Senin, 07 Desember 2009

“PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SE-DUNIA”

FRONT RAKYAT ANTI KORUPSI NUSA TENGGARA TIMUR
FRAKSI – NTT
LMND Ekskot.Kupang, PMKRI Cab.Kupang, PRD NTT, SRMI NTT, GERSAK Kupang, GMNI Cab.Kupang, GMKI Cab.Kupang, SEMA UNWIRA, BPM FKIP UKAW, BLM UNDANA, KMK Hukum UNDANA, KMK UKAW, KEMAS, GMPI Cab. Kupang, PERMASI, dan GEMA
“PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SE-DUNIA”
09 DESEMBER 2009

PERNYATAAN SIKAP

Momentum Hari Anti Korupsi Se-dunia yang jatuh pada taggal 09 Desember 2009, merupakan cerminan komintmen Masyarakat Internasional―termasuk Indonesia―untuk melawan dan memberantas kejahatan korupsi. Korupsi sebagai suatu kejahatan yang sistemik dan bahkan melembaga telah menjadi salah satu ‘akar’ penyebab penderitaan umat manusia. Kerena dampaknya yang sedemikian destruktif, korupsi kemudian kategorikan sebagai suatu Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime). Dan kerenanya, diperlukan cara-cara ‘Luar Biasa’ pula untuk melawan serta memberantasnya.

Menjelang momentum Hari Anti Korupsi Se-dunia ini, bangsa Indonesia diterpa dengan problem-problem krusial berkaitan dengan Korupsi. Berada pada posisi pertama sebagai negara terkorup di Asia Tenggara, sangat disayangkan bahwa masalah-masalah korupsi di Indonesia, justru banyak terjadi di lembaga-lembaga negara dan para pejabatnya. Lembaga-lembaga dan pejabat-pejabat negara yang sebenarnya harus menjadi panutan rakyat hanya meneladankan mentalitas dan tindakan bobrok dan memalukan citra bangsa. Dan lebih parahnya, perilaku ini tak dapat disangkal telah menjadi warisan turun-temurun bagi generasi lanjutan sehingga apa yang disebut sebagai “budaya koruptif” dikonsturusikan dan menjadi “ruh” aparatur negara. Kejahatan korupsi akhirnya menjadi sesuatu yang “lazim” dilakukan. Jargon pemberantasan korupsi hanya laku sekadar komoditas politik para penguasa untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat. Dan, yang lebih penting di mata rakyat adalah “dagangan-dangangan politik” seperti pemberantasan korupsi yang keluar dari mulut para penguasa hanyalah “lips service” semata.

Ketika pesimisme rakyat makin menguat dan berubah menjadi apatisme akut terhadap eksistensi dan integritas lembaga serta pejabat negara (Kepolisian dan Kejaksaan) dalam melawan dan memberantas korupsi di Indonesia, harapan baru (new of hope) untuk membangkitkan spirit perlawanan dan pemberantasan korupsi muncul dari salah satu lembaga negara yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak dapat disangkal dari sekian banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh para koruptor kakap baik dari unsur pemerintahan, politisi dan pengusaha hampir tak ada yang lolos dari jeratan hukum. Track record demikian dengan sendirinya membentuk integritas dan kredibilitas KPK sebagai simbol pemberantasan korupsi di Indonesia.

Namun, prestasi yang demikian dibanggakan rakyat tidak membuat para koruptor bangga lantaran KPK menjadi ancaman mematikan bagi mereka. Upaya pelemahanpun dilakukan. Disinyalir, tarik menarik penyelesaian UU TIPIKOR merupakan salah satu uapaya pelemahan. Kemudian yang paling fenomenal adalah apa yang kita semua tau sebagai “Kriminalisasi KPK”. Skenario/drama ‘Kriminalisasi KPK’―sebagai lembaga super body pemberantasan korupsi sekaligus momok bagi para koruptor di Indonesia―terindikasi kuat melibatkan Institusi Kepolisian dan Kejaksaan. Juga dicurigai melibatkan link Keprisidenan. Mereka yang sejatinya diberikan kewenangan konstitusional untuk memberatas korupsi justru mereka berkecimpung dalam kubangan politik koruptif. Dan, implikasinya amat buruk; rakyat bangsa Indonesia menelan luda pahit karena harus kehilagan sejumlah besar dananya, lalu hidup dalam kemiskinan dan penderiataan yang multidimensional.

Sudah menjadi bukti ‘telanjang’ di mata rakyat bangsa ini bahwa pencekalan dua pimpinan KPK yakni Bibit-Chandra adalah murni rekayasa. Hal ini dibuktikan melaui salah satu rekomendasi TPF/Tim 8 untuk di SP3-kan kasus Bibit-Chandra, yang akhirnya benar-benar di SP3 oleh Kejaksaan―hal ini tentunya turut dipengaruhi oleh gerakan politik rakyat sebagai perlawanan atas konspirasi para elit negara untuk mengkriminalisasi KPK. Singkatnya, pencekalan pejabat KPK (Bibit-Chandra) adalah omong kosong dari aparat Kepolisian, Kejaksaan, konglomerat hitam dan Mafia Kasus seperti Anggodo yang sampai saat ini, rakyat belum melihat upaya signifikan aparat hukum untuk menangkapnya. Impotensi-impotensi penegak hukum kemudian menebar bau kecurigaan rakyat bahwa ‘Si Super Anggodo’ memegang ‘Kartu AS’ skenario kriminalisasi KPK sebagai bentuk mematikan langkah KPK untuk mengusut tuntas skandal dana talangan (bail-out) dari Bank Indonesia ke Bank Century senilai Rp. 6.7 triliun.

Di tengah polemik kriminalisasi KPK, wacana perlu dilakukannya hak angket atas skandal Bank Century di hembus dari DPR RI. Skandal Bank Cetury sebesar Rp. 6,7 triliun itu dipandang sebagai problem kebangsaan yang urgen untuk di usut secara serius. Apalagi, skandal ini melibatkan Boediono yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI), Sri Mulyani yang menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Raden Pardede selaku Sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK). Selain itu, juga berkembang berita bahwa dana bail out Bank Century mengalir ke kas Partai Demokrat sebagai dana kampanye pemenangan pemilu 2009, sehingga dipandang sangat mengancam status quo rezim SBY sekarang. PDI Perjuangan sebagai parpol inisiator hak angket Bank Century berupaya mengumpulkan dukungan politisi dari parpol lainnya, namun hanya partai Demokrat yang menolak untuk menggunakan dan mendukung hak angket DPR dengan alasan tidak ada masalah dengan kebijakan itu dan masih menunggu hasi audit BPK (Badan Pemeriksa Keuagan).

Berdasarkan hasil audit BPK jelas-jelas menunjukan bahwa kebijakan bail out Bank Century adalah kriminal murni. Kasus Bank Century dipandang merugikan keuangan negara karena tidak wajar bakn tersebut menerima suntikan dana dari BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Bank Century menerima dana Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) pada 14 November 2008 sebesar Rp.356,81 miliar, 17 November 2008 sebesar 145,26 miliar, dan 18 November 2008 187,32 miliar. Bank Century juga menerima dana dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 23 November 2008 sebesar Rp.2,77 triliun, pada 5 Desember 2008 Rp.2,2 triliun, pada 3 Februari 2009 sebesar Rp.1,5 miliar dan pada 21 Juli 2009 sebesar Rp.630 miliar. Dalam temuan bail out Bakn Century adanaya tindak pidana korupsi dan penyalagunaan kekuasaan atau kebijakan bail out merupakan perbuatan pidana melampaui kewenangan dengan mencairkan dana tanpa payung hukum karena pencairan tersebut dilakukan setelah DPR menolak Perppu No 4/2008 tentang Pengamana Sistem Pengaman. Dan penolakan ini dengan sendirinya membuat aturan tersebut tidak berlaku untuk dijadikan payung hukum bail out.

Demikian pula banyak kalangan yang mendukung hasil audit investigatif BPK, memberikan pandangan yang cukup kredible terkait kebijakan bail out Bank Century adalah tindak pidana korupsi. Menurut Yanuar Rizki dari Indonesia Corruption Watch (ICW), karena skandal Bank Century merupakan tindak pidana korupsi, maka upaya mengusutan harus difokuskan pada pencarian konstruksi pidana korupsi. Oleh karenanya, ICW memberikan dukungan kepada KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang memiliki kredibilitas dibandingkan Kepolisian dan Kejaksaan, untuk mengaudit tindak pidana korupsi terkait bail out Bank Century. Juga menurut ICW, telah ada permintaan KPK kepada BPK untuk mengaudit Bank Century, namun hal itu tidak diberikan. Sebagaimana ditegaskan oleh Tim Indonesia Bangkit (TIB) bahwa pemberian dana talangan Bank Century merupakan tindakan kriminal murni dan tidak ada kaitannya dengan ancaman krisis global seperti dikatakan oleh Boediono dan Sri Mulyani juga kroni-kroni mereka. Menurut pegamat ekonomi ITB, Ichanudin Noorsy bahwa kebijakan bail out di bawah keputusan Boediono dan Sri Mulyani adalah ilegal dan karenanya harus diusut sampai tuntas dengan menangkap mereka yang terlibat didalamnya. Demikian pula, dikemukakan oleh beberapa politisi secara resmi (Gayus Lumbun, Eva Sundari dan Abdilah faizi Ahmad) yang pada waktu pembahasan bail out di Senayan hanya menyetujui pencairan dana sejumlah Rp.1,3 triliun, namun keputusan tim pengambil kebijakan justru mengucurkan dana sebesar Rp.5,4 triliuan. Karenanya, kebijakan di luar keputusan ini dinilai sebagai bukti telah terjadi tindak pidana korupsi. Bahkan, menurut Forum Petisi 28 kebijakan bail out Bank Century dipandang dilakukan dengan sepengetahuan Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden RI, sehingga tidak tertutup kemungkinan Presiden SBY pun harus diperiksa. Singkatnya, Skandal Bank Century merupakan persekongkolan tingkat tinggi untuk merampok uang negara dari BI melalui Bank Century.

Hasil audit BPK kemudian memaksa Demokrat untuk meloncat naik dalam kendaraan hak angket DPR terkait skandal Bank Century. Namun, kecurigaan rakyat yang semakin kritis, hal ini dilakukan bukan untuk menyatakan diri sebagai bagian dari Fraksi yang juga berkomintmen terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Melainkan, potensial bertendensi kepentingan sabotase tujuan hak angket sebagaimana terjadi dalam sejarah hak angker DPR. Tidak dapat dipungkiri oleh siapaun bahwa kekhawatiran tentang berlangsungnya kompromi-kompromi politik beberapa Fraksi koalisi Demokrat akan membawa ‘titipan kepentingan penggagalan’ hak angket Bank Century. Jadi, kompromi politik parpol koalisi juga merupakan ketakukatan tersendiri oleh rakyat Indonesia yang sudah muak dengan seringkali lolos para pejabat dari hukuman terkait kasus-kasus korupsi yang mereka lakukan. PANSUS hak angket DPR telah terbentuk pada Jumat, 04/12/09 dan diketuai oleh Idrus Marham dari Fraksi Golkar. Namun, sejarah hak angket di masa SBY yang dilakukan sudah lima kali berkahir dengan kebuntuan, patut membuat rakyat bersikap kritis dan tegas untuk mengawalnya secara intensif demi perwujudan Indonesia yang bebas dari korupsi. Sebab, sejarah kita mengatakan bahwa para anggota dewan bukannya memposisikan diri sebagai sebagai wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat, malah mereka menempatkan diri sebagai wakil elit partai dan hamba amplop-amplop tebal yang beredar dibawah meja sidang.

Dari keseluruhan masalah krusial berkaitan dengan pemberantas korupsi di Indonesia, kondisi riil ketidaktegasannya dalam memberantas korupsi adalah cerminan inkonsistensinya. Demikian pula, kami menyayangkan sikap SBY yang reaksioner dan naif karena menuding ‘gerakan 9 Desember 2009’ sebagai apa yang disebutnya sebagai ‘gerakan penggulingan rezimnya’. Sikap demikian tidak hanya menciderai kemurnian gerakan rakyat Indonesia untuk melawan korupsi di Indonesia, tetapi telah membuktikan adanya kontradiksi dalam komitmen SBY untuk membangun suatu pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Ini sama saja dengan SBY mendorong rakyat bangsa ini jatuh dalam sikap melegitimasi praktik korupsi dan membiarkan para koruptor bebas dari hukuman. Oleh karenanya, janji kampaye SBY tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean governance) harus dinilai oleh rakyat sebagai suatu ‘KEGAGALAN’. Tegasnya, sebelum 100 hari, SBY telah terbukti gagal dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Apalagi, dalam ‘rumah tangganya’ sendiri terlibat skandal-sakandal korupsi uang rakyat bernilai triliunan rupiah. Bagaimana rakyat dapat mengharapkan SBY sebagai pucuk pimpinan bangsa menyelesaikan problem korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) dan telah menyengsarakan bangsa, jika ada indikasi kuat keterlibatan dirinya dan pembantu-pembantunya dalam penyelewengan dana-dana rakyat?

Mengacu pada deskripsi problematika pemberantasan korupsi di atas, pada momentum Hari Anti Korupsi Se-Dunia ini, Kami yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Korupsi Nusa Tenggara Timur (FRAKSI – NTT), menyampaikan beberapa tuntutan sebagai wujud sikap politik rakyat NTT terhadap masalah korupsi di Indonesia, yakni;

1. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menonaktifkan Wakil Presiden Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Sekretaris KKSK Raden Pardede, Jaksa Agung Hendarman Supanji dan Kapolri Bambang Hendarso Danuri.
2. Mendesak Presiden dan DPR untuk memerintahkan pengusutan skandal Bank Century ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
3. Mendesak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menyerahkan seluruh bukti aliran dana Bank Century kepada PANSUS hak angket Bank Century dan KPK, sehingga siapa pun yang menerima dana talangan dari BI harus bertanggung jawab.
4. Transparansi kinerja PANSUS hak angket; melakukan penyiaran secara lansung di media televisi dan radio sehingga rakyat memperoleh informasi sekaligus mengontrol jalannya kerja PANSUS.
5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus melakukan penyadapan terhadap anggotas PANSUS hak angket.
6. Mendesak Presiden untuk segera megeluarkan KEPRES untuk mengaktifkan kembali Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamsah sebagai Ketua KPK.
7. Menuntut seluruh Fraksi yang ada di DPR Propinsi NTT untuk menandatangani Memorandun Of Understanding (MOU) sebagai bentuk nyata komitmen mereka selaku wakil rakyat NTT sekaligus akan terus mengawal secara sungguh-sungguh pengusutan skandal Bank Century.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat sebagai bentuk keperihatinan kami terhadap kondisi bangsa tercinta ini dan secara lebih khusus persoalan penegakan hukum yang semakin memalukan.

Kupang, 09 Desember 2009
FRONT RAKYAT ANTI KORUPSI
NUSA TENGGARA TIMUR
(FRAKSI - NTT)

DPC PMKRI Kupang


Yoakhim Abi
Ketua BPC GMKI Kupang


Ebiets Massu
Ketua LMND Eksekutif Kota Kupang

Are Depeskim
Ketua
GERSAK Kupang


Elsy Hada Indah
Ketua SRMI NTT

Rio Ello
Ketua PRD NTT

Donatus Jo
Ketua
GMNI Kupang

Blasius Timba
Ketua SEMA UNWIRA Kupang

..............
Ketua BLM UNDANA Kupang

..............
Ketua

BPMF KIP-UKAW


Lenso Berry
Ketua
KMK HUKUM UNDANA

Gregorius Dae
Ketua KMK UKAW Kupang

Gordi Nahak
Ketua
GMPI Cab. Kupang

...............
Ketua KEMAS

.................
Ketua PERMASI

................
Ketua
GEMA Kupang

Bedi Roma
Ketua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar