Jumat, 26 Maret 2010

ALIANSI RAKYAT PEDULI PEDAGANG (ARPP) (LMND EKS. KOTA, SRMI, GERSAK, PMKRI, IPELMEN)

PERNYATAAN SIKAP
Pengantar
Tak dapat dipungkiri bahwa pedang (pelaku UMKM) merupakan salah satu actor penggerak ekonomi yang memiliki peran signifikan dalam pembangunan ekonomi dan kesejahteraan daerah. Walaupun demikian, dalam kaitannya dengan pengelolaan pasar tradisonal sebagai mesin pertumbuhan ekonomi daerah, posisi dan nasib pedagang seringkali mendapatkan perlakuan yang kurang adil, tereksploitasi dan termarginalisasikan. Salah satu sebab dari posisi atau nasib pedagang yang tidak menguntungkan ini seringkali berkaitan dengan penentuan dan pengelolaan retribusi pasar oleh pemerintah.

Sebagaiman dipahami bersama bahwa retribusi pasar merupakan salah satu sumber pendapatan yang sangat potensial bagi suatu daerah. Dimana retribusi tersebut mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pelaksanaan otonomi daerah dan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, retribusi sebagai pungutan daerah atau pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan harus dilandasai pada nilai-nilai keadilan, keseimbangan dan kesejahteraan. Sebab, hasil dari pungutan retribusi tersebut selanjutnya akan digunakan untuk kelangsungan kehidupan pemerintahan daerah yang bersangkutan, terutama untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Jadi, retribusi bukan hanya merupakan hak memungut dari perintah dan kewajiban membayar dari mereka yang dikenakan retribusi atas suatu jasa yang disediakan pemeritah, melainkan pula reribusi merupakan kewajiban pemerintah untuk mengelolanya kembali, memberikan umpan balik secara proporsional kepada mereka yang membayarnya sebagai hakdan untuk itu, pemerintah wajib memenuhinya. Hasil dari pungutan retribusi tersebut selanjutnya akan digunakan untuk kelangsungan kehidupan pemerintahan daerah yang bersangkutan, terutama untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Sehingga, pengelolaan retribusi pasar benar-benar mencerminkan manajemen keuangan daerah dari hasil retribusi didasari pada semangat akuntabilitas dan transparansi manajerial yang efektif.

Seringkali, akibat pengelolaan retribusi pasar yang kurang didasarkan pada nilai-nilai seperti keadilan, keseimbangan dan kesejahteraan serta tranparansi dan akuntabilitas, maka upaya pengelolaan retribusi pasar hanya menguntungkan salah satu pihak dan sebaliknya merugikan pihak yang lain. Masalah–masalah yang tersebut seperti pendobelan pemungutan retribusi atau pemungutan retribusi pasar di luar ketentuan, keluhan pedagang atas kondisi pasar yang ditempati untuk berjualan tidak strategis, keluhan pedagang atas akan dinaikkannya retribusi yang tidak dimbangi kemampuan penghasilan serta tidakadanya perbaikan pelayanan yang mereka terima, dll.

Berkaitan dengan persoalan hutang piutang antara Pedagang Swadaya dengan PD. Pasar Kota Kupang, maka, kehadiran kami dari Aliansi rakyat Peduli Pedagang (ARPP) di Kantor DPRD Kota Kupang bermaksud untuk mendialogkan persoalan ini bersama dengan beberapa pihak terkait seperti Pemerintah Kota Kupang, Dinas Pendapatan Daerah Kota Kupang Dan Perusahaan Daerah Pasar Kota Kupang. Adaupun maksud lain yang kami inginkan dalam dialog ini ialah menjernikan duduk perkara persoalan hutang piutang ini dan mencari sosuli penyelesaiannya yang strategis, demi menciptakan suatu kondisi perekonomian deerah yang kondusif, efektif dan produktif bagi peningkatan pelayanan pemerintahan dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat Kota Kupang.

Oleh karenanya, kami mengharapkan suatu sikap apresiatif dan responsif dari pihak DPRD Kota Kupang dan pihak-pihak lain yang kami pandang perlu untuk memberikan berbagai in put guna menyelesaikan problem ini. Mengingat, beberpa waktu kebelakang ini, para pedagang dang pihak pemerintah, baik dalam hal ini PD. Pasar Kota Kupang dan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Kota Kupang ada dalam admosfir yang menegangkan dan memberikan tekanan yang secara phsikis/mental terhadap Pedagang Swadaya, sehingga tidak secara efektif menjalankan usaha mereka. Selain itu, ditambah dengan berbagai problem lain yang mereka hadapi terkait dengan persoalan pokok yakni hutang atau posisi mereka sebagai terhutang kepada pemerintah yang harus diakui memberikan dampak yang amat sigifikan dalam menjangkau titik kesejahtraan bukan hanya secara pribadi melaikan dalam konteks yang lebih luas yakni keluarga. Frustrasi lainnya ialah persoalan posisi dagangan mereka yang tidak strategis dalam erea pasar atau posisi yang “mati” dan ini menjadikan mereka tidak beruntung dalam menjalankan usaha mereka.

Singkatnya, kembali pada kesadaran yang esensi bahwa dialog ini coba didudukan pada perspektif humanistic dan komunikatif, dimana jangan sampai problem-problem ini, karena tidak diselesaikan secara afir oleh kedua belah pihak, pada akhirnya akan mencabut akar kehidupan masyarakat pedagang, kerena dalam otoritas normative, negara/pemerintah mengambil kebijakan untuk mendongkrak keluar pedagang dari ranah dimana mereka menggantungkan kehidupannya dan keluarga.

PERMASALAHAN PEDAGANG SWADAYA PASAR KASIH
Kronologi
Kronologi ini dibuat untuk membantu kita dalam mendudukan persoalan yang dihadapi oleh pedagang swadaya di pasar kasih dan mengkonstruksikan secara benar apa yang menjadi titik picu awal dari problem ini serta membantu kita dalam mencari solusi yang terbaik guna memperlancar kegiatan ekonomi pedagang dan pemenuhan kesejahteraan mereka.

Pada tahun 2002 Pemerintahan Kota Kupang merbitkan Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pasar. Namun, karena kebijakan retribusi yang diterapkan ini dinilai tidak berpihak pada kepentingan para pelaku ekonomi mikro, kecil dan menengah (UMKM), maka para Pedang memprotes dan menolak pemberlakuan PERDA ini dengan melakukan perjuangan melalui advokasi dan demonstrasi guna menuntut pihak Pemerintah Kota dan DPRD Kota Kupang mencabut PERDA ini.

Secara konsisten, pedagang di Wilayah Kota Kupang berhasil melakukan penuntutan sampai pada tingkatan mendesak Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) untuk mencabut PERDA Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pasar yang baru diterbitkan. Tuntutan pedagang mendapatkan respons positif dari MENDAGRI yang waktu itu dijabat oleh Hari Sabarno. Dalam Surat Keputusan MENDAGRI tertanggal 18 eptember 2003 Nomor 188.342/2265/SJ, MENDAGRI menilai bahwa Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pasar sangat memberatkan pedagang dan bertententangan dengan Undang-Undang Nomor Tahun 2002 mengeluarkan 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Surat Keputusan MENDAGRI waktu itu ditujukan kepada Walikota Kupang dan pada bagian MEMUTUSKAN serta MENETAPKAN dinyatakan: “Untuk membatalkan PERDA Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pasar, dengan alasan bertentangan dengan kepentingan umum dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerinta Nomor 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi daerah, karena mengenakan beberapa kali pungutan ataus objek yang sama dapat meresahkan masyarakat pemakai fasilitas pasar”. Dan, “Agar Walikota Kupang menghentikan pelaksanaan PERDA Kota Kupang Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pasar paling lambat 7 hari sejak ditetapkan keputusan ini.” Berkaitan dengan SK MENDAGRI, maka diminta oleh MENDAGRI supaya segera DPRD Kota Kupang mengusulkan proses pencabutan atau revisi PERDA Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pasar tersebut.

Selama masa revisi PERDA Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pasar, maka terjadi kevakuman aturan retribusi pasar. Dalam masa revisi ini, jika pemerintah tidak mengeluarkan edaran apaun yang berkaitan dengan bagimana pedagang membayar harus retribusi, maka dengan sendirinya, acuan pembayaran retribusi akan mengacu pada aturan yang ada sebelum dilahirkannya PERDA Nomor 10 Tahun 2002dalam kasus pedagang swadaya, mereka harus membayar retribusi selama masa revisi PERDA Nomor 10 Tahun 2002 dengan mengacu pada aturan sebelumnya yakni sewa pakai tanah Rp.75.000/petak.

Namun, sekiranya pemerintah, dalam masa revisi PERDA Nomor 10 Tahun 2002, mengeluarkan suatu acuan regulative berkaitan dengan pembayaran retribusi, maka tentulah pembayaran retribusi harus mengacu pada aturan itu. Berdasarkan pengakuan para pedagang swadaya, selama proses revisi PERDA Nomor 10 Tahun 2002, pemerintah mengupayakan mengadakan kesepakan dengan pedagang swadaya untuk tetap membayar retribusi harian sebesar Rp.1.000 dan bulanan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan penghasilan para pedagang. Sehingga, ada pedagang yang membayar, misalnya Rp.50.000, Rp.100.000, Rp.200.000, dst.

Pada tahun 2006, Pemerintah Kota Kupang memberlakukan PERDA Kota Kupang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Retribusi Pelayanan Pasar. Setelah Perda ini diberlakukan, maka PD. Pasar memberlakukan secara surut/berlaku mundur PERDA Kota Kupang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Retribusi Pelayanan Pasar mulai dari tahun 2003, dimana pembayaran-pembayaran retribusi sewa tanah pedagang pasar swadaya yang sejak masa revisi PERDA Nomor 10 Tahun 2002, berdasarkan kesepakatan pedagang dengan PD. Pasar bahwa pedagang hanya membayar retribusi harian dan bulanan sesuai dengan kemampuannya masing-masing justru dianggap sebagai hutang pedagang kepada DP. Pasar terhitung sejak 2003-2005. Dan, akibat pemberlakukan PERDA Nomor 12 Tahun 2006 ini, maka terjadi akumulasi hutang yang cukup besar dan memberatkan para pedangan swadaya dan terhitung sejak tahun 2003-2009/2010.

Analisis
I. Pemberlakuan pembayaran retribusi secara surut/mundur sejak tahun 2003-2005 berdasarkan PERDA Nomor 12 Tahun 2006 tidak dapat dilakukan.

Rekam historis yang coba dikonstruksikan dalam bagian kronologis masalah pedagang pasar di atas, kami coba mengurainya dengan memulainya dari awal masalah ini muncul. Beberapa rumusan pertanyaan problematic dipakai untuk membantu menganalisis masalah ini.

Sebelum PERDA Nomor 10 tahun 2002 diberlakukan, landasan aturan apakah yang dipakai sebagai dasar penarikan retribusi kepada para pedagang swadaya? Dan berapakah besaran retribusinya?

Sejauh ini, ketentuan atau aturan yang berkaitan dengan pembayaran retribusi pasar yang harus dibayarkan oleh Pedagang Swadaya di Pasar Kasih, sebelum diberlakukannya PERDA Nomor 10 Tahun 2002 mengacu pada kontrak yang dilakukan oleh Pedagang Swadaya dengan Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) Kota Kupang. Dalam kontrak ini, biaya retribusi yang harus dibayakan oleh Pedagang Swadaya dihitung berdasakan Petak yang dipakai oleh Pedagang Swadaya dengan hitungan perpetak dibayar sebesar Rp.75.000 pertahun.
Pada waktu Pemerintah Kota Kupang mengeluarkan PERDA Nomor 10 Tahun 2002, ternyata PERDA ini ditolak bukan hanya oleh pedagang, melainkan oleh juga ditolak oleh MENDAGRI. Setelah perda ini ditolak, maka ada pertannyaan baru yang perlu diajukan yakni:

1. Adakah dan peraturan atau regulasi apakah yang dipakai untuk menarik retribusi dari Pedagang Swadaya selama masa revisi PERDA Nomor 10 Tahun 2002?
2. Berapakah besaran tarif retribusinya?
3. Kapan mulai diterapkan?
4. Apakah Pedagang Swadaya mengetahuinya?
5. Bagaimana mereka mengetahui?
6. Apakah mereka menyepakaitinya?
7. Bagaimana kesepakatan itu dilakukan?
8. Sampai kapan peraturan atau regulasi tentang retribusi itu diberlakukan?
9. Bagaimana pedagang swadaya menjalankannya?

Deretan pertanyaan-pertanyaan di atas hanya akan terjawab apabila ada regulasi tentang pungutan retribusi pada pedagang swadaya sebagai pengganti PERDA Nomor 10 Tahun 2002 yang sedang direvisi. Namun, apa bila tidak, maka akan ada pertanyaan-pertanyaan lain yang dapat diajuakan.

1. Bagaimana sampai pedagang swadaya berhutang kepada PD. Pasar?
2. Apa landasaran atauran tentang retribusi yang dipakai PD. Pasar untuk menyatakan bahwa pedagang swadaya memiliki hutang?
3. Bagaimana cara perhitungan hutang retribusi kepada pedagang swadaya, sehingga besaran-besaran tarif retribusi yang dianggap dihutang oleh pedagang swadaya kepada PD. Pasar?
4. Apakah pemberlakukan hutang retribusi dari pedagang swadaya ini dengan besaran-besaran sebagaiman tertera dalam kwitansi pembayaran tentang jumlah hutang merupakan besaran hutang yang diberlakukan sebagai konsekwensi dari suatu kebijakan perhitungan mundur/berlaku surut dari PERDA baru sebagai hasil revisi dari PERDA yang ditolak pada tahun 2002?
5. Jika ya, bagaimana mungkin suatu perda yang baru diberlakukan pada tahun tertentu diterapkan secara berlaku? Bukankah, akibat pemberlauan surut perda Baru ini, telah mengakibatkan pedagang berhutang? Sebab, seandainya pedagang berhutang kepada PD. Pasar hanya apabila pada masa revisi PERDA pemerintah Kota Kupang mengeluarkan semacam edaran atau peraturan pengganti PERDA yang sedang direvisi, dan pedagang swadaya tidak melunasinya. Namun, bisa diasumsikan bahwa hutang itu sekalipun dihitung dengan bunganya tidak akan sebesar hutang-hutang yang ada sekarang.

Jika tak ada peraturan pengganti tentang penetapan dan penarikan retribusi pada pedagang selama masa revisi PERDA Nomor 10 Tahun 2002, maka:

1. Bukankah secara otomatis, pedagang swadaya PD. Pasar dan Pedagang Swadaya dalam pembayaran retribusi harus mengacu pada ketetapan-ketetapan kontrak yang ada sebelum diterapkannya PERDA Nomor 10 Tahun 2002.
2. Dan, mengingat kontrak ini, memiliki masa berlaku tertentu, apakah PD. Pasar melakukan kontrak baru dengan pedagang swadaya sebagai bentuk penegakan aturan tentang retribusi selama adanya revisi PERDA Nomor 10 Tahun 2002?
3. Jika ada, maka apakah terdapat dokumen kontrak yang bisa diacu kedua belah pihak sebagai landasan aturan pemungutan retribusi kepada pedangan swadaya?
4. Jika ada, maka berapakah besaran kontrak sebagai bentuk retribusi itu? Apakah sama seperti yang diterakan dalam kwitansi pembayaran retribusi sebagai hutang retribusi pedagang swadaya kepada PD. Pasar?

Jika, kontrak ini tak ada, maka dengan sendirinya tidak ada alasan bagi PD. Pasar untuk menyatakan bahwa pedagang swadaya berhutang, khususnya selama masa revisi PERDA Nomor 10 Tahun 2002 yakni jenjang waktu selama tahun 2003-2005konteks ini di luar hutang yang harus dibayarkan pedagang swadaya kepada PD. Pasar setelah diterpkan PERDA Nomor 12 Tahun 2006 tentang Pelayanan Retribusi Pasar, jika memang pedagang swadaya berhutang pada masa setelah PERDA Nomor 12 Tahun 2006bahkan dapat dikatakan, karena alasan PERDA Nomor 10 Tahun 2002 tidak berlaku dan juga tidak ada aturan peralihan pada masa revisi PERDA Nomor 12 Tahun 2006, maka dengan sendirinya semua pedagang swadaya harus membayar retribusi dengan mengacu pada kontrak yang mereka lakukan pada waktu sebelum tahun 2002 dan atau setidaknya mengacu pada kontrak yang dibuta dengan PD. Pasar selama tahun 2003, 2004 dan 2005 (jika memang itu ada)!

Mengikuti jalur berpikir ini, maka dengan sendirinya, persoalan hutang piutang antara pedagang swadaya dengan PD. Pasar tidak pernah ada dan tidak akan ada, kecuali berdasarkan sebuah aturan peralihan pengganti PERDA Nomor 10 Tahun 2002 atau kontrak baru antara PD. Pasar dengan Pedagang selama tahun 2003-2005.

Dan mengikuti jalur berpikir ini, maka dapat dikatakan bahwa bentuk pungutan retribusi atau hutang pedagang swadaya kepada PD. Pasar selama tahun 2003-2005 adalah sebuat tindakan yang mengindikasikan adanya motif pemerasan kepada para pedagang swadaya. Sebuah tindakan pemerasan yang memanfaatkan ketidakjelasan acuan peraturan tentang retribusi dan ini merupakan suatu kejahatan yang harus diberikan sanksi sesuai hukum yang berlaku.

II. Tarif retribusi cukup memberatkan pedagang swadaya.

Beberapa Pertimbangan:
Akumulasi hutang memberatkan pedagang swadaya sejak pemberlakuan pembayaran retribusi secara berlaku surut. Dalam perhitungan hutang pedangan swadaya kepada PD. Pasar khususnya pada masa setelah PERDA Nomor 12 Tahun 2006 tentang Pelayanan Retribusi Pasar diberlakukan, meruapak persoalan yang harus dilihat memiliki kaitan dengan pemberlakukan surut retribusi yang didasarkan pada PERDA baru ini. Maksuudnya ialah besaran hutang retribusi pedagang sebagaimana dihitung berlaku surut telah menjadi beban atau lilitan hutang, yang selain sulit untuk dijelaskan apakah dalam masa pembayarana retribusi pasar oleh pedagang swadaya kepada PD. Pasar pada tahun 2003-2005 merupakan sesuatu yang lebih dari tarif retribusi yang seharusnya atau tidak sama sekali harus dibayar oleh pedagang, pemberlakukan secara surut ini melahirkan kesulitan bagi pedagang untuk menghitung posisi hutangnya selama 2003-2010. Pembayaran retribusi selama tahun 2006-2010 berdasarkan ketentuan PERDA Nomor 12 Tahun 2006 tidak pernah diselesaikan atau dilunasi karena dalam perhitungan PD. Pasar, pembayaran retribusi sejak tahun 2006 adalah pembayaran yang harus menutup hutang sejak 2003-20010.

Tata letak tempat usahan yang tidak strategis mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang swadaya. Ini merupakan suatu persoalan yang cukup signifikan pengaruhnya jika, kita mendeskripsikan perbandingan antara tarif retribusi sewa pakai tanah dengan hasil/pendapatan serta jika ditambah dengan tanggungan sendiri kebutuhan mereka (listrik dan air) juga pembayaran retribusi tambahan seperti uang keamanan dan kebersihan yang seharusnya telah terakomodir dalam pembayaran retribusi. Keseluruhan masalah ini, menjadikan pedagang pasar tidak sanggup mememuhi tuntutan retribusi pasar sehingga penunggakan-penunggakan pembayaran retribusi kepada PD. Pasar harus dimaklumi. Singkatnya, tariff retribusi sewa pakai tanah usaha memberatkan pedagang karena tidak berimbang dengan kondisiatau kemampuan pedagang.

Pedagang swadaya sudah berulang kali menyampaikan keluhan mereka tapi tidak pernah ditanggapi.
Permasalahan-permasalahan pedagang swadaya berkaitan dengan wilayah tempat usaha yang tidak strategis sehingga tidak produktif, ketidakaman dan ketidaknyamanan layanan PD. Pasar bagi pedagang swadaya tidak ditanggunglangi secara cepat dan tepat oleh PD. Pasar sebagai pengelola jasa pasar kepada pedangang swadaya selaku konsumen jasa. Hal ini merupakan bentuk kekurang pedulian PD. Pasar selaku produsen jasa terhadap konsumen jasa yakni pedangan swadaya. Karenannya, ini secara terang merugikan pada pedangan karena ketidakoptimalan pemenuhan hak mereka selaku pengguna atau konsumen jasa dari PD. Pasar. Karenanya, persolan ini juga merupakan tanggung jawab PD. Pasar selaku pengelola jasa yang dijual kepada para pedang swadaya.

Tuntutan
Berdasarkan keseluruhan pemaparan di atas, maka kami Aliansi Rakyat Peduli Pedagang (ARPP) mengajukan beberapa tuntutan kepada pihak Pemerintah Kota Kupang yakni:

1. Menolak pembayaran hutang sejak tahun 2003-2005. Penolakan ini didasarkan pada penilaian atas pemberlakuan surut Perda Nomor 12 Tahun 2006.
2. Menuntut pengurangan hutang sejak tahun 2006-2010.
3. Menuntut dilakukannya revisi Perda Nomor 12 Tahun 2006, khususnya berkaitan dengan besaran tarif retribusi pelayanan pasar bagi para pedang swadaya, berdasarkan kodisi dan kemampuan dan kesejahteraan mereka.

Demikian Pernyataan sikap ini kami buat dan sampaikan kepada Pihak DPRD Kota Kupang. Dan atas perhatiannya kami ucapkan limpah terima kasih. Tuhan Memberkati kita semua!

Kupang, 25 Maret 2010




Yosef Asafa
Koordinator

Tidak ada komentar:

Posting Komentar