Sabtu, 05 Desember 2009

Revolusi sebagai Solusi?

Revolusi sebagai Solusi?


Deddy Mansyur dalam milis FPK menyebut REVOLUSI (dengan huruf besar) sebagai jalan keluar dari rumitnya persoalan yang membelit Indonesia. Ketika deraan masalah bertubi-tubi kita rasakan, tentu saja bukan cuma Deddy seorang yang meyakini revolusi sebagai solusi. Dengan segala hormat, saya ingin melihat persoalan ini dari dua sisi, dan mudah-mudahan saya dapat berdiri di atas objektifitas yang bersifat relatif.

Pertama, jalan keluar ini berangkat dari perspektif yang menitikberatkan pandangan pada negara. Dapat kita sebut secara mudah sebagai ‘negara deterministik’. Sebagai catatan, negara dalam hal ini dimaknai sebagai pemerintah vis a vis rakyat, bukan dalam konteks nationstate. Dengan kerangka pandangan seperti ini, kita akan melihat negara sebagai pokok persoalan. Pendekatan ini cenderung bersifat struktural, tetapi ada penyederhanaan relatif terhadap kompleksitas persoalan; yaitu bahwa akar persoalan dilihat sepenuhnya ada pada negara. Sebagai suatu penyederhanaan tentu saja hal ini mengaburkan realitas bahwa persoalan bangsa ini sesungguhnya amat kompleks. Saya yang lebih banyak diam, tetangga saya yang mencoblos Golkar pada Pemilu 1997, atau seorang kawan yang menyuap demi bisa mendapatkan SIM juga menyumbang kesalahan. Meski dapat dipandang bahwa di antara berbagai pihak yang menyumbang kerumitan persoalan yang membelit kita, negaralah aktor yang menyumbang kesalahan terbesar.

Kedua, jalan keluar lewat revolusi dapat pula dibaca sebagai gambaran betapa rasa frustrasi rakyat terhadap keadaan negeri ini mulai menuju titik kritis (menuju pematangan?). Tetapi, hal yang sama mungkin juga berarti kegemaran rakyat Indonesia akan penyelesaian-penyelesaian yang bersifat ‘jalan pintas’. Revolusi, bagaimana pun merupakan jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan secara cepat dan tuntas. Tetapi, dalam kenyataannya adakah revolusi yang cepat dan tuntas itu? Agaknya tidak, atau minimal belum ada. Revolusi Bolzhevik, Revolusi Kebudayaan, Revolusi Tulip, Revolusi Oranye, dan revolusi-revolusi lain selalu tidak tuntas, menyisakan residu, bahkan ‘dosa politik warisan’ yang mesti ditanggung oleh generasi penerus hingga hari ini. Oxford Advanced Learner’s Dictionary mengartikan revolusi sebagai ‘suatu upaya untuk mengubah sistem pemerintahan, terutama secara paksa; suatu perubahan metode, kondisi yang menyeluruh atau dramatis’. Kenyataannya hingga kini belum pernah ada perubahan politik yang bersifat total, menyeluruh dalam sejarah negara bangsa modern.

Tetapi, baiklah kalau memang saat ini revolusi adalah jalan terbaik dan tercepat menuju perubahan kehidupan yang demokratis. Coba kita dedah persoalan ini lebih cermat. Dengan mengacu pada Gelombang Ketiga Demokratisasi-nya Huntington, disebutkan bahwa salah satu jalan menuju demokratisasi adalah replacement. Suatu pergantian kepemimpinan melalui jatuhnya rezim otoriter yang berganti dengan naiknya kekuatan pro-demokrasi yang hendak memperbarui tatanan. Apakah bentuk pergantian yang demikian yang diangankan oleh Deddy atau para pendukung diwujudkannya revolusi di Indonesia? Jika ya, tampaknya sekadar pergantian kepemimpinan terlalu prematur untuk disebut sebagai revolusi. Jika tidak, jalan menuju perubahan yang menyeluruh tampaknya membutuhkan perjalanan panjang; karenanya tidak layak untuk disebut sebagai revolusi (mungkin evolusi?).

“Seorang revolusioner yang paling radikal akan menjadi seorang konservatif sehari setelah revolusi usai”, demikian sebut Hannah Arendt. Bagaimana tidak, setelah menduduki takhta tentu saja sang penguasa yang dulunya radikal revolusioner itu mesti berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya sekaligus mengupayakan agar kepentingan-kepentingannya yang telah terakomodasi oleh kekuasaan tidak tergerus. Maka, jadilah dia sang konservatif. Kecenderungan umum yang terjadi adalah bahwa revolusi melahirkan kediktatoran baru. Lenin, Castro, Mao, adalah contoh betapa sang pemimpin besar revolusi berbalik menjadi hantu diktator yang menakutkan bagi rakyatnya. “The revolution is a dictatorship of the exploited against the exploiters”, kata
Fidel Castro. Kediktatoran ini terlahir karena kepemimpinan yang kuat dari sang penggagas revolusi. Kepemimpinan yang kuat ini mengarah kepada keberjarakan sang pemimpin dari rakyat. Akibatnya, pemimpin tidak hanya sulit disentuh secara fisik oleh rakyat, melainkan pula sulit disentuh melalui kritik tajam.

Pada akhirnya, perubahan memang suatu kemendesakan sejarah bagi Indonesia. Jika tidak, barangkali negeri ini bakal menuju peraduannya yang terakhir untuk karam dalam perjalanan sejarah yang belum usai. Saya menyetujui suatu perubahan yang menyeluruh. Saya mengamini suatu perubahan yang menyentuh akar sosio-politik dan sosio-budaya di negeri ini. Tetapi, perubahan semacam ini tampaknya lebih mungkin diwujudkan melalui pembaruan yang gradual menuju suatu tatanan yang sepenuhnya baru. Sebab, perubahan yang demikian memungkinkan setiap orang untuk mengambil tempat, menyumbang peran bagi perubahan yang memang mesti digerakkan oleh masyarakat sebagai suatu entitas yang solid dalam kohesivitas. Suatu masyarakat partisipatoris dengan pandangan yang searah akan Indonesia yang demokratis dan makmur.

http://arifsusanto.blogspot.com/2005/10/revolusi-sebagai-solusi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar