Sabtu, 05 Desember 2009

Sekolah Alternatif: Suatu Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan

Sekolah Alternatif:
Suatu Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan

Oleh: James Faot

Pendahuluan
Dunia pendidikan Indonesia “rusak-rusakan”. Demikian, ungkapan Darmaningtiyas salah seorang pemerhati pendidikan nasional yang penuh kontroversi itu, atas kondisi riil dunia pendidikan kita. Terdengar sarkastik, namun tulus, kritis dan objektif untuk mengambarkan keprihatinan mendalam terhadap nasib penyelenggaraan pendidikan nasional. Tragis, apabila kita memeriksa secara saksama bahwa pendidikan yang sebenarnaya merupakan modal utama sekaligus pilar pembangunan banngsa berada dalam kerusakan kronis.

Keprihatinan mendalam akan carut-marut pendidikan, dipetakan dalam (2) dua bagian. Pertama, adanya kecendrungan pendidikan bangsa yang makin elitis dan tak terjangkau oleh kebanyakan rakyat negeri ini—terutama mereka yang miskin—lantaran tanggung jawab konstitusional yang diemban diselewengkan melalui kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan berimplikasi pada tertutupnya akses rakyat terhadap pendidikan. Kebijakan pendidikan yang diambil oleh penguasa justru memarjinalkan rakyatnya sendiri. Dan efek domoni yang destruktif menimpa masyarakat dan tatanan sosial, sehingga pendidikan menjadi alat reproduksi kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan. Demikian maka, pendidikan di tangan kekuasaan yang melakukan penghianatan konstitusi melahirkan gap sosial yang esktrim dan absolud.

Kedua, problem manjemen pendidikan yang masih birokratis dan hegemonik. Jadi, sistem pendidikan yang ada saat ini, bukanlah suatu sistem pendidikan yang memberdayakan dan populis terhadap rakyat. Ini dibuktikan melalui lahiran kebijakan yang tidak mendukung (non supporting) terhadap perwujudan pendidikan yang membebaskan atau emansipatoris. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) berlangsung dalam dunia pendidikan kita. Banyak daerah tidak memiliki sekolah, sarana dan prasarana sekolah kurang dan rusak, angka tidak melek huruf dan putus sekolah rakyat tinggi, penyunatan anggaran pendidikan, mahalnya pendidikan, sogok-menyogok kekuasaan birokrasi pendidikan, dan lain-lain dan lain-lain. Singkatnya, kebijakan-kebijakan tersebut lahir semata-mata untuk mendukung status quo dan semakin memapankan kesenjangan sosial.

Romo Mangun seorang budayawan dan pejuang kemanusiaan Indonesia juga memberikan kritik tajam terhadap cara penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam kritiknya, ia menilai bahwa pendidikan di Indonesia hanya menebarkan apa yang ia sebut sebagai “budaya bisu”. Dalam “budaya bisu” pendidikan, orientasi pendidikan adalah penyeragaman dan menganggap keanekaragaman dan perbedaan sebagai musuh. Karenanya, keanekaragaman dan perbedaan harus dinegekasikan. Padahal tersebut adalah tindakan yang bertentangan dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang dikarunia berbagai potensi. Sekolah berfungsi sebatas mal bermodel tunggal yang dipakai untuk menghasilkan siswa dengan model sesuai bentuk mal tersebut.

Sebagainama terjadi pada rezim Soeharto, mal tersebut adalah pemasungan daya pikir kritis guna membentuk kepatuhan terhadap penguasa. Internalisasi watak siswa adalah dirinya merupakan objek, inferior dan dependent. Sementara guru adalah subjek, suoerior dan independent. Semua ini merupakan alur pewarisan kebudayaan bisu pendidikan di tangan penguasa. Bukan hanya itu saja, eksperimen-eksperimen “robotik” juga diterapkan pada siswa di sekolah. Hal ini dilakukan melakui mata pelajaran yang muatannya praktis pragmatis. Pragmatisme pembelajaran ini didefenisikan oleh pasar kapitalisme demi kepentingan akumulasi modalnya. Akibatnya, kebijakan pendidikan menjadi tidak hanya tak tentu arah dan membingungkan (ambiguitas) lantaran kebutuhan dan kepentingan pasar selau berubah-ubah, tatapi juga mendehumanisasi siswa.

Memelototi fakta objektif kontradiksi-kontradiksi pendidikan dari hakekatnya sebagai sarana pembangunan manusia seutuhnya, simpulan yang ditarik Darmaningtiyas sedemikian luar biasa, yakni ”pendidikan Indonesia telah kehilangan ruhnya sebagai jembatan trasformasi sosial, akibat carut-marutnya malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan praktisi pendidikan di lapangan”.

Kondisi riil malpraktik pendidikan Indonesia sebagaimana dideskripsikan di atas, memberikan kita sinynalemen bahwa telah terjadinya distorsi cita-cita ideal pendidikan sebagai ujung tombak pencerdasan bangsa. Distorsi ini, disinyalir merupakan akibat dari adanya tarik-menarik (kohesifitas) kekuasaan. Dan, kohesifitas kekuasaan pada akhirnya mengorbankan kepentingan masa depan bangsa. Sehingga, penyelenggaraan pendidikan bukannya membebaskan, melaikan memperbudak bahkan menghisap. Kurikulum pendidikan dijadikan sekadar komoditi, indoktrinasi dan kontral atas rakyat. Implementasi pendidikan kental dengan strategi politisasi para elit kekuasaan untuk melemahkan rakyat. Sebab, jikalau rakyat menjadi cerdas dan kritis karena berpendidikan, rakyat akan memeiliki daya melawan dan menggulingkan tahta status quo mereka. Sungguh, sedemikian bejatnya pencitraan kekuasaan penguasa pada rakyatnya sendiri.
Namun, yang lebih penting lagi dari kesemua fakta ini adalah telah gagalnya penyelenggaraan pendidikan di bawah ambisi-ambisi kekuasaan para elit. Penyelenggaraan pendidikan tidak mencerminkan terakomodasinya kepentingan pemberdayaan dan pemandirian rakyat serta bangsa ini. Kerenanya, pendidikan alternatif muncul ketika kurikulum nasional dianggap tidak sesuai untuk diterapkan dalam proses belajar-mengajar. Dalam kondisi kegagalan demikian, pendidikan alternatif muncul sebagai reaksi atas kegagalan penyelenggaraan pendidikan kita. Pendidikan alternatif muncul sebagai manuver atas kegagalan penyelenggaraan pendidikan kita. Pendidikan alternatif muncul sebagai solusi atas gagalnya pemerintah menjalankan amanat konstitusional dalam bidang pendidikan bagi rakyat. Dan, pendidikan alternatif muncul sebagai kontestasi kekuasaan rakyat dalam pendidikan lantaran diskriminasi dan marjinalisasi oleh para elit kekuasaan.

Pendidikan Alternatif
Pada bagian sebelumnya, kita telah mengetahui bersama bahwa munculnya pendidikan alternatif merupakan suatu yang memiliki dimensi sejarahnya. Pendidikan alternatif muncul karena pendidikan nasional mengalami kegagalan. Pendidikan alternatif merupakan bentuk kebijakan pendidikan rakyat terhadap kebijakan pendidikan penguasa/pemerintah. Karenanya, pendidikan alternatif adalah bentuk suprem dan emansipasi pendidikan populis dan humanis.

Tidak ada satu defenisi yang dianggap baku tentang pendidikan alternatif. Hal ini dimaklumi karena kemunculannya sendiri memeliki kekhasan. Apa yang disebut pendidikan alternatif memiliki sejarahnya sendiri. Namun, ketiadaan defenisinya, tidak bolah dianggap sebagai anti-tesis terhadap eksistensi pendidikan alternatif. Sekalipun kita tidak dapat memberikan suatu defenisi baku tentang pendidikan alternatif, sejarah dan karakteristiknya dapat dijadikan sebagai kerangka umum untuk merumuskan apa itu pendidikan alternatif.

Dalam makalah tentang “Membedah Pendidikan Alternatif di Indonesia”, Jdohar mengemukakan:
“Bila kita ingin memikirkan pendidikan alternatif di Indonesia, maka kita perlu mempersoalkan mengapa kita harus mencari pendidikan alternatif itu? Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, maka kita perlu meninjau kembali keadaan pendidikan kita sekarang. Dan, apabila keadaan kita sekarang memang belum memenuhi harapan tentunya kita perlu memikirkan alternatif mencari paradigma pendidikan baru yang diduga dapat menjadi dasar penyelesaian atas kelemahan pendidikan kita”.

Nampak eksplisit apa yang disampaikan Djohar bahwa pendidikan alternatif menunjuk pada suatu pemahaman akan usaha usaha mencari dan menemukan pilihan lain terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan negara. Kalimat “pilihan lain” berkaitan dengan pilihan ideologi, paradigma, model dan pendekatan pendidikan yang baru dan berbeda sama sekali sebagai pengganti yang lama. Karena yang lama dipandang memiliki problem-problem fundamental bahkan gagal total untuk mencapai tujuan pendidikan yang hakiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar