimasi ini pun adalah gugatan terhadap eksistensi mereka yang sudah disfungsi ketika terlilit dalam lingkaran politik koruptif. Dan, delegitimasi ini adalah legitimasi rakyat atas suara telah “gagal-nya” resim SBY-Boedino dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar